1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Baca Ini Dulu Sebelum Memulai Karier Sebagai Influencer

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
11 Juli 2020

Apa benar menjadi 'influencer' di media sosial bisa bisa meraup keuntungan? Memangnya bagaimana prospek pekerjaan sebagai influencer? Berikut opini Nadya Karima Melati soal sistem kerja selebriti di media sosial.

Gambar ilustrasiFoto: Reuters/T. Adelaja

Zayid berusia 13 tahun, tinggal di Depok dan bercita-cita menjadi seorang YouTuber. Ayahnya adalah akuntan untuk perusahaan yang memasok bawang ke Jabodetabek. Zayid enggan mengikuti karier ayahnya. Menurutnya menjadi YouTuber lebih cepat dan lebih mudah untuk menghasilkan pundi-pundi uang dibandingkan menjadi pegawai di perusahaan.

Zayid bukan satu-satunya remaja tanggung yang berpikir menjadi influencer adalah pekerjaan yang menjanjikan di masa kini. Ada ratusan bahkan ribuan anak generasi Y dan Z berlomba-lomba membuat konten kreatif dan mengunggahnya ke internet dengan harapan mendapat keuntungan darinya. Sebutlah orang-orang seperti Ria Ricis, Kekeyi, Atta Halilintar atau Baim Wong sebagai YouTuber yang menginspirasi para remaja tanggung yang berusaha mendapatkan uang melalui media sosial.

Tapi apakah benar menjadi 'influencer' di media sosial bisa bisa meraup keuntungan. Memangnya bagaimana prospek pekerjaansebagai influencer? tulisan ini mengupas sistem kerja selebriti di media sosial dan sistem yang menyertainya.

Kita semua adalah billboard

Terkenal, terpandang dan banyak uang adalah dambaan setiap orang. Uang mengerakkan peradaban manusia sejak era perniagaan, agraris hingga industri. Jika kita mengenal produk sebagai barang dan jasa, maka periklanan atau penjualan menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan barang dan jasa. Memiliki akun virtual media sosial bukan lagi menjadi barang asing dalam peradaban digital pada hari ini. Setiap akun-akun personal yang kita miliki di media sosial ternyata telah menjadikan kita buruh sekaligus konsumen bagi pemilik platform dan pengiklan.

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Pada awalnya, tujuan saya mempunyai akun Facebook, Twitter dan Instagram adalah sebagai wadah untuk berekspresi dan berinteraksi dengan teman-teman. Sebagaimana tujuan awal Mark Zuckerberg membuat Zucknet pada awalnya untuk membantu komunikasi pegawai ayahnya di klinik dokter gigi dan menjadi sarana berkirim pesan di keluarga.

Sayangnya teknologi selalu berkembang tidak seirama dengan intensi si pembuat. Kini media sosial mengubah wadah berkomunikasimenjadi papan iklan. Facebook  buatan Mark Zuckerberg kini tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi tetapi juga pasar/market place dan fitur yang paling baru yakni Facebook iklan. Sementara di Instagram dan Twitter dengan modal 5000-10000 akun pengikut, seseorang dapat menjadi pengiklan yang kini disebut dengan istilah 'influencer'.  

Berinteraksi di dunia maya kini tidak sekadar untuk mencari kesenangan tetapi juga keuntungan melalui klik, penayangan iklan dan promosi produk secara langsung. Setiap akun berada dalam posisi kompleks yakni: menjadi pengguna media sosial dan mengunggah konten pada umumnya dan bekerja sebagai pembuat konten hiburan/edukasi dan memasang iklan. Pengguna pada pilihan kedua disebut juga dengan 'influencer'.

Jika kita tidak mendaftar untuk menjadi pengiklan, tetap saja media sosial menampilkan iklan. Setiap kali kita membuka lini massa media sosial, selalu muncul iklan yang telah disesuaikan dengan data pribadi kita.  

Di antara Facebook, Instagram, Twitter dan YouTube, hanya YouTube yang lebih dulu menggunakan dan mengembangkan skema Google AdSense kepada penggunanya. Sehingga para konten kreator dapat mendapatkan keuntungan secara otomatis. Dengan sistem ini, maka setiap pengguna media sosial masuk dalam kategori yang kompleks sebagai pengguna, konsumen, calon konsumen, pengiklan dan buruh konten sekaligus.

Dalam logika kapitalisme, mari kita bicara tentang untung-rugi. Ketika semua pengguna media sosial menjadi konsumen, calon konsumen dan papan iklan produk itu sendiri, tentu yang paling diuntungkan adalah penyedia platform dan pengiklan. Penyedia platform seperti Facebook, YouTube dan Twitter diuntungkan karena semakin banyak waktu yang dihabiskan pengguna, dan iklan yang dipajang mampu memberikan pemasukan bagi mereka. Kedua untuk pengiklan.

Produk-produk seperti Primark dan Xiaomi selalu berdalih mereka mampu menurunkan harga di pasaran karena mereka meminimalkan iklan dalam bentuk fisik. Dua brand ini menekan biaya iklan percaya harga miring dapat memenangkan hati pembeli. Pembeli produk, yang memiliki akun di sosial media akan mempromosikan sendiri produk yang dia beli dan memengaruhi calon pembeli yang juga berinteraksi di sosial media. 

Sementara yang dirugikan adalah barang tentu pembuat konten/pemilik akun. Kita sebagai pengguna: mengunggah, mengambil foto, membuat video, mengedit dan membeli perlengkapan guna menghasilkan kualitas gambar yang mumpuni adalah kerja. Baik pemilik platform dan pengiklan tentu tutup mata dengan kerja kreatif pada pembuat konten. Mereka tidak menghitung berapa mahal harga kamera, tripod atau waktu yang dihabiskan dalam mengedit video. Ketika semua sudah diunggah dan warganet berdebat. Pundi-pundi uang mengalir ke kantung platform dan pengiklan bersama klik.   

Dari mana uang Selebgram, YouTuber dan BuzzeRp?

Beda platform beda juga cara menghasilkan uangnya. Saya menggunakan istilah konten kreator sebagai pengunggah konten (video atau foto). Saya mewawancarai seorang ahli interaksi internet yang juga seorang pembuat konten, Eno Bening. Eno seperti kita semua yang memiliki posisi kompleks di internet. Ia adalah pembuat konten dan juga bekerja di perusahaan penjualan digital. Selama mengamati internet khususnya YouTube sejak tahun 2007, Eno menyaksikan perkembangan media sosial, tren dan mempelajari bagaimana mendapat keuntungan jika bekerja dalam industri digital. Ia menjelaskan perbedaan uang bekerja para influencer pada berbagai media sosial yang kita gunakan pada hari ini.

Facebook dan YouTube menggunakan perpaduan agloritma dan big data yang mereka miliki untuk mematok harga iklan yang akan ditayangkan. Fasilitas penentu harga ini disebut dengan Google AdSense dengan satuan hitung PPC (pay per klik). Konten kreator mendapatkan keuntungan jika mereka mendaftar sebagai wahana pengiklan. Pemilik platform menjadi penyedia layanan dan uang dihasilkan dari pengiklan yang hendak memasarkan produk. Uang yang diberikan pengiklan akan masuk dan dibagi kedua pihak: penyedia platform dan pembuat konten dengan persentase yang tidak tentu. Bisa 45:55 atau 40:60. 

Eno juga menjelaskan bahwa harga AdSense sendiri tidak stabil, turun naik berdasarkan jumlah pemirsa, jumlah orang yang mengklik iklan dan juga mata uang sebuah negara. Mengetahui bagaimana AdSense bekerja adalah satu kriteria yang perlu dimiliki pembuat konten untuk mengukur seberapa banyak modal tenaga dan waktu untuk produksi konten. Sebab, pada banyak kasus YouTuber pemula terpesona pada nilai AdSense pertama dan kemudian pemasukannya terus turun. 

Instagram saat ini belum menggunakan fitur AdSense untuk para konten kreator. Tetapi menggunakan perhitungan harga manual yang ditentukan dari jumlah pengikut. Kesepakatan promosi harga produk akan bergantung pada kemampuan negosiasi pemilik akun influencer. Istilah-istilah yang dihasilkan dari penjualan di Instagram seperti endorse dan paid promote. Endorse adalah istilah ketika seorang publik figur mempromosikan/menggunakan barang atau jasa dalam kesehariannya sedangkan paid promote adalah sistem negosiasi penawaran beriklan dalam sebuah akun Instagram. Eno tertarik degan bagaimana kata-kata seperti endorse lebih populer di Instagram sedangkan YouTube menggunakan istilah sponsor. Padahal menurutnya kedua-duanya bermakna sama, menjadikan akun sebagai tempat memasang iklan. Sementara itu kemunculan istilah BuzzerRp tidak lepas dengan bagaimana para influencer Twitter bekerja. Hal ini pernah dibahas dalam tulisan saya sebelumnya di rubrik DWnesia Kolom. Sponsor politik BuzzeRp disebut juga dengan istilah bohir. 

Lebih baik jual bawang atau jadi influencer?

Dalam melihat internet sebagai kultur digital, apakah di dunia nyata/IRL (In Real Life) ada orang yang memiliki profesi prankster? Demikian tanya Eno dalam pembicaraan kami. Media sosial adalah wahana untuk bertukar informasi, lewat konten hiburan ataupun edukasi. Menjadikan Media sosial sebagai pemasukan satu-satunya bisa dilakukan tetapi tetap butuh modal besar di dunia materiil.

Eno menjelaskan bagaimana YouTuber internasional yang seperti Logan Paul sudah dikenal terlebih dahulu. Sehingga ketika Paul 'migrasi' ke YouTube, pengikutnya otomatis banyak. Jika ia memulai dari nol tanpa modal sosial sama sekali, dibutuhkan ide kreatif untuk melejit, menjadi viral dan trending. Google Adsense tidak menghitung biaya dan modal yang dikeluarkan pembuat konten.Sehingga jika ingin menjadi konten kreator dan memulai dari nol, sebaiknya tetap mengembangkan kemampuan di dunia nyata dan kemudian menunjukannya ke media sosial sebagai ajang promosi. When life gives you lemon, you make lemonade, kan? 

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.