1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Bagaimana BNPT Memupus Terorisme Dengan Humanisme

12 Oktober 2018

Di bawah Suhardi, BNPT menggunakan pendekatan humanis buat mengikis bibit terorisme. Kesan itu bertolak belakang dengan reputasi lembaga anti teror lain, Densus 88, yang dibayangi tuduhan pelanggaran HAM

Anak-anak mantan teroris yang diajak bersekolah di Pesantren al-Hidayah, Sumatera Utara.
Anak-anak mantan teroris yang diajak bersekolah di Pesantren al-Hidayah, Sumatera Utara.Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara

Wawancara Dengan Kepala BNPT Komjen Pol Drs. Suhardi Alius

18:10

This browser does not support the video element.

Syahdan Suhardi Alius mendapat tantangan menyambangi desa teror Tenggulun di Jawa Timur ketika baru diangkat sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT, 2016 silam. Saat itu dia menghubungi Ali Fauzi, terpidana Bom Bali yang juga berasal dari Tenggulun.

"Mas Ali ini kebanyakan (mantan napi teror) tinggal di Tenggulun, kan? Boleh saya kesana?"
"Wah, yang benar, Pak? Belum pernah ada pejabat yang mau ke sana," jawab Ali Fauzi.

"Insya Allah," pungkas Suhardi.

Adik kandung Amrozi itu lalu menghubungi abangnya yang lain, Ali Imron, yang mendekam di Lapas Kerobokan Bali seumur hidup lantaran terbukti terlibat dalam pelaksanaan Bom Bali.

"Li, Pak Hardy akan datang ke desa kita," ucap sang adik di ujung telepon.

"Kamu dibohongi. Kalau dia datang, aku gendong kamu," kata Ali Imron dengan nada tak percaya.

Namun Suhardi tetap datang dengan penjagaan longgar aparat berbaju preman.

Sekilas, Tenggulun menyerupai desa petani lain di Jawa Timur. Ratusan rumah berhimpitan di antara ladang dan sawah, dua masjid megah berdiri kokoh di jantung desa dan sebuah pondok pesantren berpagar semen menjadi oase spiritual kaum muda. Di tempat ini bersemayam makam Amrozi, teroris yang dieksekusi mati pada 2008 setelah terbukti ikut meluluhlantakkan Bali pada 2002 silam.

Menurut Suhardi, Tenggulun saat itu dihuni oleh 38 mantan narapidana terorisme beserta keluarganya. Sejak dulu desa kecil ini masuk dalam daftar zona berbahaya buat aparat kepolisian.

Ironisnya bersama BNPT, desa yang dulu dikenal sebagai sarang teroris itu membidani kelahiran salah satu program penanggulangan terorisme paling humanis di dunia. Karena di sini lah Suhardi Alius untuk pertamakalinya memupuk kepercayaan mantan teroris pada lembaga negara, terutama kepada kepolisian.

"Begitu saya datang, mereka menangis. Sampai Mahendra mencium tangan saya dan bilang ingin menjadi orang baik," kisahnya tentang Zulia Mahendra yang merupakan putra Amrozi. "Semua berubah dalam tempo singkat. Itu dicapainya dengan hati," kata dia. "Jangan ditakuti dengan senjata."

Sejak itu BNPT menciptakan berbagai terobosan program penanggulangan terorisme di Indonesia. Mantan teroris yang dulu cendrung diacuhkan, malah dijadikan ujung tombak program deradikalisasi. Suhardi bahkan ikut membantu mencarikan dana pembangunan pesantren anti teror di Tenggulun dan mempekerjakan kaum remaja sebagai duta damai untuk menangkal ideologi radikal melalui media sosial.

Sebelumnya lembaga yang dibentuk pada 2010 itu berfungsi layaknya badan intelijen yang berusaha mengendus rencana serangan lewat narapidana terorisme. Fungsi ini dijalankan oleh Ansyaad Mbai hingga Saud Usman Nasution. Pendekatan humanis pada isu terorisme baru mulai dikembangkan Tito Karnavian yang hanya memimpin selama beberapa bulan sebelum digantikan Suhardi.

Ketika Pondok Pesantren al-Islam yang ikut didirikannya diresimkan pada 2017 silam, belasan mantan teroris mengikrarkan sumpah setiap kepada negara dan Pancasila - sesuatu yang bertolakbelakang dengan ideologi ekstremisme Islam yang menganggap aparat pemerintah sebagai musuh yang wajib diperangi.

Konsep penanggulangan terorisme yang dijalankan BNPT kini mulai dilirik dunia internasional. Juli silam Lembaga Kriminal Federal Jerman, Bundeskriminalamt, datang ke Indonesia untuk mempelajari pendekatan lunak yang digunakan BNPT, antara lain dengan mengunjungi pesantren al-Hidayah di Sumatera.

Ironisnya pendekatan Suhardi bertolakbelakang dengan reputasi Detasemen Khusus 88 yang tak segan membunuh terduga teroris jika dianggap melawan. Belum lama ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut fakta di lapangan mengindikasikan pelanggaran HAM oleh satuan elit Polri itu. 

Suhardi mengelak ketika ditanya apakah model pendekatan personal yang ia jadikan strategi diBNPT akan berakhir setelah masa jabatannya berakhir. Menurutnya dia telah memberikan contoh kepada para pejabat BNPT, tinggal mereka yang melaksanakannya. "Saya harapkan siapapun yang menggantikan saya bisa mengedukasi masyarakat, jangan pakai kekerasan. Mari kita bangun dengan hati dan kejujuran."