AS Kecam Rusia yang Lancarkan Operasi Militer di Ukraina
24 Februari 2022
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Rusia melancarkan "operasi militer" di Ukraina timur. Kiev pun telah mengumumkan keadaan darurat. Para pemimpin Uni Eropa bertemu hari Kamis (24/02) untuk membahas krisis.
Iklan
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidatonya pada Kamis (24/02) pagi, mengumumkan operasi militer di Ukraina. Putin mengatakan tindakan itu datang sebagai tanggapan atas ancaman yang dia klaim datang dari Ukraina.
"Saya telah membuat keputusan operasi militer," katanya dalam sebuah pernyataan sesaat sebelum pukul 6 pagi waktu setempat.
Putin meminta militer Ukraina untuk "meletakkan senjatanya", mengatakan bahwa prajurit yang melakukannya akan dapat dengan aman meninggalkan zona pertempuran.
Dalam pidatonya, Putin mengatakan bahwa Rusia "tidak dapat mentolerir ancaman yang datang dari Ukraina." Dia juga mengatakan Rusia tidak memiliki tujuan untuk menduduki Ukraina dan memperingatkan negara-negara lain bahwa setiap upaya untuk mengganggu tindakan Rusia akan menyebabkan "konsekuensi yang belum pernah mereka lihat."
Putin mengklaim bahwa tujuan dari operasi itu adalah untuk melindungi warga sipil dan memastikan "demiliterisasi" Ukraina.
Iklan
"Tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan"
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Putin untuk tidak memerintahkan pasukan menyerang Ukraina selama pertemuan dewan keamanan darurat di New York.
"Jika memang operasi (militer) sedang dipersiapkan, saya hanya memiliki satu hal untuk dikatakan dari lubuk hati saya," kata Guterres. "Presiden Putin, hentikan pasukan Anda dari menyerang Ukraina, beri kesempatan perdamaian."
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden mengecam keputusan Rusia untuk melakukan operasi militer di Ukraina timur, menyebutnya "tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan."
Biden bersumpah bahwa dunia akan "meminta pertanggungjawaban Rusia." Presiden AS ke-46 ini mengatakan bahwa dia memantau situasi di Ukraina dari Gedung Putih dan juga akan berbicara dengan rekan-rekan G7 pada hari Kamis (24/02).
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Sanksi ekonomi menargetkan pejabat tinggi pemerintah Rusia, beberapa perusahaan, dan ratusan anggota parlemen yang memilih untuk mengakui kemerdekaan wilayah yang dikuasai kelompok separatis di Ukraina timur.
Sanksi yang dijatuhkan termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi individu yang terdaftar ke negara mana saja di UE, di mana banyak orang kaya Rusia memiliki properti yang luas. Sanksi juga mencegah pemerintah Rusia dan Bank Sentral mengakses keuangan di pasar modal UE. Selain itu, sanksi larangan perdagangan antara UE dan daerah yang akan memisahkan diri di wilayah Donbas timur Ukraina juga dijatuhkan.
Sebelumnya, Rusia sudah dijatuhkan berbagai sanksi yang diberlakukan oleh UE setelah pencaplokan Krimea pada tahun 2014. Sanksi tersebut terkait dengan sektor keuangan, energi, dan pertahanan, serta fasilitas yang dapat digunakan baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Di antara mereka yang terkena sanksi adalah Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan kepala militer yang menjabat.
UE juga memberlakukan sanksi tersebut pada kepala saluran televisi pemerintah Rusia RT dan juru bicara kementerian luar negeri, demikian kata jurnal resmi UE.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel memuji cara para pemimpin blok menunjukkan persatuan "terutama melalui adopsi cepat" sanksi. Michel juga mengumumkan bahwa para pemimpin blok akan bertemu di Brussel pada hari Kamis (24/02) untuk membahas krisis Ukraina-Rusia.