Autokrasi merajalela di negara miskin dan berkembang, demikian studi tahunan Yayasan Bertelsmann, Jerman. Tren pemerintahan otoriter diperkuat situasi geopolitik paling anyar dan pandemi COVID-19.
Iklan
Angka yang dicatat Yayasan Bertelsmann dalam Indeks Transformasi tahunannya sangat memprihatinkan: di sebanyak 137 negara miskin dan berkembang, kualitas Demokrasi menurun dalam 20 tahun terakhir. Saat ini, sebanyak 74 negara diperintah secara otoriter, dibandingkan dengan 63 negara yang sudah mengadopsi demokrasi.
Sabine Donner, salah seorang peneliti Bertelsmann mengatakan, "pandemi COVID-19 makin memudahkan diktator untuk memberangus hak sipil, dan semakin mengkonsetrasikan kekuasaan di tangan pemerintah pusat," kata dia kepada DW. "Tapi pada dasarnya pandemi tidak menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak eksis."
Riset yang digelar Bertelsmann diklaim sebagai yang terbesar dan paling luas di bidangnya. Hasilnya adalah laporan setebal 5.000 halaman yang ditulis oleh 300 tenaga ahli dan praktisi akademisi di 120 negara di dunia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Menurut studi, kemunduran demokrasi dicatat di 25 negara dalam dua tahun terakhir, yang dipengaruhi kondisi terbaru yakni pandemi, krisis ekonomi dan konflik antarnegara. Salah satu indikasi utama adalah kian dibatasinya kebebasan pers dan berekspresi di 39 negara di dunia.
Geliat kaum demokrat
Tren autokrasi di belahan Bumi selatan juga memicu tumbuhnya kewaspadaan di negara-negara demokrasi maju di utara. Sabine Donner melihat lahirnya kebersamaan di kalangan negara-negara demokrasi terhadap ancaman pemerintahan otoriter tersebut. "Dalam dua sampai empat tahun terakhir, warga dan pemerintah di negara-negara demokratis, seperti juga di Jerman, semakin waspada bahwa ada tantangan meningkatnya autokrasi."
Menurutnya, kaum demokrat semakin "percaya diri, ketimbang sepuluh tahun lalu. Tapi saya kira, kita sendiri yang membiarkan tren ini muncul," imbuhnya.
"Demokrasi harus dilindungi oleh kita sendiri," ujar Kanselir Jerman Olaf Scholz yang hadir dalam acara presentasi hasil studi Bertelsmann itu. Dia merasa senang, warga turun ke jalanan demi menguatkan demokrasi. "Gerakan ini tidak datang dari atas atau dari Partai Politik," kata dia merujuk pada aksi damai pro-demokrasi memprotes populisme kanan yang dihadiri jutaan warga di seluruh Jerman pada awal tahun.
Pemilu Indonesia di Jerman
Warga Indonesia di Jerman bisa memberikan suara secara langsung di tiga kota, yakni Berlin, Hamburg, dan Frankfurt pada 10 Februari 2024. Ajang 5 tahunan ini dijadikan tempat berkumpul dan reuni bagi warga.
Foto: Arti Ekawati/DW
Masukan surat suara!
Indonesia kembali menggelar acara pesta demokrasi 5 tahunan. WNI yang berada di luar negeri tidak mau ketinggalan ikut memilih, termasuk di Berlin. Berdasarkan data Senin (12/02), ada 1.698 orang yang mencoblos langsung di TPS Berlin. Surat suara yang dicoblos dan dikirimkan kembali lewat pos mencapai 413. Tingkat partisipasi pemilih di Berlin sejauh ini mencapai 46,5%.
Foto: Arti Ekawati/DW
Pemilih pemula pelajari kandidat sebelum mencoblos
Seperti tertera di contoh surat suara, WNI di luar negeri memilih presiden, wakil presiden, dan calon anggota DPR RI daerah pemilihan DKI Jakarta II. Sejumlah pemilih pemula yang DW wawancarai mengaku mengalokasikan waktu mereka untuk mempelajari rekam jejak dan visi misi calon yang akan mereka pilih sebagai rasa tanggung jawab mereka saat menentukan pemimpin Indonesia 5 tahun ke depan.
Foto: Arti Ekawati/DW
Uwi, pertama mencoblos di Jerman
Pengalaman pertama kali mencoblos di Jerman sangat istimewa bagi Uwi, salah satu mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi S2 di Berlin. Sekitar 60% pemilih di Berlin pada Pemilu 2024 adalah pemilih muda yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa Indonesia
Foto: Arti Ekawati/DW
Dubes Indonesia untuk Jerman pantau kelancaran hari pencoblosan
Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno (kiri) datang ke tempat pencoblosan di Berlin sekitar pukul 8:30 pagi waktu setempat. Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Berlin, Roni Susman, memperlihatkan kelengkapan logistik pemilu kepada Dubes Havas.
Foto: Arti Ekawati/DW
Hamburg: Ruang tunggu TPS dipenuhi WNI
Jumlah DPT di PPLN Hamburg pada Pemilu 2024 naik sekitar seribu orang dibanding periode sebelumnya. Ini membuat PPLN Hamburg kali ini harus menyewa tempat pencoblosan. WNI yang datang tidak hanya didominasi anak muda, tapi mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di Jerman. Hamburg memang dikenal sebagai kota pelabuhan, yang sejak lama memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Indonesia.
Foto: DW
Konsul Jenderal RI di Hamburg, Renata Siagian ikut mencoblos
Konjen Renata Siagian memberikan suara untuk kali pertama sejak memimpin KJRI Hamburg. Konsul yang mulai menjabat sejak akhir 2023 terkesan dengan banyaknya hadirin dari kalangan anak muda. "Buat saya itu berarti harapan besar untuk Indonesia, karena artinya ada kepedulian dari anak-anak muda yang akan menjadi generasi penerus, yang akan menjadi pemimpin kita di masa depan," kata Renata Siagian.
Foto: DW
Rela berkendara 4 jam untuk bisa memilih
Mereka datang dari kota di luar Hamburg. Inta tinggal di Hanover, sekitar satu jam dari TPS. Dara dari Wangerland, kota kecil di Pantai Laut Utara, bersama temannya berkendara sekitar 4 jam untuk bisa memilih. “Sebenarnya lelah, tapi karena kami tidak memilih (lewat) pos, dan lebih memilih langsung ke TPS... Ini kan pertama kalinya, jadi excited sekali,” kata Dara.
Foto: DW
Pentingnya perbarui data diri di Jerman
Petugas TPS mencari surat suara dari pemilih yang datang ke TPS, karena mengaku tidak dapat surat lewat pos. Dari 5.202 DPT di PPLN Hamburg, lebih dari 3.000 orang memilih lewat pos. Namun, tidak diperbaruinya proses verifikasi perubahan data membuat banyak surat suara terkirim kembali. Ada 8 kotak yang masing-masing berisi seratus surat suara berstatus “return to sender”.
Foto: DW
Di Frankfurt, sekitar 11 ribuan WNI dapat memilih
Sekitar 11 ribuan WNI yang berada di wilayah kerja KJRI Frankfurt dapat memilih antara metode POS, atau mencoblos langsung di tempat pemungutan suara. Saat berada di TPS, pemilih bisa mencoblos di lima Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri atau TPSLN. Update sementara hingga Minggu (11/02): 1.355 datang ke TPS di Frankfurt dari sekitar 4000-an orang terdaftar.
Foto: DW
Pakai baju hitam agar netral
Petugas PPLN Frankfurt bersiap sejak pagi hari. Mereka mengenakan baju warna hitam agar tidak terafiliasi pada partai politik maupun calon tertentu. Warna hitam juga membuat mereka lebih mudah dikenali sebagai petugas PPLN. Surat suara POS dikirim sejak 13 Januari 2024 kepada 7.147 pemilih. Masyarakat diharapkan mengembalikan amplop berisi surat suara paling lambat diterima PPLN 14 Februari 2024.
Foto: DW
Nyoblos di gedung pameran mobil di Frankfurt
PPLN Frankfurt menyelenggarakan pemungutan suara di Gedung Klassikstadt, yang menjadi tempat pameran mobil. Gedung Klassikstadt dipilih lantaran dapat menampung lebih banyak orang, hingga 800-an orang. Untuk mengantisipasi membludaknya massa, PPLN memberikan pembagian jam kedatangan serta mengimbau warga Indonesia menggunakan hak pilihnya dengan waktu sesuai jadwal.
Foto: DW
Fandi dengan jari yang tercelup
Meski pemilu berlangsung hari Sabtu (10/02), WNI bernama Fandi ini menyempatkan diri datang ke TPS. Ia membawa kartu identitas dan surat undangan yang ada barcode-nya. Registrasi dengan sistem barcode mempercepat proses pengecekan data pemilih karena barcode tersebut memuat data calon pencoblos. Petugas tinggal menyamakan data dari KJRI Frankfurt dengan kartu identitas. (ae/hp)
Foto: DW
12 foto1 | 12
"Adalah benar, bahwa kita ikut memikirkan ketangguhan demokrasi. Karena ujung-ujungnya perjuangan ini bukan sebuah pertunjukan teater yang ditonton di internet, melainkan perjuangan kita. Kita sendiri yang harus melindungi demokrasi."
Propaganda antidemokrasi
Kediktatoran acap berargumentasi dengan melontarkan propaganda, betapa demokrasi terlampau lamban, kaku dan mahal, bahwa sebuah bangsa harus diperintah secara otoriter sebelum mampu mengadopsi demokrasi, secara politik dan ekonomi.
Namun klaim tersebut dibantah oleh riset Bertelsmann. Berkaca pada kinerja pemerintah selama pandemi, negara-negara autokrasi seperti Kamboja, Venezuela atau Simbabwe mencatatkan skor paling buruk. Faktanya, sebanyak 45 negara yang memiliki tingkat efektifitas pandemi terendah di dunia adalah bukan negara demokrasi.
Bahwa autokrasi cenderung berkinerja buruk dibandingkan demokrasi, juga bisa disimak pada kegagalan Cina mengendalikan pandemi dengan kebijakan nol-toleransi. "Pandemi membuktikan bahwa lockdown yang ketat di Cina tidak ampuh, dan malah memicu aksi protes meski tindakan represif aparat keamanan," kata Sabine Donner. "Rejim otoriter pun bisa terdesak jika ketidakpuasan masyarakat meluap."
Pakar Hukum Jawab Pertanyaan Warganet soal Dinasti Politik
03:14
Faktor paling berpengaruh melawan tren autokrasi adalah gerakan akar rumput demi demokrasi dan pemerintahan yang bebas korupsi. Tekanan jalanan yang konsisten dipercaya bisa memperkuat ketahanan demokrasi. Contohnya adalah pemilu teranyar di Kenya dan Zambia, atau juga Polandia dan Republik Moldova.
Iklan
Contoh bagus dari Kosta Rika, Chile dan Uruguay
Para peneliti juga menyebutkan, kepedulian sipil untuk pemilu bebas, kebebasan pers serta pemisahan kekuasaan, sebagai kunci untuk memerangi tren autokrasi di negara-negara berkembang. Namun pengaruh agama dan kebudayaan memainkan peranan sangat kecil. Misalnya apakah negara-negara di Kawasan Teluk bisa mendesak tren autokrasi?
"Saya tidak memahami, kenapa hal ini tidak akan berfungsi," kata Sabine Donner. "Sebut saja Taiwan atau Korea Selatan, yang dulu lama diperintah oleh diktatur dan mengalami modernisasi lewat ekonomi. Sekarang, kedua negara merupakan demokrasi yang stabil dan sukses."
Kesimpulan utama studi Bertelsmann, betapa demokrasi dan konsep negara hukum masih menjadi jalan terbaik menuju kemakmuran.
Hal ini juga dibuktikan Kosta Rika, Chile dan Uruguay. Negara yang "didasarkan pada supremasi hukum dan diselaraskan secara strategis, pemerintahannya mencatatkan pencapaian maksimal di bidang pendidikan dan kesehatan, serta perbaikan standar hidup dan penguatan demokrasi."
Dan di negara-negara yang sudah berdemokrasi, demikian menurut studi tersebut, pemerintah harus membangun konsensus luas di masyarakat demi memperkuat ketahanan, meski hal ini tidak mudah di tengah iklim yang semakin terpolarisasi.