1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Badai Salju dan Macetnya Pasokan Energi di Cina

1 Februari 2008

Badai salju di Cina melumpuhkan banyak layanan publik. Bahwa sebagian provinsi mengalami pemadaman listrik, tak bisa disebut gara-gara badai salju. Apa kaitan antara badai salju, persediaan batu bara dan harga listrik?

Salah satu pembangkit listrik tenaga batu bara di Fuxin, CinaFoto: AP

Hampir 80 persen energi listrik di Cina diperoleh dari batu bara dan tenaga nuklir. Jika jalan tol ditutup karena badai salju dan kereta api tak beroperasi, maka pengangkutan batu bara akan terpengaruh. Kantor berita resmi Cina Xinhua melaporkan, persediaan batu bara hanya cukup untuk satu minggu. Cuacalah biang keladinya. Tapi itu tidak sepenuhnya benar, kata Prof. He Zhou dari Universitas Hongkong.

“Banyak pengamat setuju, batu bara diproduksi dan diangkut dalam jumlah besar. Saat pembangkit listrik kehabisan persediaan batu bara, di tempat penyimpanan lain bertimbun batu bara dalam jumlah besar. Para pedagang tidak siap menjual batubara dengan harga sekarang, karena tahun lalu harga batu bara rata-rata naik 10 sampai 20 persen per bulan,“ kata Zhou.

Ia menambahkan, “Selain itu negara menjalankan politik yang berbeda terhadap pasokan batu bara dan listrik. Harga batu bara ditetapkan pasar, tapi harga listrik diatur negara. Perusahaan pembangkit listrik tidak mau ikut lagi karena mereka harus menjual listrik dengan harga tetap, sementara ongkos produksi terus meningkat.”

Singkat kata, ekonomi terpimpin bertubrukan dengan ekonomi pasar. Pemerintah diperkirakan tak akan menaikkan harga listrik dalam waktu dekat, karena kuatir terjadi inflasi.

Tahun 2000 Dewan negara Cina menjalankan ’pemisahan jaringan pembangkit listrik’. Dua tahun kemudian didirikan State Grid Corporation of China, SGCC, yang dikontrol negara. Perusahaan itu bertanggungjawab bagi jaringan operasi dan pembangunannya. Sebaliknya, pembangkit listrik tidak dikuasai negara. Li Chaolin dari perhimpunan industri batu bara Cina menuturkan konsekuensinya.

Ia mengatakan, “Kenaikan listrik yang terakhir, menurut hitungan saya, 53 persen mengalir ke jaringan operasi dan 47 persen ke perusahaan pembangkit listrik. Tapi kita juga tahu, jaringan operasi tidak butuh batu bara. Jadi tidak ada hubungan antara harga batu bara dengan harga listrik. Di sinilah dibutuhkan negara. Energi adalah pasar yang menjanjikan keuntungan. Tapi keuntungan itu harus diatur secara kenegaraan. Pembangkit listrik adalah saingan terkuat di pasar, dan banyak yang hampir bangkrut. Untuk mengamankan suplai energi, negara harus menjaga agar keuntungan antara jaringan dan pembangkit listrik, seimbang.“

Tapi negara hanya memikirkan keuntungan sendiri. Jaminan energi berorientasi keuntungan adalah prioritas pemerintah Cina, kata Gu Xuewu, profesor politik Universitas Bochum, Jerman.

Menurut Xuewu, “Di pasaran energi, Cina tidak sepenuhnya mematuhi mekanisme pasar dan menyerahkan pada tangan besi negara. Negara campur tangan dengan peraturan di dalam negeri, dijamin oleh pasokan energi dari luar negeri lewat perjanjian bilateral dengan Rusia, Afrika atau Ekuador. Strategi ini ditetapkan pemerintah.“

Pasar hanya bisa berfungsi baik tanpa pengaruh negara, kata Adam Smith, pendiri ilmu ekonomi klasik. Di Cina, pada abad ke-21 di musim dingin yang beku, orang masih mencoba membangun ‘orde ekonomi pasar yang sosialis’, menyuarakan kepentingan berama atas dasar milik pribadi. Terdengar ganjil, seperti yang sudah-sudah.(rp)