Putusan MA di Brasil membuat perusahaan media sosial terancam denda jika gagal menghapus konten tertentu di platform mereka. Langkah ini memicu kekhawatiran munculnya praktik sensor berlebihan.
Mahkamah Agung Brasil belum mencapai kesepakatan mengenai jenis konten yang dianggap ilegalFoto: Yui Mok/empics/picture alliance
Iklan
Mahkamah Agung Brasil memutuskan pada Rabu (11/06) bahwa perusahaan media sosial dapat dimintai pertanggungjawaban atas beberapa jenis konten yang dipublikasikan oleh pengguna di platform mereka.
Mayoritas tipis, yaitu enam dari sebelas hakim Mahkamah Agung, mendukung putusan tersebut. Namun, mereka belum mencapai kesepakatan mengenai jenis konten apa saja yang akan dianggap ilegal.
Isu regulasi media sosial semakin mendesak di Brasil setelah kerusuhan 8 Januari 2023, ketika para pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro menyerbu gedung-gedung pemerintah di ibu kota, Brasília.
Jerat Hukum Kasus Cyberbullying di Berbagai Negara
Berdasarkan laporan UNICEF 2021, sebanyak 45 persen pemuda berusia 14-24 tahun di seluruh dunia pernah mengalami cyberbullying. Lantas, upaya apa saja yang dilakukan sejumlah negara dalam mengatasi perundungan siber?
Foto: Getty Images/China Photos
Indonesia
Pelanggaran cyberbullying diatur dalam UU ITE pasal 27 ayat (3), dengan ancaman penjara paling lama 4 tahun dan atau denda maksimal Rp750 juta. Jika kasus perundungan siber terjadi pada anak-anak, pelaku bisa dijerat dengan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 80, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.
Foto: Iman Baruna/DW
Malaysia
Badan keamanan siber nasional (Cybersecurity Malaysia), di bawah Kementerian Komunikasi dan Multimedia (KKMM), menerima 6.598 pengaduan publik terkait cyberbullying dari tahun 2020 hingga Juli 2021. Meski belum ada undang-undang yang disahkan, korban perundungan siber dapat melaporkan kasusnya ke polisi atau membawa kasusnya ke KKMM. Pelaku bisa diancam hukuman penjara dan denda hingga RM50.000.
Foto: Malaysia Tourism Promotion Board
Singapura
Undang-undang perlindungan dari tindak pelecehan (POHA) Singapura diberlakukan sejak 2014, dirancang khusus untuk kasus penindasan, penguntit, dan pelecehan baik online maupun di kehidupan nyata. Jika terbukti bersalah, pelaku akan dikenai denda hingga S$5.000 dan atau hukuman penjara hingga enam bulan.
Foto: picture-alliance/robertharding/G. Hellier
Australia
Menurut Australian Cybercrime Online Reporting Network, hukuman atas tindak pelecehan dan penindasan online yang serius diatur dalam KUHP 1995, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara atau denda lebih dari $30.000. Selain itu, otoritas juga mengembangkan aplikasi Take a Stand Together dalam mengatasi masalah cyberbullying di kalangan siswa sekolah.
Foto: I. Schulz/McPHOTO/blickwinkel/IMAGO
Jepang
Berlaku sejak Juli 2022, pelaku cyberbullying di Jepang menghadapi hukuman penjara hingga satu tahun atau denda yang lebih berat hingga 300.000 yen. Sebelumnya, pelaku dikenai penahanan selama 30 hari dan atau denda kurang dari 10.000 yen. Limitasi kasus cyberbullying yang diterima korban juga diperpanjang, dari yang semula satu tahun menjadi tiga tahun.
Foto: KAZUHIRO NOGI/AFP/Getty Images
Korea Selatan
Data Statista menunjukkan 234 ribu kasus cyberbullying dilaporkan ke polisi Korea Selatan pada 2020, menandai peningkatan sekitar 54 ribu kasus hanya dalam satu tahun. Belum ada undang-undang khusus untuk menindak perundungan siber. Pihak berwenang juga mengaku sulit untuk menyelidikinya karena kurangnya kerja sama dengan platform utama seperti YouTube dan Instagram.
Foto: Ed Jones/AFP/Getty Images
Amerika Serikat
Tidak ada undang-undang federal yang secara khusus menangani perundungan siber, tetapi setiap yurisdiksi menangani tindakan intimidasi secara berbeda. Namun, terdapat aplikasi seperti Kindly yang mampu mendeteksi cyberbullying pada tahap awal dengan memanfaatkan Artificial Intellegence (AI). (ha/vv) (Berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/J. Schwenkenbecher
7 foto1 | 7
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi
Meskipun putusan Mahkamah Agung Brasil dipuji karena memperkuat tanggung jawab hukum platform digital, sejumlah pengamat memperingatkan bahwa langkah ini juga bisa membuka jalan bagi praktik sensor berlebihan. Tanpa definisi yang jelas mengenai jenis konten yang dianggap ilegal, platform mungkin akan memilih untuk menurunkan konten secara masif demi menghindari sanksi hukum.
Iklan
"Dalam upaya melindungi ruang digital dari konten berbahaya, kita jangan sampai melemahkan kebebasan berpendapat,” kata Camila Rocha, peneliti di Pusat Studi Media dan Demokrasi São Paulo. "Platform bisa terdorong melakukan overblocking, menghapus konten yang sebenarnya sah atau penting secara sosial karena takut terkena denda.”
Kekhawatiran ini semakin menonjol karena hakim dalam putusan tersebut belum mencapai konsensus tentang kategori konten apa yang secara hukum dianggap ilegal. Hal ini meninggalkan ruang abu-abu yang cukup besar bagi perusahaan untuk menafsirkan sendiri apa yang harus dihapus.
Pengamat memperingatkan bahwa tanpa batasan dan sistem kontrol yang jelas, platform bisa menjadi "penyensor swasta” yang menentukan sendiri apa yang layak dikatakan di ruang publik digital.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kapan putusan ini berlaku?
Proposal hukum terkait media sosial ini akan resmi menjadi undang-undang setelah seluruh hakim selesai memberikan suara. Masih ada empat hakim yang belum memberikan suara.
Secara teknis, hakim yang telah memberikan suara masih bisa mengubah pilihan mereka, namun hal tersebut jarang terjadi.
Sejauh ini, hanya satu hakim Andre Mendonça yang menyatakan tidak setuju untuk mengubah undang-undang yang berlaku saat ini. Suaranya diumumkan minggu lalu.
Mendonça menekankan bahwa kebebasan berpendapat di media sosial penting untuk memastikan adanya publikasi informasi guna "mengawasi dan meminta pertanggungjawaban lembaga publik yang berkuasa, termasuk pemerintah, elit politik, dan juga platform digital."
Undang-undang yang berlaku saat ini menyatakan bahwa perusahaan media sosial hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas konten pihak ketiga di platform mereka jika mereka tidak menghapus konten tersebut setelah adanya perintah pengadilan.
Negara yang Pernah Batasi Media Sosial Dalam Keadaan Darurat
Heboh WhatsApp, Facebook dan Twitter tidak bisa diakses pasca-kisruh 22 Mei ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara lain ternyata juga pernah melakukan hal serupa. Negara mana saja dan apa alasan pemblokiran?
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Indonesia
61.000 akun Whatsapp, 640 akun Instragram, 848 akun Twitter, 551 akun facebook diblokir pascakerusuhan akibat penolakan hasil Pemilu 2019. Warganet juga terkena imbas karena akses sosial media dibatasi. Meski ada saja netizen yang coba mengakses internet melalui VPN. Menurut Menkominfo Rudiantara ini adalah cara agar berita hoaks dan gambar provokatif tidak beredar memperkeruh suasana.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Sri Lanka
Akibat banyaknya berita hoaks tersebar pasca-peristiwa bom bunuh diri Paskah (21/04), pemerintah Sri Lanka menutup jejaring sosial Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan WhatsApp selama 9 hari. Bom yang menewaskan 258 orang dan menyebabkan 500 orang terluka diduga didomplengi ISIS. Banyak yang mengaku menggunakan VPN dan TOR agar tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat dekat.
Foto: Getty Images/L. Wanniarachchi
Bangladesh
Pemerintah menghentikan layanan internet 3G dan 4G sebelum pemilu untuk jaga keamanan negara dan mencegah penyebaran desas-desus, menurut Asisten Direktur Senior BTRC, Zakir Hossain Khan Desember 2018 lalu. Bangladesh bahkan menutup akses terhadap portal berita populer, Poriborton.com Selasa (21/05) karena laporannya menyebabkan kemarahan badan intelijen militer Bangladesh
Foto: DW/A. Islam
Sudan
Awal Januari 2019, pemerintah Sudan juga menutup akses media sosial populer setelah kerusuhan berlangsung selama dua minggu. Saat itu, warga protes agar Presiden Omar Al-Bashir turun dari jabatannya setelah berkuasa 20 tahun. Menurut Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan, Salah Abdallah, pemblokiran sosial media sudah jadi bahan perbincangan sejak kisruh terjadi 21 Desember 2018.
Foto: Reuters/M. Nureldin Abdallah
Iran
Sejak 2018, aplikasi Telegram diblokir pemerintah karena dianggap telah digunakan sejumlah pihak anti-pembangunan di Iran. 40 dari 46 juta pengguna media sosial di Iran menggunakan Telegram untuk banyak hal, mulai dari berjualan pakaian hingga mencari dokter. Media sosial seperti Facebook dan Twitter sudah ditutup sejak tahun 2009.
Foto: picture alliance/dpa/D. Feoktistov/TASS
Rusia
Pertengahan tahun 2018, pemerintah Rusia juga menutup akses Telegram, aplikasi pesan instan yang dianggap aman dan terenkripsi baik. Bahkan pemerintah mengancam pemblokiran akses VPN untuk mengakses situs terlarang. Badan sensor Rusia telah mengirim notifikasi pemblokiran oleh 10 penyedia VPN di Rusia, di antaranya seperti KNordVPN, Hide My Ass! dan Kaspersky Secure Connection sejak April 2018.
Foto: picture alliance/dpa/V. Prokofyev
Cina
Cina memiliki platform media sosial sendiri yang dikelola oleh negara, seperti WeChat, Weibo, QQ dan YouKu. Media sosial besar seperti Facebook, YouTube dan WhatsApp tidak bisa diakses. Lewat sistem poin (scoring system), kebebasan berekspresi baik melalui media sosial maupun telepon kini dimonitor penuh oleh pemerintah. Ed: ss/ts (Reuters, AFP)
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Sejalan dengan tren global, tapi tantangan tetap ada
Putusan Mahkamah Agung Brasil ini mencerminkan tren global yang makin mendorong akuntabilitas platform digital, mengikuti jejak regulasi seperti Digital Services Act (DSA) di Uni Eropa yang mengharuskan platform untuk menangani konten ilegal secara cepat dan transparan.
Namun, Brasil menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Selain keterbatasan infrastruktur digital dan kapasitas moderasi lokal, proses hukum dan politik di negara tersebut juga menambah kompleksitas. Sampai saat ini, putusan belum bersifat final karena masih menunggu empat suara hakim lainnya. Selain itu, perumusan teknis di parlemen, seperti definisi konten ilegal, batas tanggung jawab, dan mekanisme banding, belum ditetapkan.
Lucas Carvalho, analis kebijakan digital di Fundação Getulio Vargas, mengatakan "Brasil mengambil langkah penting menuju regulasi digital yang lebih bertanggung jawab. Tapi jika tidak dirancang secara hati-hati, kebijakan ini bisa menciptakan celah hukum atau bahkan memperburuk ketimpangan kekuasaan antara negara, platform, dan pengguna.”
Ia menambahkan bahwa proses selanjutnya perlu melibatkan masyarakat sipil dan pakar independen untuk memastikan keadilan, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia dalam ekosistem digital Brasil.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman