Presiden Donald Trump telah mengumumkan bahwa Amerika Serikat tidak lagi akan berada dalam kesepakatan nuklir Iran. Seperti apa reaksi internasional menanggapi hal tersebut?
Iklan
Pengumuman Presiden AS Donald Trump pada Selasa (08/05) bahwa ia menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian nuklir Iran memancing reaksi dari para pemimpin dunia.
Sementara beberapa memuji Presiden Trump karena memalingkan punggungnya pada kesepakatan yang "cacat", yang lain berpendapat bahwa keputusan Trump meruntuhkan kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yang ditandatangani pada tahun 2015 setelah negosiasi bertahun-tahun, dan menimbulkan ketidakpastian tidak hanya antara AS dan Iran tetapi juga di antara sekutu transatlantik.
Kementerian Luar Negeri Perancis mengumumkan Rabu (09/05) bahwa perwakilan dari Perancis, Jerman, dan Inggris - semua negara penandatangan kesepakatan nuklir - akan bertemu dengan perwakilan Iran Senin depan.
Jerman
Menteri Luar Negeri Heiko Maas mengatakan bahwa Jerman, Perancis dan Inggris akan berbicara dengan satu suara mengenai kesepakatan Iran: "Kami tetap berkomitmen pada kesepakatan nuklir," katanya di Berlin. "Kesepakatan itu berfungsi. Kami ingin menjaga kontrol dan aturan transparansi," tambahnya.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Maas juga meminta Iran untuk tetap bertindak dengan tenang dan memenuhi kewajiban yang diatur dalam kesepakatan itu. Ia mengatakan bahwa keputusan Trump "tidak dapat dipahami" dan telah memberikan pukulan terhadap stabilitas di Timur Tengah. Dia juga membahas kekhawatiran kejatuhan bisnis Jerman dan menjanjikan bahwa efek potensial pada perusahaan akan dianalisis.
Sebagai buntut dari pengumuman Trump, para pemimpin bisnis Jerman telah menyatakan keprihatinan atas potensi sanksi yang dikenakan AS pada perusahaan Jerman yang memiliki hubungan dengan Iran: "Pelepasan kembali sanksi AS akan mebahayakan ekonomi Jerman," kata Volker Treier, kepala bagian ekonomi asing di Asosiasi Kamar Dagang dan Industri Jerman.
Eropa
Dalam pernyataan bersama yang diberikan oleh kantor Perdana Menteri Inggris Theresa May, Jerman, Perancis dan Inggris meminta AS tidak menghalangi negara lain ketika mereka berusaha untuk menerapkan kesepakatan dan mendesak Iran untuk "menunjukkan pengendalian" dan terus memenuhi kewajibannya sendiri.
Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengatakan kepada parlemen pada hari Rabu bahwa Inggris telah melakukan yang terbaik untuk mencegah Trump meninggalkan kesepakatan. Dia menambahkan bahwa Inggris akan tetap berpegang pada kesepakatan selama Iran terus memenuhi ketentuannya. Ia juga menyatakan bahwa Inggris tidak akan pernah menerima Iran yang bersenjata nuklir.
Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang juga telah berusaha membujuk Trump untuk tetap dalam kesepakatan itu, mencuit kekecewaan dan penyelesaiannya: "Perancis, Jerman dan Inggris menyesali keputusan AS untuk meninggalkan JCPOA. Rezim non-proliferasi nuklir dipertaruhkan. Kami akan bekerja bersama dalam kerangka yang lebih luas, meliputi aktivitas nuklir, periode pasca-2025, aktivitas balistik dan stabilitas di Timur Tengah, terutama Suriah, Yaman dan Irak. "
Rusia, yang juga membantu merundingkan kesepakatan Iran, mengatakan mereka "sangat kecewa" dengan keputusan sepihak Trump.
Federica Mogherini, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, yang membantu mengawasi cara Iran dan enam kekuatan dunia menerapkan kesepakatan dan menyelesaikan perselisihan, mengatakan dalam sebuah pernyataan pers pada Selasa bahwa kesepakatan itu "tidak berada di tangan satu negara. "
"Uni Eropa bertekad untuk bertindak sesuai dengan kepentingan keamanannya dan untuk melindungi investasi ekonomi," katanya. Dalam sebuah pesan yang ditujukan kepada Iran, Mogherini mengatakan: "Jangan biarkan siapa pun merusak perjanjian ini. Ini adalah salah satu pencapaian diplomasi terbesar yang pernah terjadi, dan kita telah membangun ini bersama."
Medan Berat Murid Iran dalam Menuntut Ilmu
Kelas yang hampir rubuh, perjalanan penuh marabahaya, itulah di antaranya pengalaman para murid sekolah miskin di Iran. Banyak di antara mereka terpaksa putus sekolah.
Foto: yavari.ir
Sampai naik ke meja
Lihat, semangatnya murid yang satu ini. Ia sedang mencoba menjabarkan sesuatu di papan tulis. tembok kelas dipenuhi tambalan koran. Menurut data bidang pendidikan di Iran, negara tersebut masih mengalami kekurangan 52 ribu ruang kelas. Meski ruang kelasnya tambal sulam, murid-murid terlihat tekun memperhatikan rekannya di depan kelas.
Foto: yavari.ir
Ketidaksetaraan jender
Situasi ini diperburuk dengan perbedaan perlakukan terhadap anak-anak perempuan dan laki-laki di pedesaan. Jika tidak ada sekolah di desa, banyak keluarga yang tidak memperbolehkan anak-anak perempuan untuk pergi ke sekolah di desa-desa atau kota-kota lain.
Foto: yavari.ir
Melewati medan berat
Sungainya deras sekali. Bukan hanya ruang kelasnya yang sudah tidak kondusif lagi digunakan anak-anak untuk belajar. Anak-anak di provinsi ini juga dihadapkan situasi tidak mudah, dalam menempuh rute perjalanan ke sekolah mereka. Marabahaya selalu mengintai.
Foto: yavari.ir
Orangtua turun tangan
Perjalanannya benar-benar berbahaya. Ada beberapa orangtua yang mendampingi anak-anak sebrangi arus sungai. Untuk bisa mencapai sekolah, anak-anak harus melewati perjalanan yang tidak mudah, dan kadang berbahaya, seperti tampak dalam foto ini.
Foto: yavari.ir
Jauh dari standar
Rata-rata ruang kelas yang dipakai siswa di Iran jauh lebih rendah dari standar pendidikan, baik dari segi ukuran kelas maupun jumlah siswa. Hal ini terimbas pada kurangnya konsentrasi siswa di kelas.
Foto: yavari.ir
Tak ada kelas? Tak masalah
Mungkin miris bagi orang dewasa melihat ini. Namun bagi anak-anak kecil yang ceria ini, kurangnya ruang kelas membuat mereka kreatif, untuk belajar di ruang terbuka.
Foto: yavari.ir
Beratap langit
Beratapkan langit mereka menyimak ilmu yang dipaparkan oleh guru mereka. Ini menjadi solusi dalam mengatasi kurangnya ruang belajar di Iran.
Foto: yavari.ir
Sekolah alam
Di luar ruang kelas, mereka bisa berdekatan dengan alam dan mempelajarinya secara langsung. Seperti yang tengah dilakukan oleh murid-murid cilik ini.
Foto: yavari.ir
Putus sekolah
Sistan-Baluchestan di Iran merupakan salah satu provinsi yang menghadapi masalah tingginya angka anak putus sekolah. Provinsi ini terletak di bagian tenggara Iran, berbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan. Inilah suasana salah satu ruang kelas di sebuah desa di provinsi ini.
Foto: yavari.ir
Hampir rubuh
Di provinsi Sistan dan Baluchestan saja sekitar enam ribu ruang kelas yang digunakan dalam kegiatan belajar – mengajar terus mengalami kehancuran.
Foto: yavari.ir
Tantangannya sungai
Hopla... Dengan lompatan yang cermat, siswa dapat melewati rintangan bahaya ini. Di bawahnya arus sungai yang deras dan berbatu bisa menjadi 'momok' apabila mereka salah perhitungan ketika melompat.
Foto: yavari.ir
Bantuan orang dewasa
Seorang pria tampak membantu siswa-siswi cilik ini menyeberangi derasnya arus sungai.
Foto: yavari.ir
Saling bantu
Semangat gotong royong terpupuk sejak dini. Seorang anak tampak membantu kawannya untuk memanjat medan yang sulit ini.
Foto: yavari.ir
Banyak siswa, kurang ruang
Muridnya banyak, ruang kelasnya kurang. Sang guru tidak kehilangan akal, membawa murid-muridnya ke alam, untuk belajar, senam dan aktivitas lainnya.
Foto: yavari.ir
Tapi bagaimana jika musim dingin?
Di musim dingin tentu saja situasi jauh lebih sulit. Dinginnya temperatur tetap tak menyurutkan minta mereka menuntut ilmu setinggi langit. Ed Ghahari K. (ap/vlz)
Foto: yavari.ir
15 foto1 | 15
Iran
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menantang keputusan Trump: "Kamu tidak bisa melakukan apa pun!" katanya saat bertemu dengan para guru sekolah di Teheran pada hari Rabu. Di situs resminya, Khamenei, yang merupakan otoritas agama dan negara tertinggi di Iran, juga mengolok-olok pengumuman Trump sebagai hal yang "konyol dan dangkal."
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan Teheran akan tetap dalam perjanjian internasional, tetapi memarahi Trump atas keputusannya. Dengan "keluar dari kesepakatan, Amerika telah secara resmi merusak komitmennya terhadap perjanjian internasional," kata pemimpin Iran itu. Rouhani mengatakan ia ingin berbicara dengan lima negara yang tetap dalam kesepakatan itu, tetapi ia secara bersamaan memperingatkan bahwa "kapan pun dibutuhkan, [Iran] akan mulai memperkaya uranium lebih dari sebelumnya."
Ketua parlemen Iran, Ali Larijani, mengatakan Presiden AS tidak memiliki kapasitas mental untuk menangani masalah. Anggota parlemen pada hari Rabu membakar bendera AS dari kertas di parlemen Iran dan berteriak, "Matilah Amerika!"
Timur Tengah
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji "langkah bersejarah" Trump dan menyebut kesepakatan itu sebagai "resep untuk bencana, bencana bagi kawasan kita, bencana bagi perdamaian dunia."
Israel adalah sekutu dekat Amerika Serikat dan Netanyahu telah mendukung penghapusan kesepakatan itu. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dua sekutu AS lainnya, juga memuji keputusan Trump.
"Iran menggunakan keuntungan ekonomi dari pencabutan sanksi untuk melanjutkan kegiatannya mengguncang kawasan (Timur Tengah), terutama dengan mengembangkan rudal balistik dan mendukung kelompok-kelompok teroris di kawasan itu," kata Kementerian Luar Negeri Saudi dalam sebuah pernyataan.
Anwar Gargash, Menteri Urusan Luar Negeri UEA, mencuit bahwa perjanjian itu "akan mengarah pada perlombaan nuklir regional dengan sedikit kepercayaan pada niat Iran."
Politisi AS terbagi
Dalam langkah yang tidak biasa, mantan Presiden AS Barack Obama, yang pemerintahannya menegosiasikan kesepakatan nuklir Iran, menyebut keputusan Trump "salah arah" dalam sebuah pernyataan yang diunggah di halaman Facebook-nya.
"Kenyataannya jelas. JCPOA berfungsi - itu adalah pandangan yang dibagikan oleh sekutu Eropa kami, para ahli independen, dan Menteri Pertahanan AS saat ini. JCPOA adalah kepentingan Amerika - (kesepakatan ini) telah secara signifikan menggulingkan program nuklir Iran," kata Obama.
"Dalam demokrasi akan selalu ada perubahan dalam kebijakan dan prioritas dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Tetapi ketidaksepakatan yang konsisten terhadap perjanjian (internasional), di mana negara kita menjadi bagiannya, berisiko mengikis kredibilitas Amerika, dan menempatkan kita dalam posisi yang bertentangan dengan kekuatan utama dunia. "
Para pemimpin kongres Amerika terpecah atas keputusan Trump mengeluarkan AS dari kesepakatan itu.
Pemimpin mayoritas Senat, Mitch McConnell dari Partai Republik, mengatakan kesepakatan Iran adalah "kesepakatan yang sangat salah" dan bahwa dia setuju dengan komitmen Trump bahwa "Iran tidak boleh mendapatkan atau mengembangkan senjata nuklir."
Sebaliknya, pemimpin minoritas Senat, Chuck Schumer dari Partai Demokrat, mengatakan tampaknya pemerintahan Trump tidak memiliki rencana untuk maju.
na/vlz (reuters, ap)
Menakar Ancaman Teror Nuklir
IAEA dan NATO pernah meramalkan skenario muram bahwa kelompok teror mampu memiliki senjata nuklir. Pencurian dan perdagangan ilegal membuat skenario tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Berikut fakta-faktanya
Foto: DW/K.Jäger
Gertak Sambal El Baradei?
Mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional, Mohammed el-Baradei, 2009 silam pernah merapal mimpi buruk, bahwa "terorisme nuklir adalah ancaman terbesar yang dihadapi dunia saat ini." Menteri Pertahanan Inggris, Michael Fallon, pun mengutarakan hal senada. Tapi seberapa realistis skenario tersebut?
Foto: Getty Images/AFP
Ambisi Nuklir Serdadu Tuhan
Adalah Osama Bin Laden yang 1998 lalu pertama kali memfatwakan "kewajiban kaum muslim rebut senjata nuklir buat lindungi Islam." Dalam laporannya, militer AS menilai saat ini Al-Qaida adalah kelompok yang paling mumpuni dalam hal teknologi nuklir. Al-Qaida tercatat berhubungan erat dengan Bashiruddin Mahmood, Bekas Kepala Program Nuklir Pakistan yang bersimpati terhadap kelompok ekstremis Islam
Foto: AP
Membidik Instalasi Nuklir Sipil
Celah keamanan terbesar ada pada instalasi nuklir sipil. Saat ini dari 130 reaktor percobaan atau laboraturium nuklir yang tersebar di seluruh dunia, 40 di antaranya berada di negara berkembang seperti Pakistan, Ghana dan Libya. Dalam laporannya tahun 2013 silam, IAEA mengeluhkan rentannya sistem keamanan pada instalasi nuklir di negara berkembang
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
Uranium dari Mosul
Juli 2014 Duta Besar Irak untuk PBB, Mohamed Ali Alhakim, melaporkan bahwa Islamic State mencuri 40 Kilogram Uranium berkonsentrasi rendah dari laboraturium nuklir Universitas Mosul. Elemen tersebut adalah warisan program nukir rejim Saddam Hussein. NATO meyakini, ISIS memiliki dana cukup dan tenaga ahli dari barat untuk mulai mengembangkan apa yang disebut Improvised Nuclear Device (IND)
Foto: picture-alliance/AP Photo
Peluang Lewat Pintu Belakang
Peluang lain buat mendapatkan senjata nuklir adalah lewat jalur ilegal. Tahun 2006 seorang warga Rusia, Oleg Khinsagov ditangkap di Georgia saat membawa 100 gram Uranium yang telah diperkaya (HEU). Ia mengaku membawa sampel buat dijual. 2007 lalu sekelompok pria bersenjata merampok laboraturium nuklir Pelindaba di Afrika Selatan dan mencuri Uranium yang jumlahnya cukup untuk 30 senjata nuklir
Foto: Getty Images
Lenyap ke Pasar Gelap
Sejak tahun 1993, IAEA mencatat sebanyak 421 kilogram zat radioaktif berkonsentrasi tinggi dilaporkan hilang oleh negara-negara anggotanya. Tidak jelas siapa yang mencuri atau membeli elemen beracun tersebut. Pengawas nuklir PBB itu juga sejak tahun 1993 melaporkan seluruhnya 18 kasus kepemilikan ilegal Uranium berkonsentrasi tinggi dan Plutonium .
Foto: PD
Bumbu dari Neraka
Untuk meracik senjata nuklir diperlukan empat kilogram Plutonium atau 25 kilogram Uranium yang telah diperkaya (HEU). Tapi ketika Plutonium memancarkan radiasi tinggi sehingga mudah dideteksi, Uranium sebaliknya lebih mudah diselundupkan, kata William C. Potter, pakar nuklir di Monterey Institute of International Studies di Kalifornia.
Militer Amerika Serikat mengaku pernah kehilangan 11 hulu ledak nuklir. Jumlah serupa juga diyakini pernah raib dari gudang senjata Rusia. Kendati tidak mustahil, mencuri senjata nuklir bukan hal yang mudah. Teknologi terbaru melibatkan sistem keamanan yang tidak lagi berbasis pada kode rahasia, melainkan serangkaian perubahan temperatur dan tekanan udara buat mengaktifkan hulu ledak nuklr
Foto: DW/K.Jäger
Bom Kotor dari Langit
Ketika senjata nuklir buat teroris masih jauh panggang dari api, para serdadu tuhan itu bisa membuat bom kotor alias "dirty bomb" buat menyerang kota-kota besar. Dirty bomb pada dasarnya adalah bahan peledak konvensional yang dibubuhi agen radioaktif untuk menyebar racun mematikan tersebut. Selain elemen nuklir, bom kotor juga bisa berisi muatan racun kimia atau bahkan virus mematikan