1 Juni diperingati sebagai Hari Anak Internasional di beberapa negara dunia, termasuk Jerman. Auma Obama, adik tiri Barack Obama, adalah aktivis yang memperjuangkan nasib anak-anak dan remaja.
Iklan
Auma Obama ingin mengubah pandangan orang dewasa terhadap anak-anak. Tapi sebelumnya, anak-anak harus mengetahui bahwa mereka juga memiliki hak, ujar sang aktivis kepada kantor berita dpa.
Selanjutnya, anak-anak harus diberi keberanian untuk menuntut hak mereka. Jadi pada akhirnya, mereka akan mampu mengendalikan hidupnya sendiri dan dengan demikian membantu dirinya dan juga masyarakat. Ini bantuan yang seharusnya diberikan, ujar Obama jelang Hari Anak Internasional tanggal 1 Juni.
"Masalah anak-anak seperti penganiayaan, eksploitasi dan semacamnya ada di seluruh belahan dunia", ujar Obama. Masalah ini tidak selalu berhubungan dengan materi. "Beberapa masalah justru timbul karena ada terlalu banyak materi."
Auma Obama mengenal kedua dunia tersebut. Ia dibesarkan di Kenya dan tinggal 16 tahun di Jerman. Yayasannya "Sauti Kuu" membantu anak-anak dan remaja yang terlupakan di kedua negara tersebut.
"Sangat penting agar omongan anak-anak didengar. Seringnya kita membicarakan anak-anak, tanpa melibatkan mereka", kritik perempuan berusia 55 tahun ini. Di Jerman pun, banyak anak-anak yang tidak mengenal haknya.
Tanpa pengetahuan ini, anak-anak dan remaja seringnya terlalu pasif dan seringnya mengatakan: "Ibu dan ayah yang mengurus saya. Atau dinas sosial yang mengurus saya. Ada pihak lain yang mengurus saya." Yayasan Obama berusaha menjelaskan kepada anak-anak, bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup.
"Anak-anak punya hak untuk didengar. Artinya mereka boleh menyampaikan pendapatnya", tegas Obama. "Mereka punya hak atas layanan kesehatan, pengobatan, dan pendidikan." Satu hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah, masalah anak-anak harus ditanggapi secara serius.
Hari Anak Internasional diperingati 1 Juni di lebih dari 30 negara, termasuk di Jerman, Cina, Rusia, Portugal, dan Pakistan.
vlz/rzn (dpa)
Bocah Bangladesh Mencari Nafkah
Sekitar 4,5 juta bocah mencari nafkah sebagai buruh di Bangladesh, dalam kondisi mengenaskan. Sebagian besar berada di ibukota Dhaka. DW mendokumentasikan keseharian mereka.
Foto: Mustafiz Mamun
Bocah Pembuat Balon
Kemiskinan yang menyekik acap memaksa sebuah keluarga mengirimkan putranya sebagai buruh. Kebanyakan mendapat pekerjaan kasar dalam kondisi yang mengenaskan dengan upah rendah, seperti di pabrik bata, konstruksi atau pabrik balon. Pabrik di dekat Dhaka ini banyak mempekerjakan buruh anak seperti bocah berusia 10 tahun ini.
Foto: Mustafiz Mamun
Absennya Pemerintah
Bocah seperti di pabrik ini sering bekerja di dekat bahan-bahan kimia berbahaya. Pemerintah Bangladesh mengeluarkan peraturan yang melarang bocah bekerja di 38 jenis pekerjaan yang berbahaya. Namun larangan itu belum pernah benar-benar diterapkan.
Foto: Mustafiz Mamun
Buruh di Bawah Umur
Bocah mendapat upah lebih sedikit ketimbang buruh dewasa. Padahal sebagian besar bekerja hingga 12 jam per hari. Sebab itu pula kebanyakan buruh di pabrik ini adalah anak-anak. Mereka biasanya bekerja di dalam ruang tertutup dan tersembunyi dari dunia luar. Buruh anak juga tidak mendapat cuti kecuali hari Jumat sore. Bangladesh memberlakukan hari libur untuk Jumat.
Foto: Mustafiz Mamun
Masa Depan Terancam
Ali Hossain, bocah yang bekerja sebagai pengrajin perak di Dhaka, dipaksa membanting tulang siang dan malam. Jam kerja panjang dan bunyi mesin pabrik yang memekakkan telinga membahayakan kesehatan dan masa depannya. Tidak heran jika pekerjaan berperan besar dalam angka kegagalan sekolah.
Foto: Mustafiz Mamun
Bocah di Pabrik Kulit
Menurut hukum ketenagakerjaan 2006, usia minimal buruh di Bangladesh adalah 14 tahun. Namun di sini, Asif yang berusia 12 tahun bekerja setidaknya 12 jam sehari di pabrik kulit. Ia terbiasa berurusan dengan bahan-bahan kimia beracun. Upah yang diterima Asif diberikan kepada ibunya.
Foto: Mustafiz Mamun
Rabbi dan Ibunya
Rabbi berasal dari Chandpur. Ia bekerja bersama ibunya di pabrik botol plastik. Pemilik pabrik mengklaim ia menolak mempekerjakan anak-anak. Rabbi mendapat pekerjaan ini cuma karena permintaan sang ibu lantaran pemasukannya tidak cukup membiayai keluarga.
Foto: Mustafiz Mamun
Kernet Belia
Sekitar 93 persen buruh anak di Bangladesh bekerja di sektor informal, seperti pabrik kecil, bisnis rumahan, sebagai pembantu rumah tangga atau di jalanan. Salah satu contohnya adalah kernet angkutan umum ini yang tidak jarang menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
Foto: Mustafiz Mamun
Bocah di Pabrik Bata
Batu bata adalah bahan konstruksi paling laku di Bangladesh. Banyak bocah bekerja sebagai buruh pabrik batu bata seperti di Dhaka ini. Mereka dibayar 15.000 hingga 18.000 Rupiah per hari buat mengangkat ribuan ton batu bata. Berbobot tiga kilogram per buah, setiap bocah harus mengangkut minimal 16 batu bata dalam sekali pikul.
Foto: Mustafiz Mamun
Nestapa di Usia Muda
Rahim terbiasa bekerja 12 jam tanpa upah atau makanan yang memadai. Terlebih ia juga harus berkutat di dalam kondisi kerja yang mengenaskan di pabrik Timah ini. Buruh anak juga terancam diskriminasi rasial, penganiayaan atau bahkan pelecehan seksual.