Dalam langkah memerangi Islam politis dan gerakan radikalisasi, pemerintah Austria berencana untuk menutup masjid yang didanai pihak asing dan mendeportasi imam yang berafiliasi dengan masjid-masjid tersebut.
Iklan
Pemerintah Austria akan menutup tujuh masjid dan berencana untuk mendeportasi sekitar 60 imam sebagai langkah untuk memerangi Islam politis, radikalisasi dan mencegah pendanaan asing untuk kelompok agama. Kanselir Austria, Sebastian Kurz, mengatakan tujuh masjid yang ditutup terdiri dari satu masjid nasionalis garis keras Turki di Wina dan enam masjid yang dikelola kelompok Komunitas Religius Arab. Tindakan pemerintah Austria ini didasarkan pada undang-undang tahun 2015 yang, di antaranya, melarang komunitas agama mendapatkan pendanaan dari luar negeri.
Menteri Dalam Negeri Austria Herbert Kickl mengatakan izin tinggal para imam yang dipekerjakan oleh ATIB, organisasi yang mengawasi masjid Turki di Austria, sedang ditinjau, tapi sudah ada dua imam yang izin tinggalnya telah dicabut dan lima imam yang permohonan izin tinggalnya ditolak.
Kurz dari Partai Rakyat yang konservatif menjadi kanselir pada bulan Desember dalam sebuah koalisi anti-migrasi dengan Partai Kebebasan. Dalam kampanye pemilu tahun lalu, kedua partai koalisi menyerukan kontrol imigrasi yang lebih ketat, deportasi segera pencari suaka yang permintaannya ditolak dan tindakan keras terhadap Islam radikal. Pemerintah baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melarang siswi sekolah dasar dan taman kanak-kanak untuk mengenakan jilbab.
"Masyarakat paralel, Islam politis dan kecenderungan ke arah radikalisasi tidak memiliki tempat di negara kami," kata Kurz kepada wartawan di Wina. Dia menambahkan bahwa kekuatan pemerintah untuk campur tangan "tidak dimanfaatkan dengan baik" di masa lalu. Langkah-langkah yang dilakukan hari ini adalah "langkah pertama yang signifikan dan perlu untuk menuju ke arah yang benar," kata Wakil Kanselir Heinz-Christian Strache, pemimpin Partai Kebebasan.
Hasil investigasi
Penutupan masjid yang ditengarai menyebarkan paham radikal ini dilakukan menyusul hasil investigasi otoritas urusan agama Austria, salah satunya mengenai foto yang muncul bulan April. Dalam foto yang diterbitkan mingguan Falter tersebut, anak-anak di sebuah masjid Turki memerankan adegan pertempuran Gallipoli di Perang Dunia 1.
Anak-anak itu mengenakan seragam kamuflase, berbaris, memberi hormat, melambai-lambaikan bendera Turki dan kemudian berpura-pura mati. "Mayat" mereka kemudian dibariskan dan dibungkus dengan bendera. ATIB sendiri mengutuk foto-foto itu dan "sangat menyesalkan" adegan tersebut.
Selain karena dugaan radikalisme, masjid tersebut juga ditutup karena tidak memiliki lisensi untuk beroperasi dibawah Komunitas Islam Austria, organisasi payung yang merepresentasi warga Muslim di negara ini.
Sementara itu, masjid-masjid Arab ditutup karena adanya laporan mengenai khutbah-khutbah kelompok Salafis yang ekstrim.
Kelompok Salafis di Jerman
Mayoritas masyarakat Islam di Jerman berpandangan moderat. Ada beberapa kelompok kecil yang bersikap radikal dan bersuara cukup lantang. Tapi kelompok kecil ini tidak mewakili suara Islam di Jerman.
Foto: Reuters/Wolfgang Rattay
Makin Banyak
Menurut laporan, semakin banyak pengikut salafi di Jerman yang menyatakan siap berangkat ke Suriah atau Irak untuk ikut "perang suci". Tahun 2013 tercatat hanya 2.000 anggota salafi yang berniat berjihad, tahun ini mencapai 7.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa/Melanie Dittmer
Pelaku Terorisme
Menurut Badan Perlindungan Konstitusi Jerman, Verfassungsschutz, mayoritas pendukung Salafi di Jerman tidak terkait dengan aksi terorisme. Namun ”hampir semua pelaku dan jaringan teror Islamis yang beraksi di Jerman punya latar belakang Salafi”. Foto: Enea B. anggota Salafi, tersangka pelaku upaya pemboman di Bonn 2012 lalu.
Foto: Reuters
Lebih Disorot
Seiring dengan pernyataan dukungan kepada Islamic State, kelompok Salafi semakin mendapat sorotan tajam di Jerman. Kelompok Salafi mengartikan ungkapan-ungkapan seperti ”Syariah” dan ”Jihad” secara radikal dan hanya berdasarkan pemahamannya sendiri. Pandangan Salafi tidak bisa dianggap sebagai pandangan warga muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/ W.Steinberg
Islam Moderat
Kebanyakan komunitas mesjid di Jerman dan para imamnya berpandangan moderat. Dan warga Muslim Jerman pun mengutuk kebiadaban teror yang mengatasnamakan Islam. September lalu, dengan motto: Melawan Kebencian dan Ketidakadilan, organisasi-organisasi muslim di Jerman menggelar aksi menentang penyalahgunaan nama Islam. Mereka menolak khotbah kebencian, ekstrimisme dan fanatisme.
Foto: DW/A. Almakhlafi
Memancing di Air Keruh
Ada kelompok populis dari kalangan ekstrim kanan di Jerman yang sengaja memanfaatkan situasi saat ini untuk menyulut kebencian terhadap Islam. Sejak 20 tahun terakhir ada perubahan menarik yang terjadi di kalangan ekstrim kanan. Kalau dulu mereka fokus pada propaganda anti Israel, sekarang mereka makin fokus pada propaganda anti Islam.
Foto: DW/F. Sabanovic
Radikalisme Baru
Fenomena radikalisme baru di Jerman dengan alasan anti Islamis dicemaskan banyak pihak. Disadari, tren yang digalang kelompok Neo Nazi ini merupakan kebalikan dari fenomena makin banyaknya generasi muda Jerman bergabung dengan milisi Islamic State di Suriah.
Foto: Reuters/Wolfgang Rattay
6 foto1 | 6
Reaksi Turki
Juru bicara kepresidenan Turki pada Jumat (08/06) mengecam keputusan Austria untuk mengusir 60 imam yang didanai Turki dan menutup tujuh masjid sebagai gerakan "anti-Islam" dan "rasis". "Keputusan Austria untuk menutup tujuh masjid dan mendeportasi imam dengan alasan yang mengada-ada adalah refleksi dari gelombang populis anti-Islam, rasis dan diskriminatif di negara ini," kata Ibrahim Kalin setelah Wina mengumumkan langkah tersebut.
Ia menambahkan bahwa keputusan itu adalah bagian dari upaya "menormalkan Islamophobia dan rasisme", yang katanya harus ditolak. "Praktik-praktik ideologis yang dibebankan pemerintah Austria melanggar prinsip-prinsip hukum universal, kebijakan integrasi sosial, hak minoritas dan etika koeksistensi," lanjut Kalin.
Selama kampanye referendum Turki tahun lalu untuk memperluas kekuasaan presiden, timbul tensi tinggi antara Wina dan Ankara setelah Austria tidak mengizinkan acara terkait kampanye dilakukan di sana. Hubungan juga tegang karena Kurz menyerukan kepada Uni Eropa untuk menghentikan perundingan dengan Ankara tentang Turki yang ingin bergabung dengan UE.
na/vlz (AP, reuters)
Seradikal Apa Ekstrem Kanan Eropa?
Perkembangan ekonomi yang terseok-seok, ketidakpuasan akan kebijakan Uni Eropa dan krisis imigran menyebabkan partai ekstrem kanan Eropa meraih sukses besar. Inilah para tokohnya serta politik mereka:
Foto: picture-alliance/dpa
Frauke Petry, Partai Alternative (Jerman)
Ketua Alternative für Deutschland AfD, Frauke Petry, menyarankan penjaga perbatasan menggunakan senjata terhadap pelintas perbatasan ilegal. AfD awalnya partai yang skeptis terhadap Uni Eropa. Sekarang mereka sudah menjadi kekuatan anti Eropa dan anti pemerintah. AfD berhasil meraih suara cukup besar dalam pemilu di sejumlah negara bagian Jerman Maret 2016.
Foto: Reuters/W. Rattay
Marine Le Pen, Front National (Perancis)
Banyak orang khawatir, bahwa Brexit dan kemenangan Donald Trump di AS bisa menjadi dorongan baru bagi partai ekstrem kanan Perancis, Front National. Partai itu didirikan 1972, dan kini dipimpin Marine Le Pen, yang 2011 mengambilalih kepemimpinan dari ayahnya, Jean-Marie Le Pen. Partai nasionalis ini menggunakan retorika populis untuk mendorong sikap anti imigran dan anti Uni Eropa.
Foto: Reuters
Geert Wilders, Partai Kebebasan (Belanda)
Pemimpin Partij voor de Vrijheid Belanda ini adalah salah satu politisi ektrem kanan paling penting di Eropa. Ia dinyatakan bersalah atas komentar penuh kebencian yang dilontarkan 2014 terhadap warga Maroko. Partainya dianggap anti UE dan anti Islam. Hadapi pemilu Maret 2017, jajak pendapat tunjukkan, partainya yang menduduki 15 kursi di majelis rendah, dapat dukungan besar.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Koning
Nikos Michaloliakos, Chrysi Avgi (Yunani)
Partai Golden Dawn adalah partai neo fasis Yunani. Pemimpinnya, Michaloliakos ditangkap September 2013 bersama sejumlah anggota lainnya, dan dituduh membentuk organisasi kriminal. Michaloliakos dibebaskan Juli 2015. Golden Dawn memenangkan 18 kursi dalam pemilu parlemen September 2016. Partai itu bersikap anti imigran dan mendukung kesepakatan dengan Rusia mengenai pertahanan.
Foto: Angelos Tzortzinis/AFP/Getty Images
Gabor Vona, Partai Jobbik (Hongaria)
Partai Jobbik yang anti imigrasi, anti LGBT, populis dan dukung proteksi ekonomi berusaha masuk dalam parlemen Hongaria tahun 2018. Sekarang mereka sudah jadi partai ketiga terbesar di Hongaria. Dalam pemilu terakhir tahun 2014, partai ini mendapat 20% suara. Partai inginkan referendum keanggotaan negara dalam Uni Eropa. Jobbik dipimpin Gabor Vona.
Foto: picture alliance/dpa
Jimmie Akesson, Sverigedemokraterna (Swedia)
Nama partainya berarti Demokrat Swedia. Setelah kemenangan Trump di AS Akesson menyatakan, di Eropa, seperti di AS, ada gerakan yang melawan "establishment" dan pandangan yang selama ini berlaku. Partai Demokrat Swedia menyerukan restriksi imigrasi, dan menentang keanggotaan Turki dalam UE juga menginginkan referendum keanggotaan Swedia dalam UE.
Foto: AP
Norbert Hofer, Freiheitliche Partei (Austria)
Hofer dari Partai Kebebasan FPÖ yang nosionalis hanya kalah 30.000 suara dalam pemilu presiden terakhir. Mantan pemimpin Partai Hijau, Alexander Van der Bellen mendapat 50,3% suara, sementara Hofer 49,7%. Pemimpin FPÖ itu menyerukan penguatan perbatasan Austria dan pembatasan sokongan finansial bagi imigran.
Foto: Reuters/L. Foeger
Marian Kotleba, ĽSNS (Slovakia)
Pemimpin partai ekstrem kanan, Partai Rakyat-Slovakia Milik Kita mengatakan, "Satu imigranpun sudah terlalu banyak." Dalam kesempatan lain ia menyebut NATO organisasi kriminal. Partai Slovakia ini ingin negaranya meninggalkan Uni Eropa dan zona mata uang Euro. Mereka menang 8% suara dalam pemilu Maret 2016, dan mendapat14 kursi dari total 150 mandat parlemen. (ml/as)