Ferdinand von Richthofen melakukan revolusi ilmu pengetahuan mengenai Cina. Pakar geografi Prusia itu juga memberi nama rute perdagangan antara Cina dan Eropa, Jalur Sutra.
Iklan
Warga Amerika sudah berhasil. 1854 mereka membuat perjanjian dagang dengan Kekaisaran Jepang, yang sampai saat itu terisolir ratusan tahun dari dunia luar. Sebagai reaksinya, pemerintah Prusia 1860 juga mengirimkan tim ekspedisi, yang diharapkan membuat perjanjian dagang dengan Cina, Jepang dan Thailand. Karena khawatir berada dalam posisi yang dirugikan dibanding Amerika. Di antara anggota ekspedisi ada pakar geologi dan geografi bernama Ferdinand von Richthofen.
Tim ekspedisi Prusia tahun 1860 berhasil tiba tepat waktu. Walau perjalanan panjang melewati lautan luas itu, terputus perhentian mengesankan di Formosa, Maluku, Filipina serta Jawa. Akhir 1861, anggota ekspedisi bertolak pulang dari Bangkok, kecuali Ferdinand von Richthofen. Ia punya rencana lain. Ia ingin pulang ke Prusia melalui jalur Siberia. Namun rencana berani ini tidak berhasil. Di rute perjalanannya terjadi kerusuhan, sehingga sulit baginya untuk meneruskan perjalanan.
Lalu Richthofen mengambil rute berbeda, yakni ke Kalifornia. 1862-1868 ia berada di sana, tapi kemudian tertarik tujuan perjalanan lainnya. Dalam pembicaraan dengan koleganya, Richthofen menemukan misinya yakni meneliti Cina. Kekaisaran itu menurutnya, diantara semua negara berperadaban dan terkenal, adalah yang paling jarang diselidiki.
Jalur Sutra Menuju Luar Angkasa
Cina tidak lama lagi bisa mewujudkan impian membangun stasiun luar angkasa sendiri setelah meluncurkan laboratorium langit, Tiangong-2.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/J. Zhenhua
Dua Langkah Naga
Bertepatan dengan Festival Musim Gugur, Cina meluncurkan laboratorium antariksa Tiangong-2. Modul sepanjang sembilan meter dengan bobot 13 ton itu juga dilengkapi dengan ruang hidup buat astronot. Dengan misi Tiangong-2 Badan Antariksa Cina ingin menguji sejumlah sistem penting, seperti penopang kehidupan dan pasokan energi berupa panel surya.
Foto: picture alliance/dpa/A. Xin
Istana Langit
Adalah roket teranyar dari tipe Chang Zheng 2 yang membawa Tiangong alias "istana langit" ke luar angkasa. Diluncurkan dari stasiun antariksa di gurun Gobi, roket tersebut sudah 12 kali terbang dalam misi antariksa. Terakhir roket berbobot 500.000 ton ini membawa tiga astronot Cina ke luar angkasa tiga tahun silam.
Foto: picture-alliance/Photoshot/Y. Zhiyuan
Jalur Sutra ke Angkasa
Badan Antariksa Cina (CNSA) juga sudah merencanakan misi berawak Oktober mendatang. Shenzhou 11 bakal membawa dua astronot untuk bekerja di laboratorium antariksa selama 30 hari. Pada April 2017 wahana angkut Tianzhou 1 akan diluncurkan dengan membawa logistik, bahan bakar dan keperluan lain untuk laboratorium antariksa.
Foto: Reuters
Evolusi Teknologi
Peluncuran Tiangong 2 memiliki nilai simbolik yang besar, kata Wu Ping dari badan antariksa Cina. Ia mengklaim CNSA sudah menyiapkan istana langit kedua yang lebih panjang dan mampu bertahan lebih lama di luar angkasa ketimbang pendahulunya.
Laboratorium antariksa Tiangong-2 tidak lain adalah pondasi untuk membangun stasiun luar angkasa milik Cina yang direncanakan akan rampung tahun 2022. Jika Stasiun luar angkasa internasional (ISS) dibesituakan tahun 2024, maka Cina akan menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki stasiun di luar Bumi.
Foto: Reuters/NASA
Rover "Made in China"
Sejak beberapa bulan terakhir Cina berulangkali mempublikasikan gambar wahana nirawak yang bakal menjelajah Mars tahun 2020. Rover berroda enam ini direncanakan menjalani misi tiga bulan untuk mencari jejak air dan mempelajari komposisi tanah di permukaan Mars.
Foto: SASTIND
Batu Loncatan
Laboratorium antarikisa pertama Cina diluncurkan September 2011 silam. Tapi berbeda dengan laboratorium generasi kedua yang baru diluncurkan, Tiangong-1 tidak berumur panjang. Misinya berakhir Maret silam dan direncanakan akan hancur saat masuk atmosfer Bumi tahun 2017.
Foto: picture-alliance/dpa
Labuhan Ruang Hampa
Tiga pesawat antariksa pernah melabuh di Tiangong 1. Tahun 2011 misi nirawak Shenzhou 8 berhasil merapat dua kali dalam jarak 11 hari pada laboratorium antariksa tersebut. Terakhir tiga astronot bekerja selama 12 hari di Tiangong 1 tahun 2013 silam.
Foto: Xinhua/dapd
8 foto1 | 8
Dari Kanton sampai Mongolia
Dengan bersemangat Richthofen melakukan ekspedisi yang kelak membuatnya terkenal. 1868-1872 dalam tujuh perjalanan ekspedisi, ia menjelajahi 13 dari 18 provinsi Kekaisaran Cina. Sebuah rencana yang penuh petualangan, karena Cina kala itu diguncang pemberontakan. Orang asing jika sampai tidak diserang, dipandang sebagai sesuatu yang eksotis. Selain itu Richthofen sama sekali tidak menguasai Bahasa Cina.
Apa yang berhasil dilakukan peneliti ini pada tahun-tahun tersebut menjadi revolusi pengetahuan warga Eropa mengenai Cina. Dengan rajin ia mencatat semua yang dilihatnya dalam perjalanannya.
Dari dataran tinggi Tibet di Barat sampai kota metropolitan Shanghai di Timur, dari Mongolia di Utara sampai kawasan paling Selatan Cina dipelajari Richthofen. Ia membuat catatan geografi jalur-jalur pegunungan dan datarannya, demikian pula pengaruh angin dan cuaca terhadap tanah.
Cina di Afrika: Kutukan atau Berkah?
Cina ingin mengubah imej - menjauh dari pengeksploitasi sumber daya Afrika dan menuju mitra pembangunan. Berikut langkah-langkah yang ditempuh Beijing untuk merebut hari Afrika.
Foto: AFP/Getty Images
Mitra yang Setara?
Cina membawa jalanan beraspal, stadion sepakbola, dan layanan akses internet berkecepatan tinggi ke Afrika. Pada saat bersamaan, mereka mengekstrak minyak bumi dan bahan mentah lainnya dalam jumlah besar. Cina adalah mitra dagang terbesar Afrika. Volume perdagangan diharapkan naik menjadi 303 miliar Euro pada tahun 2020. Kritikus khawatir hanya akan ada satu pemenang dalam kemitraan ini: Cina.
Foto: Getty Images
Proyek Bantuan Pembangunan Pertama
Kerjasama Cina-Afrika dimulai tahun 50-an dan 60-an. Sebagai wujud ikatan sosialis, Cina membiayai konstruksi jalur kereta untuk transportasi bijih tembaga dari Zambia menuju Dar Es Salaam, kota terbesar di Tanzania. Proyek ini bermaksud untuk mendemonstrasikan kemitraan antaretnis dan solidaritas pekerja. Jalur ini masih aktif hingga sekarang.
Foto: cc-by-sa-Jon Harald Søby
Kritik dari Barat
Tahun 90-an, Cina mengubah kebijakannya di Afrika dan berhasil mengamankan ladang minyak dan tambang logam berharga di Afrika. Pemerintahan di Beijing tidak segan untuk bekerjasama dengan rezim otoriter dan korup. Ini tidak diterima dengan baik oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kritikus menilai Cina hanya tertarik untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan bukan kesejahteraan warga Afrika.
Foto: picture-alliance/Tong jiang
Mitra Bisnis yang Meragukan
Cina juga berbisnis dengan Presiden Sudan Omar al-Bashir, yang sudah didakwa oleh Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan genosida. Cina adalah investor paling penting bagi industri minyak Sudan dan mendanai konstruksi bendungan Merowe di Sudan, terbesar di Afrika.
Foto: picture-alliance/dpa
Hadiah bagi Uni Afrika
Cina bersedia membayar untuk mempunyai hubungan baik dengan Afrika. Tahun 2012 Beijing membiayai pembangunan markas Uni Afrika di Addis Ababa. Pada upacara pembukaan, ketua delegasi Cina mengatakan bahwa Cina akan mendukung negara-negara Afrika dalam memperluas kekuatan serta kebebasan mereka.
Foto: Imago
Penguasa Pasar Ponsel
Dua perusahaan Cina mendominasi pasar telekomunikasi Afrika: ZTE dan Huawei. Pemerintah dari seluruh penjuru benua itu berbisnis dengan mereka. Di Ethiopia, Huawei dan ZTE mendirikan jaringan 3G untuk seluruh negeri dengan biaya 1,3 miliar Euro. Di Tanzania, kedua perusahaan Cina itu membentangkan sekitar 10.000 kilometer kabel serat kaca.
Foto: AFP/Getty Images
Pesaing yang Tidak Dicintai
Tak hanya perusahaan besar, tapi juga ribuan warga Cina pergi ke Afrika untuk meningkatkan pemasukan. Mereka membuka usaha kecil dengan menjual produk-produk murah Cina: pecah belah, perhiasan modis, barang elektronik. "Banyak pedagang Afrika yang tidak senang dengan adanya kompetisi baru," ujar ekonom Kenya, David Owiro.
Foto: DW/J. Jaki
Mengharapkan Pekerjaan
Baik itu usaha kecil atau pembangunan jalan, "orang Afrika hampir tidak diuntungkan oleh keterlibatan Cina. Perusahaan Cina membawa pekerja sendiri," ungkap Owiro. Ini mungkin berubah di Afrika Selatan. Cina baru saja membangun pabrik perakitan untuk truk. Pemerintah Afrika Selatan memuji proyek ini sebagai tonggak sejarah menuju industrialisasi Afrika dan menyebut lapangan kerja yang diciptakan.
Foto: Imago
Perbaikan Imej
"Cina khawatir akan reputasinya di mata dunia," kata Yun Sun dari lembaga pemikir Brookings. Kritik media yang menyebut Cina hanya tertarik pada sumber daya alam Afrika telah mendorong perubahan ini. Pemerintah Beijing telah mengeluarkan daftar program bantuan, yang termasuk 30 rumah sakit, 150 sekolah, 105 proyek air dan energi regeneratif.
Foto: AFP/Getty Images
Berusaha Memukau
Cina telah meluncurkan serangan media besar-besaran untuk memenangkan dukungan bagi misinya di Afrika. Laporan-laporan oleh media penyiaran Cina memiliki fokus bisnis yang jelas. Afrika digambarkan sebagai benua yang makmur. Laporan semacam ini disambut baik warga Afrika ketimbang latar belakang laporan negatif yang berdekade lamanya dilancarkan media barat.
Foto: AFP/Getty Images
10 foto1 | 10
Riset Kekayaan Alam di Cina
Tanaman dan hewan kurang diperhatikannya, perhatiannya lebih tertuju pada masyarakat dan budayanya. "Dengan pinsil panjang yang diikat pada tali dan dikalungkan di leher," seperti yang ditulisnya dalam tuntunan untuk ekspedisi, ia menjelahahi negara itu.
Juga meskipun kuli-kulinya pingsan karena kepanasan, hal itu tak mampu menghentikan tekad Richthofen. Ia juga yang akhirnya memberi nama jalur perdagangan tertua antara Cina dan Eropa: Jalur Sutra. Namun pakar geografi itu juga punya tugas riset lainnya. Ia diminta meneliti, kekayaan alam apa yang tertimbun di dalam tanah Cina dan bagaimana itu dapat dieskploitasi.
Dilema Cina di Selat Malaka
Cina mati-matian mempertahankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Padahal pasang surut perekonomian negeri tirai bambu itu bergantung pada Selat Malaka. Kelemahan tersebut coba dimanfaatkan AS dan India
Foto: picture-alliance/ChinaFotoPress/Maxppp
Surutkan Pengaruh
Dengan segala cara pemerintah Cina berupaya mencaplok Laut Cina Selatan (LCS). Faktor ekonomi dan militer adalah motivasi terbesar di balik langkah sarat konflik itu. Ironisnya bukan pada Laut Cina Selatan perekonomian Cina bergantung, melainkan pada Selat Malaka. Manuver Beijing dalam konflik LCS justru melenyapkan sisa pengaruh Cina di jalur laut antara Indonesia dan Malaysia itu
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Blokade Laut
Sebanyak 80% impor energi Cina diangkut dengan kapal melewati selat Malaka. Tanpanya mesin ekonomi negeri tirai bambu itu akan cepat meredup. Serupa dengan strategi Iran di Selat Hormuz, berbagai negara besar yang berkonflik dengan Beijing telah mengadopsi blokade laut ke dalam strategi militernya untuk menundukkan Cina.
Foto: AP
Neraka Logistik
Blokade laut masuki masa kejayaan pada era Perang Dunia II dilanjutkan pada Perang Dingin dan Perang Irak 1991. Cara ini terbukti efektif memutus suplai logistik sebuah negara yang terlibat dalam perang. Saking efektifnya, diktatur NAZI Jerman Adolf Hitler perintahkan armada kapal selamnya buat menyerang semua kapal dagang yang berlayar dari AS ke Inggris.
Foto: Getty Images/AFP/K. Kasahara
India di Gerbang Selat Malaka
Sebab itu AS telah meracik strategi buat memblokir pasokan energi Cina di Selat Malaka. Baru-baru ini India bahkan menempatkan pesawat pengintai dan sejumlah kapal perang di Kepulauan Andaman dan Nicobar di gerbang utama Selat Malaka di Teluk Bengal. Jarak antara pulau Great Nicobar yang dijadikan pangkalan militer India dengan Selat Malaka cuma berkisar 650 kilometer
Foto: Getty Images
Jalur Kuno di Era Modern
Tidak heran jika Beijing sejak lama berupaya mencari jalan lain untuk mengimpor energi tanpa harus melewati selat Malaka. Untuk itu Cina berpaling dari laut dan fokus menggarap proyek infrastruktur di daratan. Rencana tersebut bukan hal baru. Beijing berniat menghidupkan kembali jalan sutera yang dulu aktif digunakan sebagai jalur dagang hingga abad ke-13.
Berpaling ke Myanmar
Salah satu wujudnya adalah proyek pembangunan pipa minyak seharga 2,5 milyar Dollar AS yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan Kunming di provinsi Yunan. Pipa sepanjang 2800 kilometer itu mampu mengalirkan 12 milyar ton minyak mentah per tahun. Proyek ini dituntaskan 2014 silam.
Pipa ke Teluk Persia
Proyek lain adalah menghubungkan pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan provinsi Xinjiang. Koridor ekonomi itu buka akses Cina langsung ke negara produsen minyak di Teluk Persia. Tapi opsi ini tidak murah. Lantaran kondisi geografis yang didominasi pegunungan, biaya pembangunan pipa antara kedua wilayah bakal menambah ongkos 10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak mentah.
Foto: picture-alliance/dpa
Gas dari Utara
Beijing juga berharap pada Rusia. Tahun 2014 silam kedua negara menyepakati pembangunan pipa minyak dan gas sepanjang 4800 km dari Angarsk menuju Daqing. Proyek seharga 400 milyar Dollar AS itu direncanakan bakal mampu mengangkut 1,6 juta barrel minyak per hari. Tapi Rusia menangguhkan pembangunan menyusul anjloknya harga minyak.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Fulai
Membelah Thailand
Cina bahkan mengusulkan pembangunan kanal laut di Thailand dengan mencontoh Terusan Panama. Proyek seharga 25 milyar US Dollar itu bakal menghubungkan Samudera Hindia dengan Teluk Thailand. Namun rencana ini ditolak oleh pemerintah di Bangkok lantaran masalah keamanan.
Opsi Terbatas
Analis berpendapat, rencana Cina membangun koridor darat untuk mengamankan pasokan energi justru menegaskan peran tak tergantikan Selat Malaka. Upaya Beijing diyakini cuma akan menambah keragaman jalur pasokan energi, tapi tidak akan mengurangi ketergangtungan Cina terhadap Selat Malaka.
Foto: imago/Xinhua
10 foto1 | 10
Perjalanan Richthofen berlangsung 12 tahun. Baru 1872 ia kembali ke Prusia. Hampir tidak ada ilmuwan, selain mungkin peneliti Alexander von Humboldt, yang lebih banyak meneliti kawasan dalam peta dunia. Di Prusia ia menjadi terkenal dan terpandang. Di Cina bahkan ada pegunungan yang kini dikenal sebagai Qilian Shan, dinamakan sesuai namanya "Pegunungan Richthofen."
Tapi bagi kekaisaran Cina lama, ekspedisi Richthofen ibaratnya awal dari akhir. Karena, setelah itu makin sering Cina menjadi obyek perebutan kekuasaan kolonial, yang ingin mengeksploitasi kekayaan negara itu demi kepentingan ekonomi.
Sengketa Wilayah Paling Berdarah di Bumi
Ribuan orang harus melepas nyawa demi mempertahankan atau berebut sepetak tanah di Bumi. Inilah konflik perbatasan paling mematikan di dunia saat ini.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
Laut Cina Selatan
Enam negara berebut dua gugusan pulau di Laut Cina Selatan: Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Konflik seputar salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia ini belakangan semakin memanas. Kepulauan Spratly pernah dua kali menjadi medan pertempuran antara Cina dan Vietnam, yakni tahun 1974 dan 1988. Terakhir kali kedua negara bertempur, Vietnam kehilangan 64 serdadunya.
Foto: imago/Westend61
Nagorno Karabakh
Sejak Perang Dunia I Armenia dan Azerbaidjan sudah saling bermusuhan. Perseteruan itu berlanjut saat kedua negara berebut Nagorno Karabakh, wilayah subur seluas pulau Bali. Antara 1988 dan 1992, Armenia dan Azerbaidjan terlibat konflik yang menewaskan lebih dari 35.000 serdadu dan warga sipil. April 2016 perang kembali berkecamuk selama empat hari. Lebih dari 100 orang dinyatakan tewas
Foto: Getty Images/B. Hoffman
Kashmir
Sejak 1989 India berperang melawan kelompok bersenjata yang disokong Pakistan di Jammu Kashmir. Sejak saat itu lebih dari 21.000 gerilayawan tewas dan sekitar 5000 pasukan India gugur dalam tugas. Perang di Jammu Kashmir merefeleksikan konflik wilayah antara India dan Pakistan yang sebagiannya juga direcoki oleh Cina. Hingga kini konflik Kashmir masih berlanjut tanpa jalan keluar
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Semenanjung Krimea
Semenanjung di Laut Hitam ini sebenarnya kenyang konflik. Kekaisaran Rusia pernah bertempur melawan koalisi Kesultanan Usmaniyah yang didukung Inggris dan Perancis di abad ke19. Pada 2014 silam Rusia kembali unjuk gigi dengan menyokong pemberontakan melawan Ukraina. Kini Krimea menyatakan diri merdeka dan menjadi negara boneka Moskow.
Foto: picture-alliance/ITAR-TASS
Preah Vihear
Kamboja dan Thailand saling serang berebut kawasan Preah Vihear antara 2008 hingga 2011. Lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil. Wilayah di sekitar candi Preah Vihear ini sudah menjadi sengketa sejak Perang Dunia II. Tahun 1962 pengadilan internasional mengakui klaim Kamboja atas kompleks candi yang dibangun pada abad ke 11 itu. Namun Thailand tetap mengklaim kawasan di sekitarnya
Foto: picture-alliance/dpa
Dataran Tinggi Golan
Wilayah pegunungan yang membelah Israel dan Suriah ini sudah sering membuahkan perang antara kedua negara. Pertama tahun 1967 pada Perang Enam Hari, dan terakhir tahun 1973 ketika Israel bertempur melawan koalisi Arab dalam Perang Yom Kippur. Dataran Tinggi Golan diminati karena letaknya yang strategis. Sejak 1967 kawasan subur ini dikuasai oleh Israel.
Foto: Reuters/B. Ratner
Sahara Barat
Sejak 46 tahun Maroko bertempur melawan Republik Sahrawi yang mengklaim seluruh Sahara Barat sebagai wilayahnya. Hingga kini sebagian besar kawasan sengketa seluas dua kali pulau Jawa ini masih dikuasai Maroko. Menurut catatan sejarah, sejak awal perang sudah 21.000 nyawa melayang.
Foto: DW/A. Errimi
Pulau Malvinas/Falkland
Digerakkan oleh rasa nasionalisme, Argentina 1982 menduduki pulau Malvinas yang dikuasai Inggris. Akibatnya perang berkecamuk dan hampir 1000 serdadu meninggal dunia. Malvinas alias Falkland adalah konflik peninggalan era kolonialisme. Kepulauan seluas Nusa Tenggara Barat itu sudah diperebutkan oleh Spanyol dan Inggris sejak abad ke18
Foto: picture alliance/dpa/F. Trueba
Osetia Selatan & Abkhazia
Lebih dari 500 serdadu dan warga sipil tewas ketika Rusia mencaplok wilayah Georgia dan mendeklarasikan negara boneka. Abkhazia sudah bertempur demi kemerdekaan sejak awal 90an. Saat itu kelompok separatis melakukan pembersihan etnis Georgia. Lebih dari 10.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Perang etnis juga terjadi di Osetia Selatan antara 1989 hingga 1998.