Bagaimana Minoritas Cina Bertahan Hidup di Bawah Komunisme
Hans Spross
14 Desember 2019
Pemerintah Cina menempatkan Xinjiang ke dalam fokus propaganda dengan memaksa sejuta penduduk menjalani re-edukasi ideologi negara. Nasib serupa menimpa etnis minoritas lain, meski dengan reaksi yang berbeda-beda
Iklan
Runtuhnya dinasti Qing (1644-1911) sekaligus mengakhiri era kekaisaran di Cina. Sebagian besar wilayah kedaulatan Qing lalu menjelma menjadi Republik Cina pada 1912. Namun baru ketika Republik Rakyat Cina berdiri pada 1949, tangan-tangan kekuasaan Beijing mencengkram wilayah-wilayah minoritas di barat laut dan barat daya Cina.
Serupa Indonesia yang mewarisi wilayah kekuasaan Majapahit dan dominasi etnis Jawa, suku terbesar yang menguasai peta politik di Cina adalah bangsa Han. Sementara sebanyak 55 etnis minoritas rata-rata hidup di lima daerah otonom yang baru dibentuk antara 1947 dan 1962.
Selain di Tibet dan Xinjiang, etnis minoritas di Cina kebanyakan bisa ditemui hidup di daerah-daerah otonom di kawasan perbatasan Myanmar, Laos dan Vietnam. Di sana hidup bangsa Miao dengan populasi 10 juta orang, Yi atau Nuosu yang berjumlah 8,7 juta dan Tujia yang tercatat 8,3 juta orang.
Namun status otonomi di Cina berbeda dengan Indonesia. Dalam tulisan ilmiahnya pada 2008 silam, Pakar Sinologi Jerman Thomas Heberer mencatat "betapa status otonom yang tertanam di dalam konstitusi tidak memberikan instrumen politik atau hukum untuk mengimplementasikan hak-hak daerah."
Menurutnya etnis-etnis minoritas tidak memiliki kewenangan dalam beberapa isu, antara lain migrasi bangsa Han, industrialisasi atau perlindungan sumber daya alam. Namun jika kebanyakan etnis minoritas sudah berasimilasi, bangsa Tibet dan Uighur bersikeras mempertahankan kebudayaan dan tradisi sendiri.
Uighur - Diskriminasi di Cina dan Terdesak di Turki
Akibat banyaknya tekanan dari Cina sebagian warga Uighur pindah ke Turki. Awalnya itu tampak seperti solusi bagus, tetapi kini mereka terdesak karena tidak mendapat izin tinggal dan tidak dapat memperbarui paspor Cina.
Foto: Reuters/M. Sezer
Kritik terhadap Cina
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta warga Uighur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam. Foto: aksi protes terhadap Cina di halaman mesjid Fatih di Istanbul.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan ekonomi
Pada foto nampak seorang perempuan menikmati santapan yang dihidangkan restoran Uighur di Istanbul, Turki. Pemilik restoran, Mohammed Siddiq mengatakan, restorannya mengalami kesulitan karena warga Uighur biasanya menyantap makanan di rumah sendiri, dan warga Turki tidak tertarik dengan masakan Uighur.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Suara perempuan Uighur
Gulbhar Jelilova adalah aktivis HAM dari Kazakhstan, dari etnis Uighur. Ia sempat ditahan selama 15 bulan di tempat penahanan yang disebut Cina sebagai "pusat pelatihan kejuruan." Ia mengatakan, setelah mendapat kebebasan ia mendedikasikan diri untuk menjadi suara perempuan Uighur yang menderita.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mencari nafkah di Turki
Dua pria Uighur tampak bekerja di toko halal di distrik Zeytinburnu, di mana sebagian besar warga Turki di pengasingan bekerja. Ismail Cengiz, sekjen dan pendiri East Turkestan National Center yang berbasis di Istanbul mengatakan, sekitar 35.000 warga Uighur tinggal di Turki, yang sejak 1960 menjadi "tempat berlabuh" yang aman bagi mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Merindukan kampung halaman
Gulgine Idris, bekerja sebagai ahli rpijat efleksi di Istanbul. Ketika masih di Xinjiang, Cina, ia bekerja sebagai ahli ginekolog. Kini di tempat prakteknya ia mengobati pasien perempuan dengan pengetahuan obat-obatan dari Timur. Turki adalah negara muslim yang teratur menyatakan kekhawatiran tentang situasi di Xinjiang. Bahasa yang digunakan suku Uighur berasal usul sama seperti bahasa Turki.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan bertambah sejak beberapa tahun lalu
Sexit Tumturk, ketua organisasi HAM National Assembly of East Turkestan, katakan, warga Uighur tidak hadapi masalah di Turki hingga 3 atau 4 tahun lalu. Tapi Turki pererat hubungan dengan Cina, dan khawatir soal keamanan. Pandangan terhadap Uighur juga berubah setelah sebagian ikut perang lawan Presiden Suriah Bashar al Assad, yang berhubungan erat dengan Cina.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Kehilangan orang tua
Anak laki-laki Uighur yang kehilangan setidaknya salah satu orang tua mengangkat tangan mereka saat ditanya dalam pelajaran agama di madrasah di Kayseri. Sekolah itu menampung 34 anak. Kayseri telah menerima warga Uighur sejak 1960-an, dan jadi tempat populasi kedua terbesar Uighur di Turki. Sejak keikutsertaan warga Uighur dalam perang lawan Assad, Cina memperkeras tekanan terhadap mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mengharapkan perhatian lebih besar
Sebagian warga Uighur di Turki berharap pemerintah Turki lebih perhatikan kesulitan mereka, dan memberikan izin bekerja, juga sokongan dari sistem asuransi kesehatan. Foto: seorang anak perempuan menulis: "Kami, anak Turkestan, mencintai kampung halaman kami" dengan bahasa Uighur, di sebuah TK di Zeytinburnu. Warga Uighur di pengasingan menyebut kota Xinjiang sebagai Turkestan Timur.
Foto: Reuters/M. Sezer
Situasi terjepit
Warga Uighur juga tidak bisa memperbarui paspor mereka di kedutaan Cina di Turki. Jika kadaluarsa mereka hanya akan mendapat dokumen yang mengizinkan mereka kembali ke Cina, kata Munevver Ozuygur, kepala East Turkestan Nuzugum Culture and Family Foundation. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp)
Foto: Reuters/M. Sezer
9 foto1 | 9
Hal ini dianggap duri dalam daging oleh Partai Komunis Cina. Pada Maret 1989, aksi demonstrasi massal di Lhasa mendorong pemerintah memberlakukan darurat militer. Pada 2008 seantero Tibet dilanda kerusuhan. Berulangkali warga melakukan aksi bakar diri, seperti yang marak terjadi pada 2013.
Untuk melindungi kekuasaan atas wilayah otonom, Beijing melancarkan program transmigrasi yang mendorong bangsa Han untuk secara ramai-ramai pindah ke daerah-daerah terpencil tersebut. Namun program tersebut memicu konflik sosial.
Gelombang kedatangan etnis Han ke Xinjiang misalnya mempertajam gesekan di antara kedua etnis. Jika pada 1949 hanya empat persen warga Xinjiang berasal dari etnis Han, saat ini jumlahnya mencapai 40%. Bangsa Uighur yang mencatat 46% populasi masih mewakili mayoritas penduduk di Xinjiang. Namun jika laju migrasi bangsa Han berlanjut, status tersebut tidak lama lagi akan bergeser.
Pada dekade 1930 dan 40an, bangsa Uighur menggandeng Uni Soviet untuk membentuk negara sendiri dengan nama "Republik Turkestan Timur." Namun oleh penguasa Moskow, gerakan separatisme Uighur dijadikan bola politik demi kepentingan Soviet di Cina.
Meski demikian identitas kolektif yang ikut menguat oleh berdirinya negara republik di Xinjiang masih diemban oleh etnis Uighur hingga kini. Sebab itu bagi Beijing, prioritas utama di kawasan otonomi itu adalah meredam semangat kemerdekaan masyarakat setempat.
Kebijakan ini semakin menjadi fokus saat pemerintah Cina melancarkan proyek raksasa jalur sutra abad 21 di Asia Tengah. "Bagi Cina sangat penting bahwa situasi politik di Xinjiang tetap stabil, agar proyek ini bisa dikerjakan," kata Basil Zimmermann, Direktur Institut Konfusius di Jenewa, kepada harian Tagesanzeiger belum lama ini.
Sejak 1990an gairah separatisme di Xinjiang menjelma menjadi aksi terorisme berupa serangan bom atau senjata tajam terhadap warga Han. Salah satu organisasi yang paling giat menggalang teror adalah Partai Islam Turkestan yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, lalu ISIS.
Namun operasi militer Cina di Xinjiang memaksa grup ini membisu sejak 2017.
Ketakutan besar Beijing pula yang mendorong pemerintah melancarkan perang budaya terhadap bangsa Uighur. Lebih dari sejuta orang dipaksa mendekam di kamp re-edukasi, di mana mereka diwajibkan menggunakan bahasa Mandarin dan mempelajari pidato Xi Jinping.
"Tidak ada fakta yang mendukung ide memenjarakan orang untuk melucuti budayanya dan memaksakan budaya asing. Tapi sebagian kader pemerintahan Komunis justru melihat ini sebagai cara terbaik untuk menanggulangi masalah di Xinjiang," kata Basil Zimmermann.
70 Tahun Republik Rakyat Cina
Dari perang dan revolusi sampai Olimpiade dan pendaratan di bulan, Republik Rakyat Cina telah mengalami perubahan dramatis. Inilah beberapa peristiwa penting yang menentukan sejarah bangsa dan negara Cina.
Foto: Reuters/T. Peter
Mao Zedong, Sang Bapak Bangsa
Mao Zedong muncul di Tiananmen dan mengumumkan pendirian Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Oktober 1949. Deklarasi itu menyusul berakhirnya perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun antara para panglima perang yang berlomba-lomba mengambil kendali setelah jatuhnya dinasti Qing. Rakyat Cina merindukan persatuan dan perdamaian yang dijanjikan Mao Zedong.
Foto: picture-alliance/KPA/United Archives
Ketika warga Tibet berdiri menentang kekuasaan Cina
Tahun 1959, di Lhasa, ibukota Tibet, terjadi aksi menentang Partai Komunis dan kekuasaan Cina, yang ditindas pemerintah pusat di Beijing dengan pengerahan dan kekerasan militer. Pemimpin politik dan spiritual Tibet, Dalai Lama ke-14, melarikan diri ke India. Tibet hingga kini berada di bawah kendali Beijing, namun banyak warga Tibet yang tetap setia pada pemimpin spiritualnya, Dalai Lama.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Mahasiswa pimpin "Revolusi Kebudayaan" yang brutal
Tahun 1966 Mao Zedong mencanangkan periode "Revolusi Kebudayaan" yang dimaksudkan untuk merevitalisasi proyek sosialis. Agenda tersebut dijalankan oleh para siswa dan kelompok milisi "Garda Merah" yang menyerang orang-orang yang dianggap punya pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Partai Komunis. Banyak penulis, intelektual dan akademisi yang terbunuh selama periode itu.
Foto: picture-alliance/dpa/DB UPI
Penggagas reformasi: Deng Xiaoping
Mao Zedong mendirikan negara RRC, namun yang membawa negara itu memasuki era modern adalah sang reformator Deng Xiaoping. Dia merombak sistem ekonomi, menggiatkan kegiatan ekonomi swasta dan menggalakkan produk ekspor. Deng Xiaoping berhasil mengelola transisi Cina dari negara komunis menjadi sebuah ekonomi pasar yang terkendali, langkah awal Cina merambah pasaran dunia.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lim
Memasuki era baru
Beijing mengalami ledakan pembangunan ketika mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. Stadion nasionalnya, yang dikenal sebagai Sarang Burung, dan Pusat Renang Nasional, yang dijuluki "Water Cube" adalah ikon Beijing era baru.
Foto: picture-alliance/Xinhua/L. Hongguang
Jalur Sutra Baru menghubungkan Eropa, Asia dan Afrika
Proyek ambisius Jalur Sutra Baru adalah proyek infrastruktur lintas benua yang mencakup Asia, Eropa, dan Afrika. Proyek Xi Jinping dimulai tahun 2013. Banyak pihak menyambut proyek ini sebagai pengisi kesenjangan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan. Pihak lain khawatir tentang pengaruh dan dominasi Cina yang makin luas.
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina/D. Gang
Mendarat di bulan
Januari 2019, media Cina melaporkan pendaratan wahana Chang'e-4 di kutub selatan bulan. Prestasi ini menandai satu tonggak penting lagi dalam ambisi Cina menantang dominasi ruang angkasa AS dan Rusia. Cina berharap akan menjadi kekuatan ruang angkasa utama pada tahun 2030. hp/na (dw)
Foto: Getty Images/AFP/CNSA
7 foto1 | 7
Namun menurut pakar Sinologi Jerman, Adrian Zenz, yang ikut mengungkap praktik keji Beijing di Xinjiang, Cina memiliki motivasi lain. "Partai Komunis tidak hanya ingin menjalankan kekuasannya, tetapi juga mengembangkan manusia baru sesuai ideologi partai," tulisnya di dalam kolom sebuah surat kabar Jerman.
"Rasa lapar warga terhadap arti kehidupan dan kepuasan batin hanya bisa dipuaskan dengan memaksakan sebuah ideologi. Jika metode propaganda normal tidak lagi mencukupi, yang tersisa hanya re-edukasi," tulisnya lagi.
Sinofikasi agama Islam terutama dirasakan oleh bangsa Hui yang mencatat 10,5 juta penduduk dan hidup tersebar di seluruh negeri. Namun di provinsi asalnya, Ningxia, pemerintah mulai merenovasi sebanyak 4.000 masjid agar menyesuaikan dengan tradisi arsitektur Cina.
Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh etnis Hui dibubarkan pemerintah. Para imam dan guru agama setiap bulan diwajibkan mengikuti pendidikan ideologi negara dan kebijakan minoritas Partai Komunis.
Etnis Hui sendiri paham untuk tidak memprovokasi pemerintah. Untuk merawat tradisi, mereka menutup tulisan-tulisan Arab pada tembok masjid atau sekolah dengan plastik. Kubah masjid yang juga dibidik pemerintah tidak dirobohkan, melainkan ditutup pagar kayu agar tidak terlihat.
Dalam laporan media Jerman NPR, sejumlah warga Hui bersikap santai terhadap aksi tegas pemerintah. "Siapa tahu peta politik suatu saat akan berubah? Kami tidak ingin merobohkan kubah kami hari ini, hanya untuk membangunnya kembali setelah beberapa tahun dengan biaya sendiri."
rzn/yp
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)