Aung San Suu Kyi Dituduh Melanggar UU Ekspor Impor
3 Februari 2021
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi yang ditahan dua hari lalu dalam kudeta militer, didakwa melanggar UU ekspor-impor. Negara anggota G7 menyatakan "sangat prihatin" atas penahanan tersebut.
Iklan
Polisi Myanmar mengajukan dakwaan terhadap pemimpin yang digulingkan dan kini ditahan, Aung San Suu Kyi pada Rabu (03/02) sebagai melanggar undang-undang impor dan ekspor negara itu.
Polisi dengan dasar tuduhan itu berupaya melakukan penahanan terhadap Suu Kyi hingga 15 Februari mendatang.
Berdasarkan data dari dokumen kantor polisi di ibu kota Naypyitaw, petugas militer yang menggeledah kediaman Suu Kyi menemukan radio genggam yang diimpor secara ilegal dan digunakan tanpa izin.
Sebuah dokumen terpisah menunjukkan polisi juga mengajukan tuntutan terhadap Presiden Win Myint atas pelanggaran di bawah Undang-Undang Manajemen Bencana. Laporan mengatakan Myint diduga telah melanggar aturan COVID-19 selama pelaksanaan rapat umum.
Perkembangan terbaru di Myanmar
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada Rabu (03/02) melaporkan kantornya di beberapa wilayah negara itu telah digerebek. Dokumen, komputer, dan laptop disita. Penggerebekan dimulai pada hari Selasa (02/02), kata partai itu dalam sebuah pernyataan di Facebook.
Mereka mendesak pihak berwenang untuk menghentikan tindakan yang diyakini melanggar hukum tersebut.
Pemimpin Myanmar yang baru mendeklarasikan diri, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, pemerintah militer yang dilantik setelah kudeta berencana untuk melakukan penyelidikan atas dugaan kecurangan dalam pemilihan tahun lalu.
Surat kabar negara Global New Light of Myanmar melaporkan pada hari Rabu (03/02) pemerintah militer juga akan memprioritaskan penanggulangan wabah COVID-19 dan pemulihan ekonomi.
Aung San Suu Kyi: Ironi Pejuang Kemerdekaan
Aung San Suu Kyi dari Myanmar memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir dia dihujani protes soal militer membantai Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahir untuk demokrasi
Aung San Suu Kyi lahir tanggal 19 Juni 1945 di Yangon, yang dulu merupakan ibu kota Myanmar di yaman koloni Inggris. Ia anak perempuan pahlawan nasional Jenderal Aung San yang menjadi korban serangan tahun 1947. Suu Kyi mengenyam pendidikan di Inggris dan pulang ke Myanmar pada akhir 1980an. Dia menjadi tokoh kunci dalam pemberontakan 1988 melawan kediktatoran militer di negara tersebut.
Foto: dapd
Tahanan Rumah
Tahun 1989, sesaat sebelum pemilu, Aung San Suu Kyi untuk pertama kalinya menjadi tahanan rumah. Hampir selama 15 tahun ini hanya mendekam di rumahnya. Setelah tahun 1995, Suu Kyi dilarang bertemu kedua putra dan suaminya, Michael Aris, bahkan setelah suaminya didiagnosis menderita kanker. Aris, terlihat di foto menampilkan gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada istrinya.
Foto: TORSTEN BLACKWOOD/AFP
Nobel Perdamaian
Tahun 1991 Aung San Suu Kyi diberi penghargaan Nobel Perdamaian bagi "usahanya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia." Karena ia khawatir, junta militer tidak akan mengizinkannya kembali ke Myanmar, putranya Kim yang menerima penghargaannya di Oslo. Setelah 20 tahun berselang, Aung San Suu Kyi baru bisa menyampaikan pidato penerimaannya.
Foto: AP
Bebas dari tahanan rumah
Masa tahanan rumahnya benar-benar berakhir tanggal 13 November 2010. Ini momen yang menandakan proses pendekatan antara Aung San Suu Kyi dan junta militer. Militer tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Foto: picture alliance/epa/N. C. Naing
Kunjungan Pertama Seorang Presiden AS
Akhir 2012, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar. Ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi di rumah tempat ia menjadi tahanan selama bertahun-tahun. Lewat kunjungannya, Obama seakan menghormati perjuangan sang tuan rumah dan membantu Myanmar keluar dari isolasi.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Penghargaan dari Berlin
Tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atau upayanya memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan, masa depan demokrasi negaranya masih belum jelas.
Foto: picture-alliance/dpa
Disumpah sebagai anggota parlemen
Usahanya selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 2012 Suu Kyi diizinkan mencalonkan diri dalam pemilu. Dia memenangkan kursi di parlemen saat Myanmar memulai peralihannya dari pemerintahan militer. Ia menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2015, tapi pada akhirnya ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan penasihat negara - peran yang mirip perdana menteri.
Foto: AP
Dikritik soal Rohingya
Krisis pengungsi Rohingya sedikti mencoreng namanya. Lembaga pembela hak asasi manusia melontarkan kritik terhadap pemenang hadiah Nobel perdamaian itu. Ia dtuding tidak berupaya untuk mengatasi krisis ini. Suu Kyi dianggap takut ditinggalkan pendukungnya yang mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Tidak lagi disukai
Ketika menjadi penasihat negara di tahun 2016, Suu Kyi membentuk komisi untuk menyelidiki klaim tindak kekejaman negara terhadap kaum Rohingya di negara bagian Rakhine. Suu Kyi menuding Rohingya menyebarkan "segunung informasi yang salah", dan prihatin dengan "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh para ekstremis. Sikapnya memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Laghari
Pemilu kontroversial
Pada tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD) yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu 8 November, dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Namun, pihak militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, mengklaim penipuan dan menuntut pemilihan baru yang diawasi oleh militer. Dengan itu muncul komentar-komentar yang menyinggung kemungkinan kudeta.
Foto: Shwe Paw Mya Tin/REUTERS
Militer menahan Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa sekutu politiknya, ditahan dalam penggerebekakan dini hari pada 1 Februari 2021 yang dipimpin oleh militer. Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil dan militer. Junta militer mengklaim kecurangan pemilu dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang mantan jenderal sebagai penjabat presiden.
Foto: Franck Robichon/REUTERS
11 foto1 | 11
G7 kecam kudeta militer
Negara-negara anggota G7 dan Uni Eropa mengatakan dalam sebuah pernyataan Rabu (03/02), mereka "bersatu dalam mengutuk kudeta di Myanmar."
"Kami sangat prihatin dengan penahanan para pemimpin politik dan aktivis masyarakat sipil, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, dan penargetan media," bunyi pernyataan Menteri Luar Negeri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris. dan AS, bersama dengan Perwakilan Tinggi UE.
Para menteri luar negeri meminta militer "untuk segera mengakhiri keadaan darurat, memulihkan kekuasaan kepada pemerintah yang dipilih secara demokratis, menghormati hak asasi manusia dan mengakui supremasi hukum."
Orang-orang yang "ditahan secara tidak adil" harus dibebaskan, anggota parlemen Uni Eropa menambahkan.
Beberapa negara anggota G7, termasuk Jerman dan AS telah mengecam secara independen menentang pengambilalihan militer, sebelum pernyataan bersama dirilis pada Rabu (03/02).
Iklan
Sanksi Uni Eropa
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan bahwa "sanksi tambahan harus dipertimbangkan di tingkat Eropa" jika situasi di Myanmar berlanjut. Pada 2018, UE menjatuhkan sanksi terhadap para jenderal di Myanmar atas pembantaian Muslim Rohingya. UE juga memberlakukan embargo senjata kepada negara Asia Tenggara tersebut.
Kementerian Luar Negeri Cina pada hari Rabu (03/02) mengatakan "teori yang relevan" yang menyebutkan Beijing mendukung atau memberikan persetujuan diam-diam untuk kudeta, adalah "tidak benar."
"Sebagai negara tetangga yang bersahabat dengan Myanmar, kami berharap semua pihak di Myanmar dapat menyelesaikan perbedaan mereka dengan tepat, dan menegakkan stabilitas politik dan sosial," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin.
Dr. Avinash Paliwal dari School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas London mengatakan kepada DW bahwa: "Sanksi Barat yang lebih luas akan sangat merugikan rakyat Myanmar. Elit militer akan terus memiliki akses ke sumber keuangan dan modal internasional melalui Cina. Hal ini sudah terjadi di masa lalu - dan akan terjadi lagi sekarang, jika Barat menjatuhkan sanksi yang ketat. "