Para ahli mengatakan chatbot kecerdasan buatan seperti ChatGPT mengubah cara siswa belajar. AI semacam ini dapat menulis esai akademis yang terlihat sempurna. Apakah ini ancaman bagi pendidikan atau justru jadi peluang?
Iklan
Ketika Doris Wessels log in ke ChatGPT untuk pertama kalinya, ia merasa seperti masuk ke dunia lain. "Sungguh sebuah momen ajaib,” katanya kepada DW.
Ia mengaku langsung mencoba chatbot bertenaga kecerdasan buatan atau AI itu hanya beberapa hari sejak dirilis dan dibuat terkagum-kagum oleh teknologinya.
Wessels adalah seorang profesor informatika bisnis yang berbasis di Kiel University of Applied Sciences. Ia telah meneliti kecerdasan buatan (AI) dan pengaruhnya terhadap pendidikan selama bertahun-tahun.
Kekaguman Wessels bukan tanpa sebab. Pasalnya, siapa pun dapat berinteraksi dengan ChatGPT melalui browser internet. Tinggal mengetik pertanyaan atau perintah, ChatGPT akan memberikan respons (hampir untuk semua hal).
ChatGPT dirilis ke publik pada 30 November 2022 oleh sebuah perusahaan bernama OpenAI. Klaimnya adalah ChatGPT mampu menjelaskan, memprogram, dan berdebat dengan efisiensi sama seperti manusia.
Dalam lima hari setelah perilisannya, satu juta orang telah mendaftar untuk menggunakannya.
5 Abad Robot: Makin Mirip Manusia
Lima abad sejak pertama kali diciptakan, kecanggihan robot makin ‘menggila’. Tak hanya tampilannya yang makin mirip dengan manusia, perannya juga mulai menggantikan tugas penciptanya.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
Bisa baca berita
Profesi pembaca berita atau news anchor mulai tergantikan tugasnya sejak Jepang menciptakan kodomoroid. Android yang diciptakan tahun 2014 itu bisa lancar melaporkan berita dalam berbagai bahasa, tanpa tersandung-sandung. Dia bahkan diprogram dengan rasa humor. Memang, dia masih sedikit kaku - untuk jenisnya yang sekarang ini.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
AI dari Beijing
Baru tahun 2018, Cina sukses mengembangkan robot pembaca berita yang mampu bekerja hingga 24 jam. Robot yang dilingkapi kecerdasan buatan (AI) itu dikembangkan Xinhua dan perusahaan mesin pencari Cina Sohou. Pembaca berita ini dirancang meniru suara manusia, ekspresi wajah hingga gerak tubuh.
Foto: Getty Images/AFP/STR
Tangan baja
Namun jauh sebelum tokoh humanoid diciptakan, perangkat palsu sebenarnya sudah dikembangkan untuk menggantikan anggota badan yang hilang. Model awal ditemukan pada mumi Mesir antara 950-710 SM. Bagi penggemar sains fantasi, protesa baja dan kuningan era Victoria ini mungkin keren. Namun, bagi orang lain, tangan-tangan palsu ini agak menyeramkan.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
Biksu pendeta 'Frankenstein'
Robot terbaru tahun 2019, adalah robot pendeta di Kuil Kodaiji di Kyoto, Jepang. Sebagaimana biksu manusia, ia juga memberikan wejangan pada pengunjung kuil. Meski menuai kritik dari luar karena dibandingkan dengan Frankenstein, warga lokal justru beri respon positif. Robot ini diharapkan bisa merangkul generasi muda yang kurang familier dengan agama Buddha yang dianut sekitar 30% warga Jepang.
Foto: Getty Images/AFP/C. Triballeau
Asal mula robot biksu
Istilah "robot" sebenarnya sudah tidak digunakan sampai tahun 1920, karakter mekanik telah diciptakan selama berabad-abad. Di antaranya untuk menghidupkan kembali cerita-cerita Alkitab. Karakter biksu ini misalnya, berasal dari Spanyol dan diperkirakan sudah dibuat sejak tahun 1560.
Foto: Smithsonian Institution/Jennie Hills
Bayi animatronik
Dalam pameran robot di Museum Sains London, pengunjung menyaksikan robot mirip bayi manusia. Sama seperti bayi baru lahir, gerakan robot bayi ini terbatas pada lengan dan kaki; tampak seperti bernapas dan bisa bersin. Robot seperti ini digunakan untuk produksi film. Mereka amat mirip bayi, sehingga orang merasakan emosinya ketika menyaksikan robot bayi ini.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
Gantikan tugas manusia
Semakin lama robot makin digunakan untuk menggantikan tugas manusia dalam pekerjaan industri. Mengapa orang harus melakukan tugas-tugas yang dianggap kotor atau berbahaya - ketika robot dapat melakukannya? Hanya butuh waktu beberapa menit untuk pekerja reguler untuk "mengajarkan" robot Baxter tugas baru. Robot ini dijual seharga $25.000.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
Ilmiah di balik fiksi
Pameran robot di London 2017 memutar film yang berfokus pada kecerdasan buatan, seperti film Steven Spielberg "A.I. Artificial Intelligence" (2001) dan film Alex Garland "Ex Machina" (2015). Bintang film Alicia Vikander berperan sebagai robot yang sangat canggih (gambar). Semakin menjadi bagian dari realitas kita, tema-tema film tersebut tidak lagi sekadar fiksi ilmiah yang surealis
Foto: picture-alliance/AP Photo/A24 Films
Makin canggih
Android open source Rob Knight (ROSA) adalah robot "anthropomimetic" pertama. Ia mereproduksi struktur tubuh manusia. Robot yang ditampilkan di pameran di Museum Sains di London tidak hampir sama dengan android dari serial TV "Westworld," tapi mereka terus memprovokasi refleksi tentang apa artinya menjadi manusia.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
I'll be back
Persepsi kita atas robot telah sangat dipengaruhi oleh seni. Dalam film R.U.R, robot bangkit untuk hancurkan penciptanya. Sejak itu, film juga berkontribusi dengan konsep cerita serupa. Salah satu robot yang paling ikonik dalam sejarah film diciptakan oleh James Cameron pada tahun 1984 dengan film thriller-nya, "The Terminator," dimana kata-kata “I’ll be back!” di film ini jadi legendaris.
Foto: picture-alliance/dpa/M. S. Gordon/2015 Paramount Pictures
Robot pertama di bioskop jenis kelaminnya perempuan
Fritz Lang perintis fiksi ilmiah karya "Metropolis" (1927) menampilkan salah satu robot pertama sejarah film: "Maschinenmensch" (manusia mesin). Latar belakang kisahnya tahun 2026. Dikisahkan di film ini, ilmuwan ciptakan robot untuk mereproduksi perempuan yang dicintainya, Maria.
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
Mari kita sebut mereka robot
Pada tahun 1920, penulis Ceko, Karel Capek menemukan kata "robot" untuk drama fiksi ilmiahnya: "R.U.R." (Rossum's Universal Robots). Istilah robot berasal dari bahasa Ceko "robota," yang berarti buruh kerja paksa. Drama “R.U.R” diterjemahkan ke dalam 30 bahasa. Dalam gambar ini, "Eric" (kanan) adalah reproduksi dari salah satu robot pertama di dunia, berasal dari tahun 1928. (Ed: ap/vlz/vv)
Foto: Plastiques Photography, courtesy of the Science Museum
12 foto1 | 12
ChatGPT mengancam pendidikan?
Mike Sharples, seorang profesor emeritus di Universitas Terbuka di Inggris Raya, memperingatkan bahwa "GPT mendemokratisasi plagiarisme.”
Ia sebelumnya mencoba meminta AI itu untuk membuat artikel ilmiah dan hasilnya menurutnya "bisa lulus tinjauan akademis pertama.”
Hal ini mengkhawatirkan Wessels, dengan mengatakan universitas terancam tertinggal. Di satu sisi ada industri perangkat lunak yang mengembangkan AI menjadi semakin canggih, sementara di sisi lain, ada sejumlah mahasiswa yang pemahamannya menggunakan AI untuk pendidikan, lebih cepat dibanding staf akdemik atau profesor mereka.
Wessels bahkan melihat adanya "kemungkinan skenario horor” di mana profesor tidak menaruh curiga terhadap mahasiswanya dan merasa melakukan pengajaran dengan sangat baik karena mahasiswa dapat menyelesaikan tugas tanpa kesalahan. Padahal sebenarnya tugas tersebut dikerjaan oleh ChatGPT atau sistem serupa.
Terlalu sedikit data
Debarka Sengupta, seorang pakar AI yang berbasis di New Delhi, juga memiliki kekhawatiran serupa.
"Semua orang di India tahu tentang ChatGPT,” katanya. Ia khawatir standar akademik akan menurun jika mahasiswa mulai tergantung pada teknologi kecerdasan buatan terbuka semacam itu.
Jika mereka berhenti belajar bagaimana menulis esai sendiri dan justru menggunakan ChatGPT sebagai gantinya, mereka bisa menjadi "sangat tidak kompeten dan kecanduan,” kata Sengupta yang menjabat sebagai Pimpinan Pusat Infosys untuk Kecerdasan Buatan di Institut Teknologi India.
Meski begitu, ia menilai data yang ada masih terlalu sedikit untuk menguatkan ketakutan tersebut, mengingat ChatGPT baru dirilis selama dua bulan.
Sengupta juga mengatakan, "plagiarisme dan kecurangan selalu ada” akan tetapi motivasi belajar siswa tidak boleh diremehkan.
Dalam kesempatan terpisah, Sharples menambahkan bahwa "mahasiswa datang ke universitas untuk belajar, bukan untuk menyontek.”
Iklan
Bagaimana AI bisa membantu?
Bernadette Mathew adalah salah satu mahasiswa Sengupta yang sedang meneliti pertumbuhan kanker guna mendapatkan gelar PhD di bidang Biologi.
Eksperimen Mathew menghasilkan sejumlah besar data yang perlu dianalisis, sehingga memerlukan bantuan komputer untuk melakukan otomatisasi dan mempercepat proses analisis datanya. Mathew merasa ChatGPT sangat membantu dalam hal tersebut.
ChatGPT menurutnya menjelaskan apa yang tidak ia mengerti tentang coding, dan membantunya menemukan error dalam bahasa program yang ia tulis sendiri. Mathew bahkan kadang membiarkan chatbot itu melakukan coding sendiri.
"Mengobrol dengan ChatGPT seperti mengobrol dengan orang sungguhan,” kata Mathew. "Jika saya tahu ini sebelumnya, saya bisa menghemat banyak waktu dan pekerjaan,” tambahnya.
Mathew mengatakan, ChatGPT akan "merevolusi” karya ahli biologi eksperimental, karena memungkinkan para peneliti untuk fokus pada penelitian mereka, dibanding harus belajar cara membuat bahasa pemrograman.
Wessels juga tidak menampik bahwa ChatGPT dapat membantu mahasiswa di bidang lain. Menurutnya ChatGPT dapat mendorong mereka untuk menemukan kata-kata pertama dari sebuah esai yang biasanya jadi hal tersulit dalam menulis. Wessels menyebutnya sebagai "ketakutan akan halaman kosong.”
Kecerdasan Buatan Solusi bagi Cara Kerja Lebih Pintar?
08:02
Pentingnya peran manusia
ChatGPT sejatinya tidak memahami esai yang ditulisnya. Bak burung beo di kantor seorang profesor yang mendengarkan dan menirukan percakapan, chatbot AI juga hanya memproses dan menyajikan bahasa dan fakta yang telah diberikan kepadanya. Dan itu bisa menimbulkan masalah.
Jadi, seperti halnya teknologi AI lainnya, manusia tetap diharuskan meninjau dan mengoreksi tulisan yang dihasilkan oleh AI.
Para ahli yang diwawancara DW mengatakan, teknologi ini tidak akan hilang. Meski beradaptasi menggunakan ChatGPT akan menjadi tantangan dalam mengajar, keberadaannya menurut mereka bisa menjadi peluang bagi universitas untuk menjadi lebih baik dalam mendidik dan mengajar.