Anda pernah merasa heran, siapa wajah-wajah yang muncul dalam spanduk-spanduk calon anggota legislatif di ruang publik? Jangan lupa, selain pemilu presiden, pemilu legislatif juga penting. Zaky Yamani sampaikan opininya.
Iklan
Anda tidak perlu merasa bodoh jika mempertanyakan wajah-wajah tersebut, karena sebagian besar wajah-wajah calon legislatif itumemang tidak dikenal banyak orang.
Wajah-wajah itu selalu muncul tiba-tiba di musim pemilu, dan tidak banyak diketahui siapa mereka, apa latar belakang mereka, dan apa program yang akan mereka perjuangkan di lembaga legislatif nanti. Jika mereka menang, wajah-wajah itu akan lebih banyak bersembunyi di gedung legislatif, dan publik pun tidak akan banyak tahu apa yang mereka kerjakan. Jika mereka kalah, wajah-wajah itu akan menghilang, dan mungkin muncul lagi lima tahun mendatang.
Strategi berkenalan melalui spanduk memang masih jadi andalan para calon legislatif, karena itu cara paling mudah dan tidak perlu banyak mikir. Para caleg tinggal menyiapkan dana untuk membuat spanduk dan menyebarkannya sebanyak mungkin di daerah pemilihan masing-masing. Sebagai daya tarik, alih-alih menyampaikan program, mereka malah menggunakan slogan-slogan yang aneh-aneh, misalnya "Siap Jungkir Balik Demi Rakyat”, "SIM dan STNK Seumur Hidup”, "Saatnya Bergaya”, atau "Pilih Senam Agar Sehat” (nama si caleg adalah Senam).
Kemajuan teknologi informasi seakan tidak memberi inspirasi apa pun bagi para caleg itu. Sebagian besar masih menggunakan cara lama, yaitu melalui spanduk, ditambah mengirim kalender, makanan, topi, kaus, kartu nama, dan stiker ke rumah-rumah. Walau sebagian kecil ada yang menggunakan iklan di media sosial, namun isinya tak lebih bagus dari spanduk-spanduk yang beredar: berisi pencitraan diri dan tak ada agenda penting yang akan diperjuangkan.
Apa makna dari cara berkenalan para caleg itu?
Apakah mereka bodoh dan ketinggalan zaman? Mereka tidak bodoh, tapi menganggap pemilihnya bodoh: merasa tak perlu menyampaikan agenda dan program kepada pemilih, cukup dengan spanduk, kalender, kaus, topi, kartu nama, dan makanan. Tentang apa yang akan mereka kerjakan jika terpillih, rakyat tak perlu tahu.
Kebangkitan Pemimpin Perempuan di Indonesia
Meski hanya memenangkan 15 dari 111 daerah pemilihan, kemunculan pemimpin perempuan di sejumlah daerah menjadi salah satu catatan manis Pilkada 2018. Inilah sejumlah figur yang patut Anda kenal.
Foto: Detik.com
Khofifah Indar Parawansa
Meski awalnya tidak mendapat dukungan besar, Khofifah merebut hati penduduk Jawa Timur dan mengalahkan Saifullah Yusuf yang lebih diunggulkan. Sosokyang juga mantan anak didik bekas Presiden Abdurrahman Wahid ini sejak awal berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Ia menjabat ketua umum Muslimat NU selama empat periode berturut-turut. Tidak heran jika Alm. Gus Dur pernah menyebutnya "srikandi NU".
Foto: Detik.com
Tri Rismaharini
Sebanyak 86,34% suara dikumpulkan Risma saat memenangkan masa jabatan kedua dalam Pemilihan Walikota Surabaya 2015 silam. Kinerjanya yang apik dan faktor kesederhanaan membuat walikota perempuan pertama Surabaya ini berulangkali masuk dalam nominasi walikota terbaik di dunia, termasuk memenangkan Lee Kuan Yew World City Prize 2018.
Foto: Detik.com
Haryanti Sutrisno
Didaulat sebagai salah satu bupati terkaya di Indonesia saat ini, Haryanti akan melakoni masa jabatan kedua di Kabupaten Kediri menyusul hasil Pilkada 2018. Namun kemenangannya itu juga turut memperpanjang kekuasaan dinasti Sutrisno di Kediri selama hampir 20 tahun. Suaminya itu juga menjabat sebagai bupati untuk periode 2000-2010.
Foto: Detik.com
Chusnunia Chalim
Dengan usia yang baru menginjak 36 tahun, Chusnunia Chalim atau lebih sering dipanggil Nunik sudah mengantongi riwayat karir yang cemerlang. Ia tidak hanya pernah menjabat sebagai bupati Lampung Timur, tetapi juga memenangkan Pilkada Lampung 2018 sebagai wakil gubernur. Politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa ini juga pernah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat antara 2009-2014.
Foto: Detik.com
Anna Muawanah
Sejak 2004 Anna Muawanah yang merupakan kader PKB sudah malang melintang sebagai anggota legislatif sebelum memenangkan Pemilihan Bupati Bojonegoro dengan perolehan suara 35,2% pada Pilkada 2018 silam. Dalam kehidupan sehari-hari Anna bekerja sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang industri logam dan peternakan.
Foto: Detik.com
Mundjidah Wahab
Mundjidah Wahab boleh jadi salah satu pemimpin perempuan paling berpengalaman di Indonesia saat ini. Sejak tahun 1971 ia sudah aktif di DPRD Jombang dan di Jawa Timur, sebelum menjabat wakil bupati Jombang sejak 2013 silam. Dalam Pilkada kemarin Mundjidah yang juga sempat menjadi pengurus MUI memenangkan kursi bupati Jombang untuk lima tahun ke depan.
Foto: Detik.com
Puput Tantriana Sari
Kemenangan Puput Tantriana dalam Pilbup Probolinggo 2018 membetoni kekuasaan keluarganya yang sudah memerintah kawasan tersebut sejak dipegang suaminya, Hasan Aminuddin antara 2003-2013. Dengan usianya yang baru 35 tahun, Puput saat ini tercatat sebagai salah satu bupati perempuan termuda di Indonesia.
Foto: Detik.com
Faida
Sebagai Bupati perempuan pertama di Jember, karir Faida banyak mendapat sorotan selama Pilkada 2018. Pasalnya sebelum terjun ke dunia politik, dia lebih banyak bergelut dengan profesinya sendiri sebagai seorang dokter. Sepanjang karirnya Faida lebih banyak mengurusi rumah sakit al-Huda, Banyuwangi, yang dibangun oleh ayahnya sendiri. (rzn/hp: detik, kompas, tirto, tribunnews)
Foto: Detik.com
8 foto1 | 8
Saya punya contoh bagaimana para caleg di negara lain berkenalan dengan pemilihnya. Entah bagaimana, sejak beberapa tahun lalu, e-mail saya tiba-tiba masuk di dalam daftar seorang politisi Amerika Serikat asal Partai Demokrat dari wilayah New York. Melalui e-mail, politisi ini secara rutin melaporkan apa yang akan dia lakukan dan apa yang sedang dia lakukan di lembaga legislatif, dan menjelaskan apa pentingnya hal-hal itu diperjuangkan. Dengan laporan-laporan kerja itu dia meminta dukungan para pemilihnya, entah untuk ikut dalam sebuah aktivitas, atau juga meminta dukungan dana. Dengan laporan-laporan itu pula, dia sekaligus selalu memperkenalkan dirinya, karena saya perhatikan daftar orang yang dia kirimi email selalu bertambah.
Setidaknya ada dua keuntungan dengan cara berkomunikasi seperti itu. Pertama, dia akan selalu dikenal publik, minimal selalu diingat konstituennya. Kedua, konstituennya tahu apa yang dia kerjakan, dan bisa memutuskan apakah orang itu akan dipilih kembali atau tidak di pemilu berikutnya.
Contoh kedua, saat saya diundang ke Berlin untuk melihat praktik pemilu Jerman, sekitar tahun 2008. Saya ikut melihat kampanye yang dilakukan Kanselir Angela Markel di daerah Potsdam, tapi yang paling berkesan bagi saya adalah kampanye perwakilan Partai CDU yang adalah kubu konservatif dan Partai SPD yang mewakili kubu liberal di sebuah perkampungan imigran Turki di Berlin. Di sana perwakilan dua kubu yang berseberangan itu diuji oleh para imigran Turki tentang bagaimana dua kubu politik itu akan membela hak-hak imigran. Karena yang hadir adalah dua kubu yang berseberangan, yang terjadi adalah upaya mempertahankan argumen secara politis, ideologis, dan praktis. Perdebatannya alot namun tetap tertib dan damai, tanpa caci-maki.
Apa keuntungannya dari kampanye dengan menghadirkan dua kubu yang berlawanan? Publik akan menilai sendiri siapa yang layak untuk dipilih berdasarkan agenda dan ideologi partai-partai yang bersaing. Sedangkan bagi para calon legislatif itu, adu argumen seperti itu bisa jadi ajang unjuk diri tentang keunggulan dia dan partainya. Dan tentu saja, cara berkomunikasi itu jauh lebih sehat dibanding cara berkomunikasi melalui spanduk dengan slogan yang aneh-aneh atau melalui kiriman barang tak penting. Dengan dialog terbuka itu publik duduk setara dengan para caleg dan partainya untuk beradu argumen tentang apa yang harus didahulukan bagi kemajuan negara.
Bagaimana dengan Indonesia?
Perkenalan para caleg dengan pemaparan agenda kerja saat ini dan masa mendatang melalui e-mail dan sarana komunikasi lain masih sangat minim. Kalau pun ada yang rajin mengirim, laporan itu lebih banyak ditujukan kepada para jurnalis dan berisi pencitraan pribadi alih-alih sebagai laporan kerja kepada konstituen.
Adu argumen baru bisa kita lihat di acara debat calon presiden dan calon wakil presiden, dan dari debat itu tak banyak manfaat yang bisa kita ambil, kecuali hiburan melihat reaksi para pendukung masing-masing yang seperti pendukung fanatik klub sepak bola. Sedangkan untuk calon legislatif, sejauh yang sudah kita alami, kampanye lebih banyak satu arah dan hanya menghadirkan satu pihak, sehingga publik tidak bisa melihat bagaimana para caleg ini beradu argumen dengan caleg dari partai lain. Akibatnya, kualitas caleg tidak pernah bisa kita uji.
TPS Pilkada Rasa Kuburan Hingga 1001 Malam
Bagaimana rasanya mencoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dijaga 'drakula dan pocong'? Inilah yang terjadi di Semarang. Di kota-kota lain, TPS-nya pun tak kalah unik.
Foto: Detik.com
Siapa yang jaga?
Lihat tampang para penjaga Tempat Pemungutan Suara (TPS) ini? Terbayangkah Anda harus bertemu mereka dahulu, sebelum mencoblos? Inilah TPS 007, Gunung Brintik, Randusari, Semarang Selatan, Kota Semarang ini.
Foto: Detik.com
Ada prajuritnya pula
TPS ini mengangkat tema horor yang berlokasi dekat Makam Bergota, Kota Semarang. Dikutip dari Detik.com, di depan pintu terpasang dua karangan bunga yang ditempeli tulisan TPS 007. Kemudian terdapat lini massa yang memakai seragam prajurit.
Foto: Detik.com
KPU pusat tertarik melihat
Tak urung keberadaan TPS 007 di Gunung Brintik, Randusari, Semarang ini jadi perhatian Komisioner KPU pusat yang secara langsung memantau keberadaan TPS tersebut. Dikutip dari Detik.com, Komisioner KPU pusat, Wahyu Setiawan, datang melakukan pemantauan di TPS 007 Randusari.
Foto: Detik.com
Demam Piala Dunia
Berhubung Piala Dunia 2018 bertepatan dengan berlangsungnya Piala Dunia 2018 di Rusia, banyak TPS di beberapa lokasi di Indonesia tampak menonjolkan tema Piala Dunia untuk menarik massa datang ke tempat pemungutan suara. Salah satunya di kota udang, Cirebon. Di TPS 3 Kelurahan Kesambi, Kecamatan Kesambi, Cirebon, Jawa Barat. Petugas TPS menyulap lokasi pemungutan suara dengan tema Piala Dunia.
Foto: Detik.com
Swadaya masyarakat
Tampak wajah petugas TPS di Cirebon ini ditempel stiker bergambar bendara negara yang berpartisipasi dalam piala dunia. Dikutip dari Detik.com, anggaran untuk pengadaan kaos dan segala atribut mengenai piala dunia berasal dari swadaya petugas TPS. Dengan mengusung tema piala dunia diharapkan partisipasi masyarakat untuk memilih mengalami peningkatan, terutama para generasi milenial.
Foto: Detik.com
Tak mau kalah unik
Yang juga tidak kalah unik, adalah salah satu TPS di kawasan Cibadak, Bandung. Panita TPS tampil bagaikan dalam Dongeng di Negeri 1001 malam.
Foto: Detik.com
Menarik perhatian
Seorang petugas tampak menerangkan aturan dalam pencoblosan pemungutan suara dalam Pilkada.
Foto: Detik.com
Bagaimana suasana TPS di tempat Anda'?
Beberapa TPS telah berusaha tampil unik dan menarik. Bagaimana TPS di tempat Anda? Juga tidak kalah menarikkah? Sumber: Detik.com(ap/rzn)
Foto: Detik.com
8 foto1 | 8
Ada lagi satu contoh menarik yang saya ketahui baru-baru ini, tentang bagaimana caleg dari partai yang berbeda saling bekerja sama dan "berbagi suara” di wilayah pemilihan masing-masing. Alih-alih memenangkan partainya agar jadi partai mayoritas di parlemen, para caleg dari partai yang berbeda itu bekerja sama—bahkan saling berbagi dana—untuk bisa sama-sama mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/Kota. Mereka membuat peta pemilih di wilayah pemilihan itu, kemudian merancang strategi bersama agar masing-masing berhasil mendapat kursi. Dengan cara "berbagi suara” seperti ini, para caleg bahkan akan "menginjak” rekan satu partainya di wilayah pemilihan yang sama. Artinya, para caleg dari partai yang berbeda itu mementingkan kursinya sendiri, ketimbang kemenangan partainya.
Cara berpolitik semacam itu sebenarnya tidak masuk akal dalam sistem demokrasi. Karena di lembaga legislatif nanti, agenda kerja parlemen akan mengandalkan suara mayoritas. Ketika di DPR tidak ada partai yang mayoritas dan kursi yang ada terbagi rata ke banyak partai politik, maka untuk menyepakati suatu pekerjaan akan dibutuhkan energi yang sangat besar untuk lobi demi mendapatkan persetujuan mayoritas anggota legislatif—dan hal itu membuka peluang yang sangat lebar untuk tindakan korupsi berupa jual-beli suara di internal parlemen.
Jejak Indonesia Pada Guratan Karya Seni Daniel Kho
Daniel Kho meninggalkan Indonesia sejak 42 tahun silam dan bermukim di Jerman. Namun jiwa dan raganya masih meninggalkan jejak nusantara melalui karya seni.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Menjunjung budaya Indonesia
Berlatar belakang etnis Tiongkok tak membuat Daniel Kho kehilangan rasa cintanya terhadap Indonesia. “Saya lahir di Jawa Tengah, dibesarkan dengan budaya Jawa, biarpun saya dari etnis lain tapi saya merasa jadi orang Jawa, Indonesia,” katanya. Menurut Kho kebudayaan Indonesia yang ia alami sangat mempengaruhi karya seninya.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Lukisan bertema wayang
Karya seni lukis yang dibuat Daniel Kho pun sangat kental terpengaruh budaya Jawa. Tema atau ciri yang bisa dilihat secara langsung dari karyanya adalah wayang.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Budaya wayang
Daniel mengaku dunia pewayangan sangat mempengaruhi kreasinya sebagai seorang seniman. “Karena saya lahir di dalam lingkungan yang penuh dunia pewayangan. Wejangan gunakan wayang, Islamisasi memakai wayang, Kristenisasi juga pakai wayang”, kata seniman ini.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Dikecewakan Indonesia
Pengalaman Daniel Kho sebagai seseorang yang memiliki latar belakang etnis Cina pernah membuatnya kecewa. Cukup lama ia tidak bisa mengikuti pemilu di Indonesia. “Saya agak keki. Kenapa saya tidak boleh memilih? saya lahir di Indonesia, hanya warna kulit dan bentuk muka saya yang berbeda,” katanya.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Pertahankan budaya Indonesia
Namun demikian, pengalaman pahit tersebut tak membuatnya hilang rasa cinta terhadap Indonesia. “Kita ini sedang mempertaruhkan ketahanan dan keragaman budaya. Kalau itu sampai hilang, sangat sayang sekali. Karena Indonesia adalah anugerah yang besar sekali,” tambahnya.(yp/ra/rzn/as)
Foto: DW/R. Akbar Putra
5 foto1 | 5
Untuk terhindar dari politik yang tidak sehat, satu-satunya harapan kita adalah kesadaran dan keberanian publik. Publik harus sadar, bahwa memilih caleg harus berdasarkan pengetahuan tentang agenda apa saja yang akan dikerjakan para caleg itu jika mereka menang. Untuk itu publik harus menolak cara berkenalan yang norak melalui spanduk, kalender, topi, dan sebagainya.
Dengan demikian, artinya publik harus berani membalikkan posisi dari sumber suara pasif menjadi aktif, misalnya dengan menolak kampanye tunggal partai atau calegnya, tapi mengundang sekaligus para caleg dari partai-partai yang berbeda di daerah pemilihan yang sama, agar mereka berdebat mempertahankan agenda masing-masing, sampai publik bisa menilai kapasitas dan kualitas para caleg itu.
Jika publik di setiap daerah pemilihan—dari level kecamatan sampai level provinsi—sanggup melakukan itu, mungkin lima tahun mendatang ruang-ruang publik tidak akan terlalu kotor dengan spanduk dan slogan tak bermutu. Karena seseorang yang ingin jadi caleg harus memiliki program kerja yang jelas dan sanggup berhadapan dengan publik dan lawan politiknya di sebuah forum. Caleg-caleg yang tak jelas rencana kerjanya harus dibuat jeri untuk mencalonkan diri, dan yang nekad mencalonkan diri akan “dihabisi” di dalam debat-debat intelektual.
Penulis: Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
Diskusi Pemilu Presiden 2019 Ala Milenial Indonesia di Jerman
Diskusi seputar Pemilu 2019 kerap mereka lakukan. Dengan diskusi yang mengedepankan nilai positif dari masing-masing calon presiden, mereka percaya Pemilu 2019 akan menjadi pesta demokrasi yang meriah dan menyenangkan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pengalaman berharga
Mengikuti Pemilu 2019 di luar negeri yang akan dialami pertama kali oleh empat sekawan Ardan, Qinta, Sina dan Kevin membuat mereka bersemangat. “Kami antusias sekali pada Pemilu ini, ditambah lagi kami sedang di luar negeri, suasananya berbeda, cara memilihnya berbeda,” kata mahasiswa Indonesia bernama lengkap Hamzah Shafardan tersebut.
Foto: DW/R. A. Putra
Berdiskusi untuk masa depan Indonesia
Kondisi politik Indonesia serta banyaknya berita hoax, mendorong mereka sering mengadakan diskusi membahas pemberitaan seputar Pemilu Presiden 2019. “Kita biasa lihat berita dari media sosial contohnya Instagram atau Youtube tentang Pemilu Presiden. Dari situ muncul diskusi tentang kandidat mana yang pantas kita pilih,” kata mahasiswa Universität Bonn asal Tangerang, Kevin Olindo.
Foto: DW/R. A. Putra
Tukar pikiran tentang calon presiden
Dikotomi politik yang begitu kentara di tanah air terkadang membuat mereka jengah. Menurut Qinta Kurnia Fathia “Kita semua pasti menginginkan pilihan yang terbaik, jadi lebih baik kita bertukar pikiran berfokus pada nilai positifnya dibanding saling menjatuhkan”.
Foto: DW/R. A. Putra
Saling menghormati pilihan masing-masing
Walau mereka sering berdiskusi, pilihan politik masing-masing individu tentu berbeda. Namun mereka tidak pernah mempersoalkan hal tersebut. “Bila kita memperdebatkan pilihan politik orang lain, itu tidak etis. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memilih sesuai yang ia yakini,” kata Ardan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pendidikan yang utama
Sebagai mahasiswa mereka sangat berharap, presiden yang terpilih nantinya akan makin memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Sinatryasti Purwi Agfianingrum, “yang jelas presiden yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, juga dapat meningkatkan mutu sumber daya manusianya melalui pendidikan”. (Rizki Akbar Putra/yp/as)