1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Kecam Pemenjaraan Massal Tokoh Oposisi di Kamboja

16 Juni 2022

Langkah Kamboja memenjarakan seorang pengacara AS dan lusinan petinggi partai oposisi mengundang kritik pedas Washington. Hubungan kedua negara kembali tegang meski derasnya lobi diplomasi di era Presiden Joe Biden.

Pegiat HAM Kamboja berkewarganegaraan AS, Theary Seng
Pegiat HAM Kamboja berkewarganegaraan AS, Theary Seng, saat ditangkap di depan pengadilan di Phnom PengFoto: AFP/Getty Images

Pengacara HAM Kamboja berkewarganegaraan AS, Theary Seng, didakwa bersama 59 tokoh oposisi lain, atas keterlibatan mereka membantu kepulangan Sam Rainsy, Ketua Umum Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dari pengasingan pada 2019 silam.

Tuduhan tersebut dibantah oleh para terdakwa. CNRP merupakan partai oposisi terbesar di Kamboja sebelum dibubarkan oleh pengadilan menjelang pemilu 2018 silam. Akibatnya, Perdana Menteri Hun Sen leluasa melanjutkan kekuasaannya yang kini sudah mencapai 37 tahun.

Pengadilan Negeri Phnom Penh dalam putusannya pada Kamis (16/6), memvonis Seng enam tahun penjara. Sementara yang lain mendapat hukuman kurung antara lima hingga delapan tahun.

Sebagian besar dari 60 terpidana sebelumnya sudah melarikan diri ke pengasingan atau bersembunyi. Tidak jelas berapa orang yang hadir selama proses persidangan. Menurut Human Rights Watch, setidaknya 27 orang didakwa secara in absentia.

Seng sendiri memilih menunggu putusan di luar gedung pengadilan, dengan niat agar penangkapannya bisa dilihat oleh mata publik, "bukan berlangsung di bawah kegelapan.” Wartawan mengabarkan dia dibawa pergi oleh tiga aparat kepolisian sesaat setelah keputusan dibacakan. 

Does Cambodia have a viable opposition?

04:44

This browser does not support the video element.

Tren autoritarianisme

Bagi Seng, penahanannya merupakan "harga yang harus dibayar agar bisa hidup sesuai keyakinan saya tentang keadilan dan kebebasan,” katanya. "Saya siap mendekam di penjara Kamboja demi keyakinan saya dalam demokrasi.”

Pemenjaraan massal tokoh oposisi di Kamboja memicu reaksi AS yang melihat adanya "pola perilaku anti-demokrasi” oleh pemerintah di Phnom Penh. 

Dalam keterangan persnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan, pihaknya "sangat mengkhawatirkan vonis massal terhadap oposisi di Kamboja,” dan menilainya sebagai "contoh terbaru dalam serangkaian perilaku mengejutkan berupa ancaman, intimidasi dan persekusi.”

"Tindakan ini merugikan demokrasi multi partai dan negara hukum,” imbuhnya, sembari menuntut agar PM Hun Sen "membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, termasuk Theary Seng, dan melindungi kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.”

Kemunduran diplomasi

Bukan kali pertama langkah Kamboja memprovokasi kritik AS. Pekan lalu, pemerintah di Washington juga mengeluhkan sikap misterius Phnom Penh terkait perluasan pangkalan militer Ream di Teluk Thailand dengan bantuan Cina.

Pangkalan Angkatan Laut Ream di Shianoukville, Kamboja, yang akan diperluas dengan bantuan CinaFoto: picture alliance/AP

"Minimnya transparansi oleh Kamboja sangat luar biasa,” kata seorang pejabat tinggi AS kepada Reuters. Ketika akhirnya Kamboja mengumumkan proyek secara resmi, "ia didahului penyangkalan pemerintah selama berbula-bulan soal keterlibatan Cina.”

Pejabat yang tidak mau disebut namanya itu mengatakan, Kamboja dan Cina mengambil langkah yang "mendekati absurd” untuk merahasiakan aktivitas militer Cina di pangkalan tersebut, antara lain dengan menyusupkan pegawai Cina saat kunjungan diplomat asing ke kawasan.

Sikap Kamboja itu ditanggapi kritis di Washington, yang sejak era Presiden Joe Biden berusaha melunakkan sikap terhadap negara di Asia Tenggara itu. 

Phnom Penh selama ini dipandang sebagai sekutu dekat Cina. Namun hubungan diplomatik dengan Washington mulai menunjukkan kedekatan serius, antara lain ketika Kamboja membatalkan latihan militer dengan Cina sebelum kunjungan Wakil Menlu AS, Wendy Sherman, akhir 2021 silam. 

Di era Biden, AS mengadopsi doktrin kemitraan multilteral untuk negara-negara Asia-Pasifik. Namun kebijakan tersebut dipahami oleh Beijing sebagai upaya "membajak” hubungan Cina dengan negara di kawasan.

"Strategi ini dibuat untuk menciptkan konflik dan konfrontasi untuk menghadang (Cina) dan mengepung yang lain,” Kata Menhan Cina, Wei Fengh, Minggu (12/6).

rzn/as (ap,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya