1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Debat Iklim Untungkan Partai Populis Kanan Jerman

Hans Pfeiffer
2 Juni 2023

Penolakan partai populis kanan Jerman, AfD, terhadap kebijakan iklim yang diusung Partai Hijau justru membuahkan dukungan elektoral dari kelompok moderat. Fenomena ini dinilai berbahaya bagi komitmen iklim di masa depan.

Demonstrasi pendukung AfD
Demonstrasi pendukung AfD melawan komitmen iklimFoto: Fabian Sommer/dpa/picture alliance

Sejak beberapa pekan terakhir Partai Alternatif untuk Jerman, AfD, giat melancarkan serangan terhadap pemerintah federal. Kebijakan Berlin mereka anggap gagal dan bahkan mengancam kemakmuran dan perdamaian di Jerman dan Eropa. Posisi setajam itu bukan tak lazim bagi AfD. Mereka misalnya menuntut perundingan damai dengan Rusia untuk mendamaikan Ukraina dan mendesak penutupan perbatasan untuk mencegah masuknya pengungsi dan pencari suaka.

Namun tidak ada topik yang lebih menguntungkan bagi partai ekstrem kanan di Jerman selain isu energi dan perubahan iklim. Insiatif pemerintah mendorong peremajaan sistem pemanas agar lebih ramah iklim dicemooh sebagai "program pemiskinan." Penolakan AfD bernilai populis, karena memboncengi kekhawatiran masyarakat soal pembengkakan biaya energi menyusul kebijakan baru pemerintah.

"Warga yang tidak mampu membeli pemanas baru, maka harus menjual rumahnya," kata Ketua Umum AfD, Alice Weidel, dalam sebuah kesempatan.

Persepsi mengalahkan realita

Dalam penolakannya terhadap kebijakan ramah iklim, AfD bahkan melampaui partai-partai populis kanan di Eropa, kata Christoph Richter dari Institut untuk Demokrasi dan Masyarakat Madani Jerman, IDZ. "Mereka meragukan dasar ilmiah terkait peran manusia terhadap perubahan iklim dan menilai kebijakan pengurangan emisi sebagai langkah pemborosan."

Menurutnya, AfD berusaha mencari dukungan dengan menolak energi terbarukan atau pembatasan emisi. Untuk itu, mereka memanfaatkan rasa takut di masyarakat. "Kami melihat tema-tema yang dikerjakan AfD kebanyakan merupakan tema, di mana kekhawatiran masyarakat terukur paling besar," kata Richer. "Sikap itu besinergi dengan kampanye anti kincir angin di sejumlah daerah."

AfD dinilai berusaha memperkuat persepsi negatif, meski tidak sesuai dengan realita. Partai itu misalnya menerbitkan jargon semisal "warga dimiskinkan," atau "mereka melenyapkan kemakmuran kita!". Muatan semacam itu digunakan AfD untuk menjalankan kampanye media sosial melawan Partai Hijau yang berkuasa.

Partai Hijau merupakan rival alami bagi AfD. Analis mencatat, pandangan kelompok pendukung kedua partai saling bersebrangan dalam berbagai isu. Dalam jajak pendapat oleh Infratest Dimap, April silam, sebanyak 76 persen pendukung Partai Hijau melihat implementasi kebijakan iklim terlalu lambat. Bagi 50 persen pendukung AfD, kebijakan iklim sebaliknya dinilai terlalu cepat dilaksanakan.

Demonisasi rival politik

Menurut Christoph Richter, penolakan partai-partai populis kanan terhadap komitmen iklim menyatukan "kepentingan yang ingin mempertahankan ketimpangan kemakmuran antara negara kaya di utara dan miskin di selatan, karena menguntungkan negara-negara Eropa."

Dalam prosesnya, AfD sejak awal membangun permusuhan dan rivalitas terhadap partai-partai lain. Setelah bekas Kanselir Angela Merkel, kini giliran Partai Hijau yang didekalarasikan sebagai musuh bersama. "Serangan agresif terhadap pegiat iklim biasanya hanya dikenal di AS pada tahun 1980an. Di sana lalu terbentuk gerakan perlawanan."

Keberhasilan partai-partai kanan mendulang suara lewat penolakan diyakini juga dimudahkan oleh kondisi partai-partai lain yang kebingungan menentukan sikap menghadapi krisis iklim.  Menurut Richter, hal ini bisa berbahaya di masa depan.

"Keberhasilan terbesar partai populis kanan berpangkal pada strategi, bahwa narasi yang mereka usung selaras dengan opini umum. Strategi ini sangat berbahaya, karena bisa merugikan partai-partai lain dan komitmen iklim."

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait