Jelang pergantian tahun mungkin Anda berpikir soal investasi baru? Apa jenisnya? Transaksi kripto atau properti? Mungkin Anda menelaah pergerakan harga kripto dengan analisis-analisis canggih. Tapi, dalam bayangan kita, semua proses pembelian dan penjualannya terjadi lewat sentuhan ringan di atas layar. Tak menghabiskan energi, tak terjadi apa-apa selain pengiriman dan penerimaan informasi maya.
Namun,dalam proses transaksi yang terasa praktis itu terjadi pencatatan serentak di setiap komputer yang terhubung. Konsekuensinya? Di satu sisi, transaksinya senantiasa terverifikasi dan menjadi transparan, seperti yang digadang-gadang oleh para advokat teknologi blockchain. Di sisi lain, transaksi ini tak sekadar terjadi di awang-awang–bayangkan betapa banyak listrik yang dibutuhkan dalam setiap transaksinya.
Jadi, berapa banyak energi yang habis? Jawabannya, luar biasa banyak. Setiap transaksi sekeping bitcoin menghabiskan listrik setara konsumsi satu keluarga di AS selama 78 hari. Itu pun kita belum menghitung energi yang dihabiskan untuk menambang bitcoin. Daya yang dikuras para penambang ini bisa sama dengan konsumsi listrik satu negara kecil.
Menghilangkan hak orang
Fenomena mata uang kripto merupakan kasus klasik kala sesuatu mulai menjadi aset investasi dan spekulasi. Nilainya melonjak signifikan dan pada banyak kasus melambung jauh di atas nilai kegunaannya. Sebagian besar pengumpul uang kripto boleh jadi tidak akan pernah memakainya sebagai mata uang. Emas bahkan jelas-jelas tidak ada gunanya selain untuk perhiasan. Nilai keduanya jauh lebih tinggi bahkan ketimbang barang termahal penunjang pekerjaan Anda seperti laptop dan telepon genggam.
Lantas, permasalahan selanjutnya, perubahan barang-barang tertentu menjadi aset investasi menyebabkan sulitnya pemanfaatannya di luar kegunaan seharusnya. Mereka yang paling membutuhkannya justru jadi kesulitan untuk mengakses dan memilikinya. Untuk hal yang terakhir ini, contoh paling mudah diangkat tak lain dari properti.
Banyak orang dari kalangan menengah atas saat ini menjadikan rumah sebagai aset, bukan hunian. Yang terjadi berikutnya adalah harga hunian meningkat dahsyat. Kita menjadi saksi bagaimana properti naik harganya sampai dengan tiga sampai empat kali lipat dalam waktu sepuluh tahun saja. Tren kenaikan harga hunian mengiringi banyaknya orang membeli rumah bukan untuk ditinggali sudah dibuktikan oleh penelitian. Kenaikan sepuluh persen orang yang memiliki rumah bukan hunian di AS pada 2004-2006 berujung ke naiknya harga hunian hingga nyaris tiga puluh persen.
Persoalannya adalah bagaimana dengan yang mereka yang daya belinya lebih rendah sementara belum memiliki hunian? Mereka akhirnya tak punya pilihan di luar membeli hunian yang jauh dari tempat kerjanya, mengharuskan mereka berjibaku setiap hari dengan lalu lintas yang rawan dan melelahkan. Kehilangan waktu untuk keluarga serta kesehatannya terpengaruh.
Semua bisa jadi bahan spekulasi
Saat ini, hampir semua sumber daya penting sebenarnya sudah menjadi aset investasi dan spekulasi. Kita keliru bila kita menganggap batu bara, minyak bumi, gas bumi, logam-logam berharga dijual secara langsung dari produsen ke konsumen. Kontrak-kontrak kepemilikannya terlebih dulu diperdagangkan ke para pembeli-spekulan yang berharap nilainya akan meningkat di masa depan.
Apakah yang menyebabkan harga minyak goreng dan minyak bumi melejit luar biasa? Mekanisme semacam ini. Kontrak-kontrak komoditas berharga ini diperebutkan bak barang panas ketika para pembeli-spekulan menerka perekonomian dunia tengah berada di koridor pemulihan.
Tentu saja, masih segar dalam ingatan kita bagaimana masker mendadak hilang dari pasaran di awal pandemi. Ia diborong oleh segelintir orang yang berharap dapat menangguk untung dari melejitnya kebutuhan masker. Dan, memang, ia dijual dengan harga yang jauh di atas dari harga wajarnya.
Apa beda para spekulan masker ini dengan spekulan masker? Orang akan bilang keduanya berbeda, namun sayangnya tipis.
Dan semua orang puas ketika para spekulan masker ini ketiban buntungnya. Masker yang ditimbunnya tidak laku lantaran produk masker membanjiri dalam waktu singkat membanjiri pasar.
Pelik
Sayangnya, fenomena spekulasi bukanlah semata tanggung jawab para spekulan tak bermoral. Semua memiliki andil di dalamnya karena watak kita yang manusiawi: berusaha mengamankan kekayaan. Ketika kita sudah mengumpulkan sejumlah uang, kita tak ingin nilainya tergerus karena inflasi. Walhasil, kita berinvestasi. Dan ketika kita berinvestasi, apa pilihan pertama yang akan muncul kalau bukan properti?
Lantaran sangat manusiawinya situasi ini, kepelikannya tak mungkin dapat diatasi secara instan. Namun, di sisi lain, kita tak dapat berharap mekanisme pasar akan memperbaiki dirinya sendiri. Benar, pasar properti kini menawarkan hunian kepada orang-orang yang daya belinya lemah dan jumlahnya banyak. Namun, ada konsekuensi yang tak bisa diabaikan. Mereka bukan saja akan ditawarkan rumah di tempat yang terpencil, melainkan juga acap dibangun tanpa mengindahkan tata kota, tak jarang menggunakan daerah resapan banjir, dan rentan menambah kemacetan karena bukan di wilayah yang awalnya merupakan zona padat permukiman.
Ujungnya? Kualitas hidup banyak orang terdampak. Dan soal ini, saya tak hanya sedang berbicara soal mereka yang harus tinggal di hunian-hunian terpencil ini dan kehilangan waktu keluarganya lantaran perjalanan yang harus ditempuh. Saya juga merujuk ke orang-orang lain yang terkena kemacetan karena zonasi tempat tinggal yang amburadul.
Kita punya pilihan untuk bertindak tentunya. Untuk spekulasi properti, misalkan, hunian yang dibeli bukan untuk tidak ditinggali dapat dinaikkan pajaknya. Dengan demikian, potensi keuntungan spekulasinya berkurang dan potensinya menjadi objek spekulasi semakin berkurang.
Tentu saja, praktiknya tidak akan semudah yang dibayangkan. Tapi, pada saat spekulasi menghilangkan hak orang-orang, pada saat itulah kita seharusnya mulai mempertanyakannya dan bertindak terhadapnya.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.