Ratusan triliun rupiah kerugian yang diakibatkan kebekaran hutan. Belum lagi gangguan kesehatan dan hal lainnya. Tiap tahun kebakaran hutan jadi momok menakutkan. Bagaimana solusinya? Simak opini Agus P. Sari.
Iklan
Musim hujan yang terlambat datang ini berganti dengan musim kemarau. Di beberapa tempat, kekeringan kembali melanda. Bersamaan dengan itu, resiko kebakaran lahan dan hutanpun turut menghantui.
Kebakaran lahan dan hutan pada Juli – Oktober 2015 merugikan Rp 221 triliun, setara dengan sekitar 2 persen pendapatan negara dan lebih dari 10 persen anggaran pemerintah.
Tahun 2015, terjadi beberapa hal sekaligus yang memperbesar resiko kebakaran. El Niño yang sangat intensif menyebabkan kekeringan yang masif. Tetapi, pada saat yang sama, lembaga-lembaga negara yang seharusnya mengurusi kebakaran baru mulai bekerja atau malah belum terbentuk. Kementerian Lingkungan dan Kehutanan baru saja terbentuk, tetapi struktur dan pejabatnya belum lagi ada. Apalagi anggarannya.
Perangkat penegak hukumnya baru saja mengalami perubahan besar: pergantian Kepala Badan Reserse Kriminal dan Kepala Kepolisian Daerah di beberapa propinsi rawan kebakaran. Herry Purnomo (CIFOR) dalam penelitiannya telah menemukan bahwa pembakaran hutan telah menjadi sebuah industri, dan tidak lagi permasalahan yang kasuistik atau ad hoc. Ada praktik jual-beli lahan — yang sebagiannya ilegal — di mana lahan terbakar nilainya lebih tinggi daripada lahan biasa.
Walaupun demikian, beberapa permasalahan mendasar berkaitan dengan pengelolaan hutan masih mesti diperbaiki. Hingga saat ini, walaupun sudah jauh lebih baik daripada dulu, Indonesia masih menempati urutan teratas sebagai perusak hutan terbesar sedunia. Banyak akar masalah (underlying causes) adalah di wilayah dan sektor di luar hutan dan lahan gambut.
7 Fakta Mengerikan Kebakaran Hutan di Indonesia
Bukan saja memukul perekonomian, kebakaran hutan di Indonesia juga mendatangkan berbagai masalah besar lainnya, terutama masalah kesehatan dan lingkungan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hutan Musnah
Sekitar 1,7 juta hektar hutan dan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan musnah dilalap api. Demikian menurut data yang dikeluarkan pemerintah.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Udara Tercemar
Sejauh ini, kebakaran hutan di Indonesia tahun telah melepaskan sekitar 1,7 miliar ton karbon dioksida (CO2). Jumlah ini dua kali lipat dari jumlah karbon dioksida yang diproduksi Jerman per tahunnya. Tahun 2014 lalu, sekitar 800 juta ton CO2 dilepaskan Jerman di udara.
Foto: Reuters/S. Teepapan
Emisi Tinggi
Para peneliti memperkirakan, pada bulan September dan Oktober, emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia per harinya melebihi emisi rata-rata harian dari seluruh kegiatan ekonomi di Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahondo
Senyawa Mematikan
Penelitian di Kalimantan Tengah menunjukkan adanya senyawa berbahaya di udara, termasuk ozon, karbon monoksida, sianida, amoniak, formaldehida, oksida nitrat dan metana.
Foto: Getty Images/AFP/A. Qodir
Korban Kebakaran Hutan
Sampai sekarang, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sedikitnya telah menewaskan 10 orang. Dan akibat kabut asap, 500.000 orang terserang penyakit, terutama masalah pernafasan.
Foto: Getty Images
Partikel Halus Berbahaya
Di wilayah lahan gambut yang terbakar, level partikulat atau partikel halus meningkat menjadi lebih dari 1.000 mikrogramm per meter kubik udara. Angka ini tiga kali lebih besar dari tingkat yang dianggap berbahaya.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Wahyudi
Biang Keladi
20 persen dari penyebab kebakaran hutan di Indonesia diperkirakan akibat pembalakan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tahun 2014, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, memasok setengah dari kebutuhan minyak sawit dunia.
Foto: CC/a_rabin
7 foto1 | 7
Pendekatan bentang alam
Salah satu pendekatan yang sedang mendapat perhatian besar adalah pendekatan bentang alam (landscape approach). Saat ini, pendekatan bentang alam dianggap bisa menjadi solusi pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan gambut yang lebih menyeluruh, dan lebih mampu mencari penyelesaian untuk akar permasalahan (underlying causes) dari kerusakan hutan.
Pendekatan ini sebetulnya telah dikembangkan sejak dulu, yaitu sejak adanya kesadaran bahwa penanganan masalah lingkungan tidak bisa menggunakan batas wilayah artifisial, tetapi harus menggunakan batas-batas ekologis. Misalnya, batas daerah aliran sungai. Batas ekologis inilah yang mendefinisikan bentang alamnya.
Intinya, pendekatan bentang alam adalah pendekatan pengelolaan lingkungan berdasarkan batas bentang alamnya. Sejalan dengan waktu, batas-batas ekologis dianggap belum cukup. Untuk mendefinisikan sebuah bentang, aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya menjadi penting, seperti juga aspek alami.
Sementara itu, pada diskursus mengenai REDD+ (penurunan emisi gas-gas rumah kaca akibat deforestasi dan kerusakan hutan), mulai diperkenalkan pendekatan jurisdiksi (jurisdictional approach), di mana kegiatan-kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan (dan lahan gambut) tidak lagi dibatasi pada batasan hutan dan lahan gambut tersebut, tetapi justru pada batasan administratif (sebagai refleksi batas bentang politis, ekonomi, dan mungkin juga sosial dan budaya, selain batas alami). Kegiatan-kegiatan konservasi dan rehabilitasi mulai disangkutkan dengan kegiatan-kegiatan di dalam jurisdiksi tapi di luar wilayah konservasi.
Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia
Ambisi Eropa mengurangi jejak karbonnya menjadi petaka untuk hutan Indonesia. Demi membuat bahan bakar kendaraan lebih ramah lingkungan, benua biru itu mengimpor minyak sawit dari Indonesia dalam jumlah besar.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Oelrich
Hijau di Eropa, Petaka di Indonesia
Bahan bakar nabati pernah didaulat sebagai malaikat iklim. Untuk memproduksi biodiesel misalnya diperlukan minyak sawit. Sekitar 45% minyak sawit yang diimpor oleh Eropa digunakan buat memproduksi bahan bakar kendaraan. Namun hijau di Eropa berarti petaka di Indonesia. Karena kelapa sawit menyisakan banyak kerusakan
Foto: picture-alliance/dpa/J. Ressing
Kematian Ekosistem
Organisasi lingkungan Jerman Naturschutzbund melaporkan, penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran untuk Biodiesel meningkat enam kali lipat antara tahun 2010 dan 2014. Jumlah minyak sawit yang diimpor Eropa dari Indonesia tahun 2012 saja membutuhkan lahan produksi seluas 7000 kilometer persegi. Kawasan seluas itu bisa dijadikan habitat untuk sekitar 5000 orangutan.
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Campur Tangan Negara
Tahun 2006 silam parlemen Jerman mengesahkan regulasi kuota bahan bakar nabati. Aturan tersebut mewajibkan produsen energi mencampurkan bahan bakar nabati pada produksi bahan bakar fossil. "Jejak iklim diesel yang sudah negatif berlipat ganda dengan campuran minyak sawit," kata Direktur Natuschutzbund, Leif Miller.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Komoditas Andalan
Minyak sawit adalah komoditi terpanas Indonesia. Selain bahan bakar nabati, minyak sawit juga bisa digunakan untuk memproduksi minyak makan, penganan manis, produk kosmetika atau cairan pembersih. Presiden Joko Widodo pernah berujar akan mendorong produksi Biodiesel dengan campuran minyak sawit sebesar 20%. Di Eropa jumlahnya cuma 7%.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Menebang Hutan
Untuk membuka lahan sawit, petani menebangi hutan hujan yang telah berusia ratusan tahun, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau, ini. "Saya berharap hutan ini dibiarkan hidup selama 30 tahun, supaya semuanya bisa kembali tumbuh normal," tutur Peter Pratje dari organisasi lingkungan Jerman, ZGF. "Tapi kini kawasan ini kembali dibuka untuk lahan sawit."
Foto: picture-alliance/dpa/N.Guthier
Kepunahan Paru paru Bumi
Hutan Indonesia menyimpan keragaman hayati paling kaya di Bumi dengan 30 juta jenis flora dan fauna. Sebagai paru-paru Bumi, hutan tidak cuma memproduksi oksigen, tapi juga menyimpan gas rumah kaca. Ilmuwan mencatat, luas hutan yang menghilang di seluruh dunia setiap enam tahun melebihi dua kali luas pulau Jawa
Foto: Getty Images
6 foto1 | 6
Contoh pendekatan bentang alam
Contoh pendekatan bentang alam adalah sebagai berikut. Salah satu (bukan satu-satunya, tentu saja) akar permasalahan kerusakan hutan adalah kehidupan masyarakat petani yang masih prasejahtera dengan produktivitas pertanian gurem yang tidak produktif. Pembalakan hutan oleh mereka adalah cara untuk memperluas lahan kebun gurem mereka, walau tidak produktif, untuk menambah penghasilan mereka.
Ini berarti bahwa kegiatan peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktivitas kebun, dengan prasyarat untuk tidak ekspansi kebun ke wilayah hutan atau lahan gambut yang dilindungi bisa dianggap sebagai kegiatan melindungi hutan dan lahan gambut.
Kegiatan-kegiatan lain, seperti penguatan penegakan hukum di tingkat lokal dan tapak, misalnya, bisa juga dianggap sebagai kegiatan yang sama, yaitu kegiatan melindungi hutan dan lahan gambut.
Kesempatan baru
Pendekatan ini membuka kesempatan-kesempatan baru. Pertama, karena berdasarkan wilayah yang lebih luas daripada wilayah perlindungan, maka wacana mengurangi kerusakan hutan adalah wacana pembangunan, bukan hanya wacana lingkungan hidup.
Kedua, kegiatan-kegiatan dalam bentang alam tersebut dapat merupakan kegiatan produktif yang menarik investasi. Dengan pendekatan ini, perlindungan alam dan pembangunan dapat berjalan bersama-sama.
Penulis:
Agus P. Sari adalah CEO Yayasan Belantara, sebuah lembaga nirlaba yang berupaya mengkonservasi dan merehabilitasi hutan dan lahan gambut di Indonesia melalui pendekatan bentang alam.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kebakaran Hutan Ancam Orang Utan
Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tidak saja menimbulkan masalah bagi manusia, tapi juga bagi berbagai jenis flora dan fauna, termasuk bagi orang utan. Berikut beberapa dampak kebakaran hutan pada orang utan.
Foto: picture-alliance/dpa/Fully Handoko
Habitat dan Populasi Terancam
Pembalakan hutan serta kebakaran hutan menjadi ancaman utama bagi habitat dan populasi orang utan. Menurut data tahun 2008, di Kalimantan hidup sekitar 56.000 orang utan di alam liar. Namun akibat pembalakan hutan, dan diperparah dengan kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun, populasi orang utan saat ini diperkirakan tinggal 30.000 – 40.000.
Foto: picture alliance/dpa
Korban Kebakaran Hutan
Menurut Borneo Orang Utan Survival Foundation (BOSF), 16 bayi orang utan yang berada di hutan rehabilitasi di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, mengalami masalah kesehatan akibat paparan kabut asap. Belum ada informasi berapa ekor orangutan yang menjadi korban tewas akibat kebakaran hutan. Namun BOSF meyakini banyak orangutan yang tidak mampu menyelamatkan diri dari kebakaran yang melanda hutan.
Foto: Reuters/FB Anggoro/Antara Foto
Waktu Tidur
Selama terjadinya kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap tebal, orangutan diamati pergi tidur lebih awal dari biasanya, yaitu antara pukul 14:30 – 15:00. Pada kondisi normal, orangutan tidur pada pukul 17:00. Dan saat bencana kabut asap, orangutanpun tidur lebih lama. Biasanya orangutan bangun pukul 04:30-05:00, namun kini mereka bangun sekitar pukul 06:00.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Lebih Mendekat ke Tanah
Selama terjadinya kabut asap, orangutan membangun sarang lebih rendah dibandingkan pada kondisi normal. Selain itu, dari pengamatan terlihat juga adanya orangutan yang mengalami perubahan dalam pola makannya. Walau saat ini makanan pokok mereka, buah Tutup Kabali, masih tersedia di hutan, tapi beberapa orangutan lebih memilih umbut dari sejenis pohon pandan.
Foto: picture-alliance/WILDLIFE
Keluar dari Habitat
Sejak kabut asap yang dipicu kebakaran hutan terjadi, orang utan juga kerap terlihat masuk pemukiman warga. Sebenarnya, orang utan dikenal sebagai hewan pemalu dan berusaha untuk menghindari kontak dengan manusia. Tapi karena habitatnya rusak atau musnah akibat kebakaran hutan, kini orang utan turun hingga ke permukiman penduduk untuk mencari makan dan bertahan hidup.