Citarum yang dianggap sumber kehidupan buat 30 juta warga di Jawa Barat dan DKI Jakarta justru menjadi petaka kesehatan buat penduduk sekitar. Seberapa serius pemerintah ingin membenahi sungai paling kotor di Bumi itu?
Iklan
Penyakit kudis yang menghinggapi kaki Yusuf Supriyadi menjadi pengingat tentang harga yang harus dibayar untuk tinggal di tepi "sungai paling kotor di dunia." Sebagaimana ribuan petani lain, dia mengandalkan air sungai Citarum untuk mengairi sawah miliknya. Air yang kotor dan berbau itu adalah jaminan kehidupan buat Yusuf dan empat orang anaknya.
Sawah di bantaran Citarum sering terendam di musim hujan, terlebih ketika pabrik-pabrik tekstil semakin sering membuang limbah di sungai. "Tangan saya gatal-gatal dan hasil panen juga rusak," kata pria berusia 54 tahun tersebut kepada AFP. "Polusi membuat beras saya jelek. Jika saya tetap bertani, saya akan merugi. Tapi jika tidak, saya tidak punya pekerjaan lain," imbuhnya.
Nasib muram serupa milik Yusuf Supriyadi menjadi acuan ketika pemerinah mencanangkan program pemurnian hingga 2025. Citarum yang membentang sepanjang 300 kilometer adalah sumber kehidupan buat sekitar 30 juta penduduk, termasuk 80% penduduk Jakarta.
Baca:
Metamorfosis Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung adalah nadi kehidupan sejak era Tarumanegara hingga Jakarta. Setelah dijadikan lubang sampah ibukota, sungai bersejarah itu mulai berubah. Kini Ciliwung menjadi ladang perseteruan demi identitas kota
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nadi Peradaban
Tanpa Ciliwung Jakarta mungkin tidak pernah ada. Sungai sepanjang 120 kilometer itu ikut melahirkan peradaban awal berupa Kerajaan Tarumanegara. Kesultanan Banten, pemerintahan kolonial Portugal dan Belanda menggunakan Ciliwung sebagai jalur transportasi utama dan sumber air minum. Namun sejarah panjang sungai tersebut kini nyaris dilupakan.
Foto: public domain
Pelarian Kaum Terbuang
Sejak 40 tahun terakhir wajah bantaran Ciliwung dipenuhi pemukiman kumuh buat kaum terpinggirkan. Ketiadaan ruang hidup yang terjangkau memaksa mereka menempati lahan milik negara tersebut. Buruknya perencanaan tata kota dan infrastruktur untuk mendukung pemukiman penduduk membuat Ciliwung menjadi daerah kotor dan berpolusi.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polusi demi Uang
Namun begitu penduduk bukan satu-satunya sumber polusi Ciliwung. Studi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama empat tahun yang dipublikasikan 2014 silam menyebut 17 perusahaan rajin membuang limbahnya di sungai tersebut. Pada 2011 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Jakarta telah memperingatkan, air resapan tanah di Ciliwung telah terkontaminasi bakteri E Coli lebih dari 90 persen.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Proyek Masa Depan
Bahkan sejak 1995 perusahaan air minum Jakarta, PT Palyja dan PT Aetra, tidak lagi mengambil air dari Ciliwung, melainkan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Seharusnya harga air buat sekitar 5 juta konsumen di Jakarta bisa berkurang drastis jika kejernihan air Ciliwung bisa dikembalikan. Dengan kebutuhan air yang kian melonjak, normalisasi Ciliwung menjadi proyek masa depan yang tak bisa diabaikan
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polemik di Bantaran Sungai
Rencana itu kemudian dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2012. Normalisasi Ciliwung melibatkan pelebaran bibir sungai hingga mencapai 50 meter, seperti pada era kolonial Belanda. Namun hal tersebut berarti menggusur penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Ujung-ujungnya proyek pemprov DKI itu mengundang polemik dan kritik karena dianggap mengorbankan penduduk miskin.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang Identitas Kota
Arus balik animo publik berkutat pada masalah penggusuran. Sejumlah aktivis menilai normalisasi Ciliwung mengebiri identitas kota dan mengubur predikat Jakarta yang inklusif buat semua. Membangun tanpa menggusur menjadi moto yang dirapal oleh sebagian pakar tata kota. Pemerintah Provinsi sebaliknya terkesan ingin mempercepat normalisasi karena khawatir kehilangan momentum politik jelang Pilkada
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Penggusuran atau Relokasi?
Penggusuran sebagai bagian dari normalisasi sungai adalah ganjalan terbesar. Menurut Pemprov DKI, sebanyak 75.000 keluarga harus direlokasi untuk membebaskan bantaran sungai dari pemukiman kumuh. Kondisi tersebut menambah rumit masalah Ciliwung. Tidak heran jika rencana awal menyebut proyek normalisasi akan memakan waktu hingga 20 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Jernih Sungai Ciliwung
Perlahan wajah Ciliwung mulai berubah. Sungai yang dulunya dipenuhi sampah dan berbau busuk, kini bersih dan terkesan asri. Pemerintah dan penduduk berharap normalisasi bisa menghadang banjir yang tiap tahun menggenangi bantaran sungai. Namun proyek raksasa ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Prahara yang menyertai penggusuran pun akan terus berlanjut selama belum ada model pendekatan lain
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
Januari silam pemerintah pusat mengambilalih wewenang atas Citarum dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. "Kami tidak main-main," kata Djoko Hartoyo, Kepala Biro Umum Kementeriaan Koordinator Kemaritiman. "Kami akan melakukan pendekatan holistik. Jadi kami yakin sekali akan mampu membuat Citarum bersih lagi seperti 50 atau 60 tahun yang lalu."
Petaka buat Citarum dimulai ketika pemerintahan Orde Baru membangun kawasan industri di Majalaya. Hingga kini sekitar 2000 pabrik tekstil menyediakan lapangan kerja buat warga sekitar. Namun buruknya manajemen limbah menciptakan masalah lingkungan. Menurut data pemerintah, setiap hari pabrik-pabrik di Majalaya membuang 280 ton limbah cair ke sungai.
"Sebagian besar pabrik sebenarnya punya sistem pengolahan limbah. Tapi tidak digunakan dengan maksimal karena cuma formalitas saja," kata aktivis lingkungan Deni Riswandani.
Masalah lingkungan di Citarum kembali marak dibahas akhir tahun silam setelah dua pembuat film dokumenter asal Perancis mengarungi sungai dengan kapal yang terbuat dari botol plastik. Karya Gary Bencheghib dan Sam Bencheghib yang viral itu akhirnya mencuri perhatian Istana Negara. Presiden Joko Widodo lalu mengundang keduanya dan berjanji akan membersihkan Citarum dalam waktu tujuh tahun.
Sampah Plastik Mencemari Sungai dan Lautan
Sebagian besar sampah plastik yang mencemari sungai akhirnya bermuara di lautan. Inilah sungai besar di Asia dan Afrika yang paling banyak membawa sampah plastik.
Foto: Imago/Xinhua/Guo Chen
1. Sungai Yangtze
Yangtze adalah sungai terpanjang di Asia dan terpanjang ketiga di dunia. Sungai ini menduduki peringkat puncak sebagai pembawa limbah plastik ke lautan. Yangtze mengalir ke Laut Cina Timur dekat Shanghai dan sangat penting bagi ekonomi dan ekologi Cina. Tepian sungai merupakan rumah bagi 480 juta orang - sepertiga penduduk Cina.
Foto: Imago/VCG
2. Sungai Indus
Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz Centre for Environmental Research menemukan bahwa 90 persen plastik yang mengalir ke lautan dapat ditelusuri ke 10 sungai besar. Sungai Indus menempati urutan kedua dalam daftar itu. Sungai ini mengalir melalui sebagian India dan Pakistan ke Laut Arab. Karena kurangnya struktur pengolahan limbah, banyak plastik memasuki sungai ini.
Foto: Asif Hassan/AFP/Getty Images
3. Sungai Kuning
Plastik di sungai bisa masuk ke dalam rantai makanan karena ikan dan hewan laut dan air tawar menelannya. Sungai Kuning, yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peradaban Cina, berada di urutan ketiga dalam daftar pembawa limbah plastik. Polusi telah membuat sebagian besar air sungai tidak bisa diminum. Sekitar 30 persen spesies ikannya diyakini telah punah juga.
Foto: Teh Eng Koon/AFP/Getty Images
4. Sungai Hai
Sungai lainya di Cina menduduki peringkat 4, yaitu sungai Hai. Sungai ini menghubungkan dua wilayah metropolitan terpadat: Tianjin dan Beijing, sebelum mengalir ke Laut Bohai, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. 10 sistem sungai memiliki ciri khas, kata penelitian tersebut.
Foto: Imago/Zumapress/Feng Jun
5. Sungai Nil
Dianggap sebagai sungai terpanjang di dunia, Sungai Nil mengalir melalui 11 negara sebelum memasuki Laut Tengah di Mesir. Sekitar 360 juta orang tinggal di daerah aliran sungai. Airnya mendukung pertanian - kegiatan ekonomi utama di kawasan ini. Sungai Nil berada di peringkat 5 daftar sungai yang terbanyak membawa sampah plastik. Setiap tahun, sekitar 8 juta ton limbah plastik dibuang ke sungai.
Foto: Imago/Zumapress
6. Sungai Gangga
Sungai Gangga merupakan pusat kehidupan spiritual India dan menyediakan air bagi lebih dari setengah miliar orang. Limbah pertanian dan industri telah menjadikannya salah satu sungai paling tercemar di dunia. Dalam hal sampah plastik, Gangga berada di peringkat 6. Para ahli mengatakan, kita harus menghasilkan lebih sedikit sampah dan menghentikan polusi pada sumbernya.
Foto: Getty Images/AFP/S. Kanojia
7. Sungai Mutiara (Pearl River )
Para pekerja membersihkan limbah yang terapung di Sungai Mutiara di Cina yang bermuara di Laut Cina Selatan antara Hong Kong dan Makau. Limbah buangan dan limbah industri di sungai ini makin banyak, seiring dengan laju ekspansi kota yang luar biasa. Sejak akhir 1970-an, kawasan delta sungai telah berubah dari daerah pertanian dan pedesaan menjadi salah satu daerah perkotaan terbesar dunia.
Foto: Getty Images/AFP/Goh Chai Hin
8. Sungai Amur (Heilong)
Air sungai makin kotor ketika menyentuh daerah perkotaan dan industri. Namun, menurut penelitian terbaru, limbah plastik bahkan ditemukan di lokasi terpencil. Sungai Amur mengalir dari daerah perbukitan di Cina timur laut dan membentuk sebagian besar perbatasan antara provinsi Heilongjiang (Cina) dan Siberia (Rusia) sebelum menuju ke Laut Okhotsk.
Foto: picture-alliance/Zumapress/Chu Fuchao
9. Sungai Niger
Niger adalah sungai utama Afrika Barat, yang menghidupi lebih dari 100 juta orang dan salah satu ekosistem paling rimbun di planet ini. Sungai ini mengalir melalui lima negara sebelum bermuara di Samudera Atlantik di Nigeria. Selain polusi plastik, konstruksi bendungan yang luas mempengaruhi ketersediaan air. Tumpahan minyak yang sering terjadi di Delta Niger juga menyebabkan air terkontaminasi.
Foto: Getty Images
10. Sungai Mekong
Pembangunan bendungan juga memiliki dampak ekologi dan sosial, terutama di sungai Mekong. Sekitar 20 juta orang tinggal di Delta Mekong. Banyak yang bergantung pada perikanan dan pertanian untuk bertahan hidup. Sungai ini mengalir melalui enam negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Laos. Sungai Mekong menduduki peringkat 10 dalam daftar sungai yang paling tercemar limbah plastik.