1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Asia Tenggara Terancam Krisis Sampah

cp/vlz (afp, ap)3 Agustus 2015

Mulai dari Bantar Gebang di Jakarta hingga 'gunung berasap' Manila, tempat pembuangan sampah terbuka mengotori kota-kota Asia Tenggara. Perencana kota harus mengejar urbanisasi dan pertumbuhan industri.

Foto: ROBERTO SCHMIDT/AFP/Getty Images

Buruknya perencanaan kota dan lemahnya penegakan hukum dikhawatirkan mendorong Asia Tenggara menuju krisis sampah.

Tempat pembuangan sampah terbuka "hanya menawarkan solusi cepat dan mudah dalam jangka pendek," menurut studi Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik. Para pakar memperingatkan masalah lingkungan dan kesehatan akibat air serta lahan yang terkontaminasi.

Bangkok, sebuah kota yang dipadati 12 juta warga, memproduksi sekitar 10.000 ton sampah setiap hari, menyumbang porsi besar bagi 27 juta ton sampah yang dihasilkan negara monarki konstitusional itu.

Dari 2.500 tempat pembuangan sampah terbuka di Thailand, hanya seperlimanya yang dikelola dengan baik menurut Departemen Pengendalian Polusi.

"Tutup pembuangan sampah"

Kurangnya penegakan hukum patut disalahkan, kata Nicha Rakpanichmanee dari Ecological Alert and Recovery Thailand (EARTH), sembari menjelaskan bahwa rantai pembuangan sampah berpihak pada "siapapun yang bisa membayar."

Menurutnya, 1,9 juta ton sampah beracun raib begitu meninggalkan gerbang pabrik setiap tahun, dengan banyak pemilik pabrik mencemooh hukum demi menghemat biaya buang sampah secara aman dan menyuap operator yang bersedia untuk tutup mata.

"Yang terkena dampak terbesar masalah ini adalah warga miskin yang tidak bisa pindah kemana-mana," ujar Rakpanichmanee.

"Saya mau TPA ditutup," tegas Jad Pimsorn, seorang warga berusia 85 tahun yang tinggal dekat tempat pembuangan sampah Praeska di Thailand. "Saya hidup dengan air dan tanah yang terkontaminasi, tapi saya tidak mau anak cucu saya mengalaminya."

Diskusi sampah

Saat ini setiap rumah tangga di Thailand membayar iuran sampah kurang dari 50 sen Dolar atau Rp. 6.000,- per bulan.

Pemerintah kota mengatakan jumlah tersebut tidak menyanggupi mereka untuk berinvestasi bagi pabrik daur ulang atau insinerator modern yang ramah lingkungan. Namun mereka enggan menaikkan iuran, terutama bagi calon pemilih di permukiman-permukiman miskin.

Kini penguasa militer Jenderal Prayut Chan-O-Cha memberi harapan baru. Ia bertekad mengatasi masalah sampah di Thailand. Sang petinggi junta ingin memperbaiki kebijakan sampah setelah bertahun-tahun melewati perencanaan jangka pendek.

Departemen Pengendalian Polusi Thailand juga menyerukan peningkatan frekuensi pengambilan sampah dan pengetatan hukum untuk menggalakkan daur ulang.

Tak hanya pemerintah

Satu solusi adalah fasilitas yang lebih baik untuk membuat kompos dari sampah organik - terutama di negara-negara seperti Thailand yang hampir separuh dari 1,1 kilogram sampah rumah tangga yang diproduksi setiap warga per hari adalah sampah terbiodegradasikan.

Sembari mengangkat tempat sampah berisi makanan basi dan pecahan botol bir ke dalam truk sampah, sekelompok tukang sampah di Bangkok mengatakan warga Thailand harus mengubah kebiasaan mereka atau bersiap menghadapi konsekuensi.

"Sulit untuk memecahkan masalah sampah," tutur Wutthichai Namuangrak, yang tampaknya sudah kebal dengan bau menyengat dari dalam truk sampah. "Kami dapat membantu dengan mengambil sampah, tapi warga tak bisa hanya mengandalkan kami."

cp/vlz (afp, ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait