1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Australia Biayai Warga Rohingya Kembali ke Myanmar

20 September 2017

Pemerintah Australia berjanji memberikan uang sebesar 25.000 Dolar Australia bagi pengungsi Rohingya, asalkan mereka bersedia kembali ke Myanmar. Tawaran ini dianggap ibarat "memberikan hukuman mati".

Rohingya Flüchtlinge Myanmar
Foto: Reuters

Pemerintah Australia menawarkan sejumlah uang kepada para pengungsi Rohingya yang bersedia kembali ke negara asal mereka. Iming-iming ini diberikan kepada warga Rohingya yang berada di pusat detensi imigran lepas pantai yang dibiayai Australia di Papua Nugini.

The Guardian menyebutkan pemerintahan Malcolm Turnbull tersebut berjanji memberikan uang sebesar 25.000 Dolar Australia atau setara dengan 267 juta Rupiah demi mengosongkan Pulau Manus dari para pengungsi. 

Tawaran ini muncul karena tahun lalu, Mahkamah Agung Papua Nugini memutuskan bahwa pusat detensi yang menampung sekitar 800 pengungsi tersebut adalah ilegal sehingga harus ditutup. Berdasarkan kesepakatan, tempat itu harus sudah dikosongkan per 31 Oktober 2017.

Upaya pemerintah Australia yang seolah-olah "mengusir" pencari suara asal Rohingya melahirkan perdebatan moral, terlebih sejak Myanmar dituding melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya. Elaine Pearson, direktur Human Rights Watch Australia menyebutkan upaya mengirim pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar ibarat seperti "memberikan hukuman mati".

"Warga Rohingya tak memiliki kewarganegaraan, karenanya mereka tidak bisa pulang. Mereka juga secara tepat memenuhi kriteria sebagai pengungsi," kata Pearson seperti dikutip dpa. "Australia harus mengakhiri empat tahun masa penderitaan mereka di Pulau Manus dan segera membawa mereka ke Australia."

Rohingya Ditolak di Mana-Mana

02:04

This browser does not support the video element.

Yahya Tabani, warga Rohingya yang diungsikan dari Australia ke Pulau Manus tahun 2013 menyebutkan ia tidak mempunyai pilihan alternatif selain kembali ke Myanmar.

"Saya tidak mau tinggal di Papua Nugini dan meninggal di sini. Lebih baik saya meninggal di Myanmar," ujar Tabani kepada The Guardian ketika menanti kelengkapan dokumen perjalanannya di Moresby. "Setibanya saya di Myanmar mungkin saya akan terbunuh... Australia tidak peduli jika saya hidup atau mati."

Meski dijanjikan mendapat uang dari petugas perbatasan Australia, pria yang berusia 32 tahun tersebut belum dapat mengantongi uang yang dijanjikan karena tidak mempunyai rekening bank.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengutarakan kepada radio ABC bahwa pemerintah Australia sebenarnya ingin memulangkan seluruh pengungsi, termasuk warga Rohingya, agar mereka kembali ke negara mereka, jika memungkinkan.

"Kami menginginkan gencatan senjata dan mengakhiri kekerasan, agar pengungsi Rohingya bisa kembali ke negara bagian Rakhine," kata Bishop saat menghadiri pertemuan Majelis Umum PBB di New York, Selasa kemarin (19/09).

ts/ap (dpa, the guardian)