Di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini, Sunni dan Syi'ah beribadah di masjid yang sama. Masyarakat dukung pembangunan museum Yahudi. Di Azerbaijan, Ramadan dirayakan bersama-sama umat non muslim.
Iklan
Sepanjang sejarah panjang Azerbaijan, banyak kelompok etnis yang berbeda dengan berbagai kepercayaan dan agama hidup bersama dalam kedamaian dan keharmonisan. Itulah sebabnya, negara ini kerap dijuluki sebagai tanah toleransi beragama.
Meskipun merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim (lebih dari 90%), Azerbaijan adalah negara sekuler yang berhasil membangun hubungan yang kuat dengan semua komunitas agama.
Sementara seluruh dunia mengalami masalah intoleransi dan konflik agama, diakui oleh Jerman, Azerbaijan dapat menjadi contoh dari sebuah komunitas di mana setiap orang menunjukkan rasa hormat kepada umat manusia dari berbagai ras dan agama.
Oleh sebab itu dalam sebuah konferensi yang merupakan kerjasama antara kementerian luar negeri Jerman dan kedutaan besar Indonesia di Jerman, pemerintah Azerbaijan diundang untuk berbagi resep dalam menjaga keharmonisan di negaranya. Menurut Rafi Gurbanov, wakil kepala Komite Departemen Hubungan Internasional Komite Agama Republik Azerbaijan, ada tiga kerangka penting yang dijadikan pondasi oleh Azerbaijan dalam menjaga kerukunan umat beragama.
"Kerangka pertama adalah kerangka hukum. Kami menyatakan bahwa semua agama, semua etnis minoritas setara di muka hukum. Ini berarti bahwa hukum Azerbaijan, konstitusi Azerbaijan tidak memberikan superioritas pada agama atau etnis apa pun. Azerbaijan merayakan keberagaman," papar Gurbanov.
Kerangka kedua adalah kelembagaan yang membantu instrumen hukum untuk diimplementasikan ke dalam praktik keseharian dan ke dalam pembuatan kebijakan. Sementara kerangka ketiga adalah undang-undang dalam pembuatan kebijakan, yang berakar dari sistem hukum, melalui dasar kelembagaan yang dilaksanakan atas kemauan politik. "Semua ini berkorelasi satu sama lain dan saling melengkapi. Ada hubungan yang dekat di antara ketiganya," tandas Rafi Gurbanov.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Umat Sunni-Syiah Meja Ramadhan
Kepada Deutsche Welle, Rafi Gurbanov menjelaskan bentuk implementasi kebijakan pemerintah yang disebutkannya di atas: "Saya ingin memberi contoh tentang toleransi di Azerbaijan. Kami membangun persatuan Sunni dan Syiah. Mereka berdoa bersama di masjid yang sama. Kami memiliki proyek 'Persatuan adalah Nilai-nilai Kita' yang terdiri dari anggota komunitas Sunni dan Syiah bersama-sama dan memberi mereka platform sangat luas untuk pertukaran pemikiran dan membangun dialog di antara mereka.
Sehubungan dengan bulan Ramadan, pemerintah negara yang melepaskan diri dari Soviet tahun 1991 itu membuat proyek yang disebut "Meja Ramadan". Dijelaskan Rafi: "Selama bulan Ramadan….di akhir bulan Ramadan, komunitas muslim dan komunitas non-muslim duduk bersama dan menunjukkan solidaritas bahwa ini adalah hari libur untuk Azerbaijan, bukan hanya untuk kaum muslim. Ini adalah hari libur yang dirayakan oleh masyarakat. Ini adalah hari libur yang memberi kesempatan untuk berbagi roti satu sama lain. Itulah toleransi di Azerbaijan," tandasnya.
Rafi Gurbanov menyebutkan sejauh sepengetahuannya, Azerbaijan memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal cara hidup dalam tradisi Islam. Namun Azerbaijan juga memiliki perbedaan, dalam aspek geografis, dan tradisi terhadap kaum minoritas.
Rafi mengatakan, dibandingkan dengan Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis, Azerbaijan tergolong negara kecil, "Tetapi kami melakukan pekerjaan besar untuk kontribusi perdamaian, terutama antara Sunni dan Syiah. Belum ada ketegangan antara Sunni dan Syiah selama berabad-abad sampai sekarang. Sebagai pemerintah dengan kemauan politik, kami berusaha meluruskan dan melestarikan tradisi ini dan meneruskannya kepada generasi muda. Kami menyaksikan banyak konflik meletus antar agama di Timur Tengah dan di dunia dan kami tak ingin hal itu sampai terjadi di negara kami," ungkapnya.
Bersatu di Meja Ramadan di Azerbaijan
01:26
Merangkul kaum Yahudi
Sejarah menyatukan orang-orang dengan pandangan dan kepercayaan yang berbeda di negara ini. Saat ini, perwakilan dari berbagai agama bahkan bergabung dengan kegiatan dan berpartisipasi dalam pekerjaan amal secara bersama-sama.
Kaum Yahudi di negara ini juga telah hidup berdampingan dengan orang-orang Azerbaijan lainnya selama lebih dari 2.500 tahun. Dikutip dari jpost, ada perwakilan dari tiga komunitas Yahudi tinggal di Azerbaijan: Yahudi pegunungan -yang terkonsentrasi terutama di desa Krasnaya Sloboda di wilayah Guba, Yahudi Eropa atau Ashkenazi yang terpusat di ibu kota di Baku dan Sumgait, dan Yahudi Georgia, yang sebagian besar tinggal di Baku. Setelah runtuhnya Uni Soviet, kaum Yahudi pegunungan menjadi kelompok dominan populasi Yahudi.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana warga negara Yahudi di Azerbaijan dikepung oleh kepedulian, kedamaian dan harmoni, cukup pergi ke desa Krasnaya Sloboda di wilayah Guba. Krasnaya Sloboda di Guba adalah salah satu tempat langka di dunia yang berpenduduk banyak kaum Yahudi. Orang-orang Yahudi yang tinggal di desa ini telah mempertahankan tradisi mereka selama bertahun-tahun. Komunitas religius dan pusat budaya nasional Yahudi tumbuh leluasa di sini. Komunitas Yahudi pegunungan di Azerbaijan adalah salah satu komunitas terbesar di antara berbagai komunitas Yahudi di Kaukasus.
Untuk mengembalikan sepenuhnya gambaran masa lalu, sebuah museum Yahudi akan dibangun di Krasnaya Sloboda. Pada zaman pendudukan Soviet, ada gudang produk pertanian di sinagog tua, di mana museum dibangun. Langkah-langkah ke arah ini telah diambil. Segera, sebuah museum Yahudi pegunungan akan muncul di situs Sinagoga Karkhogi.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, gedung sinagoga itu dulu ditinggalkan. Pembangunan museum diharapkan akan berkontribusi pada pemulihan rumah ibadah. Ruang konferensi, perpustakaan kecil, dan bagian cadangan dari museum akan dibuat di ruang bawah tanah. Bangunan sinagog berbentuk bujur sangkar. Diputuskan untuk membuat museum dengan dua tingkat untuk mengakomodasi pameran sebanyak mungkin.
Toleransi Beragama di Jerman
Toleransi beragama semakin digalakkan di Jerman. Itu diwujudkan antara lain dengan perayaan religi bersama, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, juga aktivitas kebudayaan lain.
Foto: picture-alliance/ZB
Merasa Anggota Masyarakat
Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Poetry Slam Antar Agama
Perlombaan ini digelar 17 Agustus 2013 di Berlin. Pesertanya : penulis puisi dari kelompok agama Islam, Yahudi dan Kristen. Mereka membacakan sendiri karyanya. Pelaksananya yayasan Jerman, Friedrich Ebert Stiftung.
Foto: Arne List
Jurusan Teologi Yahudi
Jurusan ini diresmikan 19 November 2013 di Universitas Potsdam. Pada semester pertama, jurusan yang berakhir dengan gelar Bachelor ini memiliki mahasiswa 47 orang dari 11 negara. Jurusan ini juga terbuka bagi orang non-Yahudi, yang berniat mempelajari teologi Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari "Open Door" Mesjid 2013
"Tag der offenen Moschee" diadakan setiap tahun di Jerman, pada tanggal penyatuan Jerman, 3 Oktober. Pelaksanaannya dikoordinir berbagai perhimpunan Islam di Jerman. Lebih dari 1.000 mesjid di Jerman menawarkan ceramah, pameran, brosur informasi dan acara pertemuan serta tur di dalam mesjid. Setiap tahun lebih dari 100.000 warga menggunakan kesempatan untuk lebih mengenal Islam itu.
Foto: DW/R. Najmi
Mencari Informasi dan Berkenalan
Pengunjung pada hari "open door" di Mesjid Sehitlik, Berlin. Sebanyak 18 mesjid di Berlin, setiap tanggal 3 Oktober membuka pintunya bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Saling Menerima
Suster dari tiga ordo Katolik mengunjungi mesjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim, pada "Hari Katolik" ke-98, tanggal 17 Mei 2012. Bertepatan dengan Hari Katolik tersebut, mesjid Yavuz Sultan Selim mengadakan hari pembukaan pintu.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman
Guru Merdan Günes berdiri bersama murid-murid di sekolah dasar kota Ludwigshafen-Pfingstweide, pada pelajaran agama Islam. Foto dibuat 09.12.2010. Pelajaran agama Islam mulai dilaksanakan di sebuah sekolah di negara bagian Rheinland Pfalz sejak tahun ajaran 2003/2004, dan sejak itu semakin diperluas.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar Toleransi
Guru Bülent Senkaragoz dalam pelajaran agama Islam di sekolah Geistschule di kota Münster. Foto dibuat 25/11/2011. Senkaragoz mengatakan, "Tugas saya bukan mengajarkan kepada murid, bagaimana cara sembahyang yang benar bagi seorang Muslim." Murid-murid di sini belajar tentang pentingnya toleransi. Pelajaran agama Islam dimulai di negara bagian Nordrhein Westfalen sejak 1999.
Foto: picture-alliance/dpa
"Mein Islambuch"
"Mein Islambuch“ (buku pelajaran Islam saya). Ini adalah buku pelajaran agama Islam baru untuk sekolah dasar. Ditulis oleh Serap Erkan, Evelin Lubig-Fohsel, Gül Solgun-Kaps dan Bülent Ucar. Di sebagian besar negara bagian yang dulu termasuk Jerman Barat, pelajaran agama Islam sudah termasuk kurikulum sekolah.
Berjalan Bersama
Buku pelajaran lain berjudul "Miteinander auf dem Weg" (bersama dalam perjalanan). Tokoh utama dalam buku itu hidup di dalam masyarakat, di mana pemeluk agama Kristen, Yahudi dan Islam hidup bersama dengan hak-hak sama. Seperti tampak pada salah satu ilustrasinya.
Foto: Ernst Klett Verlag GmbH, Stuttgart/Liliane Oser
Guru Agama Islam Orang Jerman
Annett Abdel-Rahman adalah guru pelajaran agama Islam di sekolah tiga agama di Osnabrück. Guru perempuan ini mengenakan jilbab, sementara rekannya yang Yahudi memakai kippah. "Bagi saya penting untuk memaparkan persamaan agama-agama Samawi kepada para murid," kata Annett Abdel-Rahman.
Foto: DW
Buka Puasa Bersama
Sebelum buka puasa bersama, para tamu membeli makanan dan manisan khas Turki, di Lapangan Kennedy di kota Essen. Dalam kesempatan ini umat berbagai agam bisa menikmati makanan bersama. Selama bulan puasa, hingga 500 orang, terdiri dari warga muslim dan non muslim datang ke tenda besar di lapangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Sama-Sama Warga Kota
Di bawah moto ”Wir sind Duisburg” (kitalah Duisburg), penduduk sekitar rumah tempat tinggal warga Roma di kota Duisburg dan sejumlah ikatan masyarakat serta persatuan warga Roma mengundang imigran untuk bersama-sama menyantap sarapan.
Foto: DW/C. Stefanescu
Pekan Antar Budaya
Seorang perempuan Senegal berdiri di lapangan pusat kota Halle an der Saale, di sebelah gambar gedung pemerintahan Rusia, Kremlin. Dalam "Interkulturellen Woche Sachsen-Anhalt" diadakan berbagai pesta, pameran, ceramah di negara bagian itu. Tujuannya mengembangkan toleransi bagi warga asing dan pengungsi. Pekan budaya ini adalah inisiatif gereja Jerman, dan diadakan akhir September setiap tahun.