Austria Peringati 80 Tahun Masuknya Hitler ke Wina
13 Maret 2018
Tahun 1938, Hitler membawa pasukan NAZI Jerman memasuki ibukota Austria, Wina, di bawah tepukan meriah massa. Hitler lalu mengumumkan "Anschluss“, penggabungan Austria ke Jerman.
Iklan
Tanggal 12 Maret 1938, pimpinan NAZI Adolf Hitler berpidato di lapangan Heldenplatz di pusat kota Wina dengan berapi-api. Hitler yang berasal dari Austria mengumumkan "Anschluss", yaitu penggabungan Austria menjadi bagian dari Jerman. Di lapangan itu, dia disambut massa dengan antusias.
Sampai tahun 1990an, Austria selalu menempatkan diri sebagai "korban" rezim Nazi dengan alasan, negara mereka dianeksasi oleh Hitler. Namun narasi itu tidak seluruhnya benar, sebab banyak warga Austria ketika itu yang dengan senang hati menerima Hitler dan ikut dalam penindasan dan pembantaian warga Yahudi.
Bukan hanya korban, melainkan juga pelaku
Presiden Austria Alexander Van der Bellen menegaskan dalam pidatonya bahwa warga Austria "bukan hanya korban, melainkan juga pelaku, sering berada dalam posisi tinggi" selama masa pendudukan Jerman. Dia mengingatkan, bahwa demokrasi juga bisa menjadi korban populisme. "Tidak ada kata maaf untuk penyangkalan fakta ini," katanya.
Ini adalah sebuah pelajaran, kata Vam der Bellen, bahwa "diskriminasi adalah sebuah langkah pertama menuju kebiadaban" dan bahwa "rasisme dan antisemitisme tidak hilang begitu saja, melainkan tetap eksis sampai hari ini dalam bentuk kecil dan besar".
Kanselir Austria Alexander Kurz dalam pidatonya mengingatkan bahwa Austria selama ini melihat dirinya sebagai "korban" NAZI. Namun "banyak warga Austria yang dulu mendukung sistem itu".
Tugu peringatan dan peran buram gereja
Pemerintah Austria mengumumkan akan mendirikan tugu peringatan, yang memuat nama-nama sekitar 66 ribu warga Yahudi yang tewas selama masa pendudukan NAZI.
Warga Yahudi di Austria tahun 1938 mengalami "penderitaan yang tak terbayangkan” yang hingga hari ini "membuat kita malu dan prihatin”, kata Sebastian Kurz. "Kita tidak boleh melupakan bagian gelap ini dalam sejarah kita," tambahnya.
Gereja Katolik Austria mengatakan hari Senin (12/03/18), adalah hal yang menyakitkan bahwa umat Katolik dan bahkan Uskupnya tahun 1938 "tidak lebih tegas menentang kebiadaban dan sistem otoriter". Gereja justru memainkan peran kunci dalam melegitimasi kekuasaan NAZI, demikian disebutkan.
Strategi Hitler Membunuh Demokrasi
Hanya dalam 18 bulan, seorang asing tanpa pendidikan formal atau pengalaman politik, tanpa kewarganegaraan atau kursi mayoritas di parlemen, mampu mengubah Jerman dari negara Demokrasi menjadi totaliter.
Foto: picture-alliance/dpa/Keystone
Kehancuran Jerman
Pada dekade 1920an Jerman yang sedang terseret krisis ekonomi dan sosial pasca Perang Dunia I, membutuhkan stabilitas politik untuk menggenjot perekonomian. Pada pemilu 1926 partai bentukan Adolf Hitler, NSDAP, cuma dipilih oleh 800.000 penduduk (2,6%). Namun pada September 1930, pendukung kaum fasis berlipatganda menjadi 6,4 juta pemilih (18,3%). Apa sebab?
Foto: Stadtmuseum Berlin
Strategi Hitam
Strategi Hitler buat merebut hati pemilih tertera dalam karyanya sendiri, Mein Kampf. Di dalamnya ia mengusulkan agar kampanye dibatasi pada isu yang bersifat emosional dan dikemas dalam kosakata politik yang sederhana dan mudah diingat. Selain itu pesan yang biasanya membidik emosi khalayak diulang sebanyak mungkin. NSDAP juga menghindari diferensiasi dan cendrung memukul rata obyek serangannya.
Foto: picture-alliance/Imagno
Bahasa Kaum Fasis
Menurut intelektual Yahudi-Jerman, Hannah Arendt, kaum fasis banyak mempropagandakan kebohongan ihwal ancaman oleh kaum Yahudi dan asing. Saat itu pun, tulis Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, kaum kiri dan liberal berupaya menghalau kebohongan dengan fakta. Namun menurut Arendt, kebohongan anti asing dan Yahudi bukan dibuat untuk meyakinkan penduduk, melainkan sebuah ikrar politik.
Foto: ullstein
Didukung Petani dan Pengusaha
Berbeda dengan anggapan umum bahwa pemilih Hitler merupakan pengangguran yang frustasi atas kondisi ekonomi, sebuah studi teranyar mencatat pemilih terbesar NSDAP adalah petani, pensiunan dan pengusaha, terutama pemodal berkocek tebal yang mengimpikan kemajuan ekonomi lewat jalur cepat seperti yang dijanjikan oleh NSDAP.
Foto: picture-alliance/akg
Genting di Berlin
Menjelang pemilu Juli 1932 situasi politik di Jerman menyerupai perang saudara. Konflik berdarah antara simpatisan merajalela. Pada Juni 1932, 86 orang tewas dalam bentrok antara kaum Komunis dan sayap paramiliter NSDAP. Saat itu partai-partai pro demokrasi masih berharap hasil pemilu akan menggugurkan dominasi satu partai. Namun NSDAP justru keluar sebagai pemenang terbesar dengan 37,4% suara.
Foto: Getty Images
Nafsu Kuasa
Lantaran partai-partai politik gagal membentuk pemerintahan mayoritas, Jerman kembali menggelar pemilu pada November 1932. Kali ini NSDAP kehilangan banyak suara. Sebaliknya kaum kiri dan komunis menguasai 36% kursi di parlemen. Namun lantaran ingin berkuasa, sejumlah politisi papan atas Jerman memilih berkoalisi dengan NSDAP dan mengusung Hitler sebagai kanselir.
Foto: ullstein
Perebutan kekuasaan
Pada 30 Januari 1933 Hitler dilantik sebagai Kanselir. Ia lalu meminta Presiden Paul von Hindenburg buat membubarkan parlemen lantaran kebuntuan politik menyusul tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen. Permintaannya dikabulkan. Pada pemilu 1933 Hitler menggunakan kekuasaanya untuk menekan musuh-musuh politiknya. Pemilu tidak lagi bebas dan NSDAP menjelma menjadi kekuatan tunggal di parlemen.
Foto: picture-alliance/AP Images
Kematian Demokrasi
Sejak itu Nazi menggiatkan propaganda dan presekusi terhadap kaum Yahudi. Hitler yang meleburkan perangkat partai dengan lembaga negara dengan cepat mempreteli parlemen dan struktur demokrasi warisan Republik Weimar. Menjelang Perang Dunia II, NSDAP menggunakan strategi propaganda yang sama untuk membibit kebencian terhadap negara asing.