1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Dunia DigitalIndonesia

Asli atau AI? Cek Fakta Video Ambruknya Ponpes Al-Khoziny

Rivi Satrianegara
9 Oktober 2025

Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo ambruk, lengkap dengan logo media nasional di pojok layar. Apakah ini benar rekaman kejadian asli?

Tangkapan layar video tragedi ambruknya Ponpes Al-Khoziny dengan label Palsu dan Dibuat oleh AI
Video tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al-Khoziny tersebar di TikTokFoto: tiktok

Sebuah video yang memperlihatkan ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, beredar luas di TikTok. Dalam tayangan tersebut, tampak sebuah bangunan besar roboh, lengkap dengan logo media nasional di sudut layar, seolah merupakan cuplikan dari pemberitaan resmi.

Video ini pertama kali diunggah pada 29 September 2025 dan telah ditonton hampir 24 juta kali, mendapat lebih dari 207 ribu likes, serta hampir 5.000 komentar.

Sekilas bangunan dalam video itu memang menyerupai foto Pondok Pesantren Al-Khoziny yang dilaporkan ambruk pada Senin (29/09), menewaskan sedikitnya 67 orang saat artikel ini dirilis.

DW melakukan analisis terhadap video tersebut.

Klaim: Sebuah video di media sosial menunjukkan detik-detik bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny ambruk. Video tersebut disematkan di bawah berita berjudul "Detik-Detik Bangunan Empat Lantai di Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo Ambruk saat Santri Salat Ashar Berjamaah" dengan logo media nasional, menyerupai pemberitaan resmi. 

Cek Fakta DW: Dibuat oleh AI dan palsu

Setelah melakukan riset mendalam, tim Cek Fakta DW menemukan bahwa video viral yang memperlihatkan ambruknya Pondok Pesantren Al-Khoziny ternyata dibuat oleh AI dan palsu.

Secara visual, video tersebut menunjukkan sejumlah kejanggalan: gerakan kamera terasa kaku, suara bangunan roboh tidak sinkron, dan efek debu saat runtuh terlihat seperti simulasi digital.

Di sudut kanan atas juga terdapat logo PixVerse.ai. Hasil telusuran kami menemukan bahwa PixVerse adalah platform yang dapat menghasilkan video menggunakan kecerdasan buatan.

Pemeriksaan lebih lanjut dengan alat pendeteksi video AI juga menunjukkan 82,89% kemungkinan video tersebut hasil buatan AI.

Pengecekan menggunakan alat pendeteksi video AI menunjukkan 82,89% kemungkinan video tersebut buatan AIFoto: Zhuque AI Detection Assistant

Menariknya, dalam unggahan aslinya, pembuat konten sebenarnya telah menyertakan tagar #ilustrasi dan #AI di bagian keterangan. Namun, banyak pengguna tetap mengira video itu adalah rekaman nyata dari kejadian tragis tersebut.

Kesimpulannya, meskipun tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al-Khoziny benar-benar terjadi, video yang memperlihatkan detik-detik kejadian tersebut bukanlah dokumentasi asli, melainkan hasil rekayasa digital.

Media spoofing: Pemalsuan identitas media

Kami juga menelusuri klaim yang menyebut video itu berasal dari berita Liputan6.com. Hasil pengecekan menunjukkan bahwa Liputan6.com memang memuat berita dengan judul dan isi yang sama, tetapi tidak menampilkan video ambruknya bangunan pondok pesantren.

Dalam artikel aslinya hanya terdapat foto bangunan sebelum runtuh, sedangkan isi beritanya adalah kesaksian salah satu santri yang berada di lokasi saat kejadian.

Pelaku menggunakan logo Liputan6 saat menyebarkan video amburknya pondok pesantrenFoto: tiktok

Artinya, identitas media dan elemen visual Liputan6.com digunakan tanpa izin untuk mendukung informasi palsu.

Praktik seperti ini dikenal sebagai media spoofing atau pemalsuan identitas media, yakni upaya meniru tampilan media kredibel untuk memberi kesan otentik pada konten yang isinya telah disunting.

Hasil penelusuran kami lewat pencarian gambar terbalik di Google juga menemukan bahwa video tersebut diunggah ulang oleh sejumlah akun di berbagai platform. Dari sejumlah unggahan ulang yang kami periksa, tidak satu pun mencantumkan keterangan bahwa video itu buatan AI. Di antaranya bahkan ada akun bercentang biru. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana disinformasi bisa menyebar luas, bahkan melalui akun yang selama ini diasosiasikan dengan kredibilitas.

Centang biru tak lagi jadi jaminan

Peneliti media dan teknologi Pusat Studi Komunikasi, Media, Budaya dan Sistem Informasi (Center for Communication, Media, Culture, and Information System/CMIC), Detta Rahmawan, menilai fenomena seperti ini tidak muncul tanpa pola.

"Mereka memirip-miripkan dengan media arus utama yang sudah kredibel. Biasanya mereka mencari momentum yang sedang ramai, lalu membuat konten yang secara emosional mudah tersebar. Headline-nya juga sering dibuat sensasional dan bersifat clickbait,” katanya.

Menurut Detta, ada dua sisi dari masalah ini. Di satu sisi, keterbukaan tentang penggunaan AI melalui tagar atau keterangan memang penting, tapi di sisi lain tidak semua orang memahami arti dari pengungkapan itu. Sebab, belum tentu audiens paham dan sadar bahwa sebuah konten adalah buatan AI. "Jadi, faktor audiensnya juga jadi penentu bagaimana disinformasi bisa muncul,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pergeseran makna simbol "centang biru” yang kini tidak lagi menandakan verifikasi kredibel.

"Tadinya, (untuk mendapatkan centang biru) ada proses verifikasi yang cukup ketat dari platform. Sekarang itu semua bisa dibeli pakai uang,” jelas Detta. "Mereka hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang mungkin muncul.”

Menurutnya, perubahan sistem di industri inilah yang membuka ruang lebih besar bagi penyebaran konten menyesatkan.

"Ini (centang biru) adalah simbol-simbol yang dari dulu sudah dipahami masyarakat sebagai tanda kredibilitas. Ketika aturan itu diubah oleh industri tanpa dijelaskan ke publik, akhirnya muncul kebingungan. Apalagi tingkat literasi digital di Indonesia masih belum tinggi,” tambahnya.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana teknologi AI dan perubahan sistem verifikasi di media sosial bisa saling berkaitan dan menciptakan ruang baru bagi disinformasi. 

Editor: Hani Anggraini

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait