1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Indonesia Membangun Ekonomi Berbasis Inovasi

Rizki Akbar Putra
19 Agustus 2020

Meristek RI Bambang Brodjonegoro, mengatakan Indonesia mempunyai peluang besar untuk mewujudkan ekonomi berbasis inovasi. Namun, indeks inovasi Indonesia dinilai masih rendah dan berada di peringkat kedua terbawah ASEAN.

Salah satu peneliti LIPI
Foto: Imago Images/Zuma/Sopa Images

Indonesia dinilai mempunya peluang yang sangat besar untuk mewujudkan ekonomi berbasis inovasi. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunya segudang potensi sumber daya alam yang dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan teknologi dan inovasi. Indonesia merupakan negara nomor satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dan nomor dua penghasil karet dan timah terbesar di dunia. Belum lagi potensi perairan yang dinialai dapat dimanfaatkan untuk bioteknologi dan energi terbarukan.

Hal di atas disampaikan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam sebuah webinar yang disiarkan saluran Youtube Kemenristek/BRIN, Selasa (18/08) siang. “Kita sudah punya modal untuk menjadi negara maju,“ ujar Bambang.

Menteri Riset dan Teknologi Bambang BrodjonegoroFoto: Ministry of Reseach and Technology Indonesia

Namun, menurut Bambang ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam mewujudkan ekonomi berbasis inovasi, salah satunya dengan menambah jumlah pekerja terampil yang saat ini masih berjumlah 55 juta jiwa dan memanfaatkan seluas-luasnya peluang pasar di bidang jasa, pertanian, perikanan, sumber daya, dan pendidikan. Bambang pun mencontohkan negara-negara di Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina.

“Mereka jauh dari kekayaan sumber daya alam. Mau kekayaan sumber daya alam di darat, di laut, tambang, pertanian, praktis mereka jauh di bawah Indonesia. Tetapi mereka mengakali keterbatasan mereka ini dengan ilmu pengetahuan teknologi yang kemudian diarahkan menjadi sesuatu yang inovatif bagi perekonomiannya, ” terang Bambang.

Transformasi digital

Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) periode 2014-2019 ini mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus mulai beradaptasi dengan transformasi digital saat ini. Musababnya, inovasi masa depan dinilai sangat bergantung pada teknologi digital.

“Dari IoT (Internet of Things), keamanan siber, big data, cloud computing, kemudian mobile technology, fintech, pemasaran digital, mekatronika, bisnis online. Jadi intinya belajar robot bukan sesuatu yang aneh di masa depan, barangkali malah bikin robot sudah menjadi kewajiban,“ katanya.

Meski begitu, ia mengaku bahwa transformasi digital dibayang-bayangi dengan ancaman meningkatnya pengangguran karena peran manusia yang bisa digantikan oleh kemajuan teknologi. Ia pun mengimbau agar generasi muda terus meningkatkan kemampuana demi agar bisa bersaing di dunia industri masa depan.

“Itu dua topik yang akan selalu sensitif dari sekarang sampai masa depan.“

Bambang pun mengatakan bahwa daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan Data Global innovation Index (GII) 2019, indeks daya saing global Indonesia berada di peringkat 50. Hal ini dipengaruhi karena rendahnya indeks inovasi global Indonesia. Dari 129 negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat 85 dunia, bahkan terendah kedua di level ASEAN, di atas Kamboja.

“Tentunya inovasi tidak hanya sekadar di bidang iptek, karena ini akan mencakup kelebagaan, SDM-nya, dan juga proses bisnis,” ujar menteri berusia 53 tahun ini.

Potensi ekonomi digital Indonesia

Senada dengan Bambang, dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Pelaksana Dewan teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas), Ilham Akbar habibie, mengatakan tren teknologi globa dewasa ini didominasi oleh teknologi infomasi dan komunikasi (TIK), antara lain kecerdasan artifisial, jaringan 5G, dan automatisasi. Menurutnya, tren ini sangat berpengaruh terhadap generasi muda di Indonesia sekarang ini.

“Waktu dia lahir sudah langsung dibisaakan dari kecil sekali dan itu bagus, untuk menggunakan (TIK) paling tidak sebagai konsumen dan diharapkan suatu saat mereka sudah melalui proses belajarnya dan sudah lewat kuliah, sudah bekerja, bisa menerapkan ini sebagai produsen,” tutur Ilham.

Ilham menjelaskan dalam empat tahun terakhir, ekonomi digital Indonesia meingkat pesat dari yang tadinya hanya 8 miliar dolar menjadi 40 miliar dolar. Hal ini diyakini akan berdampak kepada nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia. “Sampai tahun 2025 diperkirakan market size dari internet economy itu adalah 133 miliar dolar di Indonesia,” papar putra Presiden RI ke-3 BJ Habibie ini.

“Kita memang harus mau tidak mau beralih dari ekonomi yang berdasarkan sumber daya yang kita miliki, itu sumber daya alam, juga sumber daya manusia yang di sini terutama dilihat sebagai konsumen,” ia menambahkan.

Inovasi terbuka

Ketua Dewan The Habibie Centre ini berpendapat bahwa saat ini Indonesia harus mulai merubah konsep terkait pengembangan inovasi, dari inovasi tertutup menuju inovasi terbuka. Menurutnya, Indonesia bisa mengundang pihak ketiga untuk turut berpartisipasi mengembangkan inovasi di Tanah Air.

Orang yang sama sekali tidak kita kenal kadang-kadang, jadi dari luar negeri. Di situ memang ada selalu ketakutan kalau kita membuka diri terhadap inovasi nanti mereka mencuri kita punya ide bagus,“ terang Ilham.

“Yang penting implementasinya siapa yang paling cepat bisa membuat sesuatu yang nyata, dalam hal itu, itu susah ditiru. Kalau untuk meniru ide itu gampang, tapi untuk melakukannya sendiri itu susah sekali,” lanjutnya.

Ilham pun menyerukan agar pemerintah juga turut menampung segala riset dan penelitian yang diajukan masyarakat umum dalam mengatasi isu-isu yang ada. Selain peneliti, masyarakat umum diyakini dapat membantu melahirkan inovasi-inovasi baru di dalam negeri.

“Budaya kita memang sangat kolaboratif, mestinya Indonesia itu termasuk yang maju sekali dalam citizen research and development,” pungkas Ilham. (rap/vlz)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait