Ibu negara Prancis Brigitte Macron memilih untuk mendukung para siswa kembali memakai seragam wajib di sekolah, dan mengatakan bahwa itu dapat membantu "menghapus kesenjangan" dan menghemat waktu serta uang orang tua.
Iklan
Majelis Nasional Prancis pada hari Kamis (12/01) memperdebatkan apakah mereka akan kembali memberlakukan seragam sekolah atau tidak. Mosi tersebut diajukan oleh partai kanan-jauh Rassemblement National (RN) yang dipimpin oleh mantan kandidat presiden Marine Le Pen.
Perdebatan ini muncul ketika pemerintahan Presiden Emmanuel Macron berusaha untuk meningkatkan standar pendidikan Prancis, dengan mengumumkan langkah-langkah baru untuk membantu meningkatkan keterampilan dasar aritmatika, membaca dan menulis para siswa.
Seragam sekolah tidak lagi diwajibkan di Prancis sejak tahun 1968 silam, namun topik ini telah kembali ke agenda politik negara tersebut. Banyak yang mendukung gagasan dikembalikannya seragam sekolah untuk para siswa.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Beberapa berpendapat bahwa seragam sekolah membantu mempromosikan kesetaraan, dan menghapus perbedaan status sosial maupun kekayaan individu. Namun banyak pula yang mengatakan bahwa hal itu hanyalah pengalihan isu dari masalah serius lainnya yang lebih mengganggu para siswa sekolah, seperti halnya prestasi akademik mereka.
Menteri Pendidikan Pap Ndiaye justru menentang pemberlakuan seragam sekolah untuk semua murid ini. Menteri Aksi dan Akun Publik Gabriel Attal, yang merupakan kubu sekutu Macron, mengatakan kepada media Prancis BFMTV bahwa administrator sekolah dan orang tua harus sepakat dan satu suara tentang masalah ini, yakni mendukung agar seragam sekolah tidak boleh diwajibkan.
Iklan
Pendapat ibu negara justru berbeda
Tetapi ibu negara Prancis Brigitte Macron justru mendukung pemberlakuan kembalinya seragam sekolah secara nasional. Dengan kata lain, ibu negara ikut menolak kebijakan pemerintah suaminya tentang masalah ini dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Le Parisien.
Brigitte Macron mengatakan bahwa dia telah mengenakan seragam selama 15 tahun saat menjadi siswa sekolah dan "berpikir itu hal yang baik-baik saja."
"Hal itu dapat menghapus perbedaan serta menghemat waktu, karena untuk memilih gaya berpakaian setiap pagi hari itu sangat memakan waktu. Dan menghemat uang dibandingkan dengan [membeli barang merek] desainer," kata ibu negara kepada Le Parisien.
"Jadi saya mendukung pemakaian seragam sekolah, tetapi dengan pakaian yang sederhana dan pastinya tidak membosankan," tambahnya.
Brigitte Macron adalah pensiunan guru bahasa Latin dan sastra yang telah berkarir selama 20 tahun. Ia bertemu dengan suaminya saat ini, Emmanuel, di salah satu kelas teater sepulang sekolah.