Dengan reformasi UU keimigrasian, Jerman ingin mempercepat penerimaan warga negara baru dan mengejar ketertinggalan di Uni Eropa. Kebijakan baru ini terutama menguntungkan warga keturunan Turki atau pengungsi Suriah
Iklan
Di Jerman, calon warga negara biasanya harus menjawab sebuah tes dengan 33 pertanyaan seputar "demokrasi", "sejarah dan tanggung jawab" di Jerman, atau "manusia dan masyarakat." Pengujian tersebut hanya satu dari banyaknya rintangan menuju kewarganegaraan Jerman. Kini, pemerintah ingin mempermudah proses tersebut sebagai bagian dari dorongan mereformasi UU Keimigrasian.
Selama ini, kewarganegaraan hanya diberikan kepada individu yang hidup setidaknya selama delapan tahun di Jerman, berbahasa Jerman, memiliki pekerjaan dan status izin tinggal tidak terbatas. Calon warga negara tidak boleh punya catatan kriminal dan harus mengucap sumpah setia kepada demokrasi.
Menurut pemerintah, saat ini sekitar lima juta orang hidup di Jerman sejak lebih dari sepuluh tahun dengan izin tinggal permanen. Kelompok ini adalah yang diprioritaskan untuk mendapat paspor Jerman.
Tahun lalu, Jerman mendapatkan 131.595 warga negara baru. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah tersebut mencatatkan kenaikan sebesar 20 persen. Lonjakan permohonan warga negara didorong oleh pengungsi Suriah. Kebanyakan warga negara baru merupakan pengungsi yang tiba antara 2014 hingga 2016 dan memenuhi semua kriteria.
Kehidupan Baru Pengungsi Afganistan di Kentucky, AS
Setelah pengungsian yang melelahkan dari Kabul ke Qatar dan ke pangkalan militer AS, keluarga Afganistan ini akhirnya tiba di kota kecil Bowling Green, negara bagian Kentucky, yang bersedia menerima pengungsi.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Dari Kabul ke Kentucky
Keluarga Zadran dengan enam anak melarikan diri dari Kabul, sekarang tinggal di kota kecil Bowling Green, setelah menunggu cukup lama di pangkalan militer New Mexico. Dengan bantuan badan pemukiman kembali lokal, mereka sekarang tinggal di sebuah rumah dan anak-anaknya bisa bersekolah.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Kepala suku yang jadi pengungsi
Wazir Khan Zadran, 41 tahun, adalah seorang pemimpin suku yang berperang melawan jaringan Haqqani, yang termasuk dalam jaringan Taliban. Dia mengatakan, Amerika menyelamatkan dia dan keluarganya, termasuk anaknya Zuleikha Zadran, dengan menjemput mereka dengan helikopter Chinook pada Agustus 2021 dan membawa mereka ke bandara Kabul.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Kota kecil yang menyambut pengungsi
Keluarga Zadran disambut di Bowling Green, Kentucky, yang sudah sering menerima gelombang pengungsi sejak 40 tahun lalu. Pengungsi Kamboja datang pada 1980-an, pengungsi dari Bosnia tiba pada 1990-an. Selain itu, ada juga pengungsi dari Irak, Myanmar, Rwanda, dan Kongo. Kota berpenduduk 72.000 jiwa ini berkembang secara ekonomi dengan populasinya yang beragam.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Bantuan dari masyarakat setempat
"Kami sangat senang di Bowling Green," kata Zadran, yang mendapat rumah bantuan badan pemukiman kembali lokal, International Center of Kentucky, didirikan pada 1981. "Masyarakat setempat membantu kami dan memperkenalkan budaya baru kepada kami." Keenam anaknya senang belajar lagu dalam bahasa Inggris dan meminjam buku dari perpustakaan.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Anak-anak cepat beradaptasi
Tiga dari enam anak keluarga Zadran: Sanaullah Khan, 6, (berpakaian seperti Superman), Zahra, 4 (kiri), dan Samiullah Khan, 13 (kanan). Dari hampir 75.000 pengungsi Afganistan yang diperkirakan akan menetap di Bowling Green mengharapkan untuk menerima 350 orang pada tahun 2022.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Hidup aman tanpa perang
Keluarga Zadran sekarang hidup dengan aman dan beruntung tinggal di rumah dengan halaman di kota yang ramah. Ada banyak pekerjaan untuk penghuni baru Bowling Green. Di sini ada pusat pertanian dan manufaktur terkenal yang melayani perakitan mobil-mobil mewah.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Bebas menjalankan agamanya
Di Bowling Green, keluarga Zadran bisa menjalankan agamanya dalam suasana bebas dan bisa menjadi penduduk Amerika tanpa harus menghilangkan identitas budayanya.
Foto: Amira Karaoud/Reuters
Belajar budaya baru
Di rumah Zadran, anak-anak membuat kemajuan pesat dengan bahasa yang baru. Yang tertua, Zuleikha, mengajari saudara-saudaranya sebuah lagu dalam bahasa Inggris dengan lirik "Apa yang kamu syukuri?" Saat mereka memuji penampilan mereka sendiri, Zuleikha menyatakan "Cukup!" dan tersenyum lebar. (hp/ha)
Foto: Amira Karaoud/Reuters
8 foto1 | 8
Mengurai kerumitan birokrasi
Melalui reformasi, pemerintah ingin mempercepat proses penerimaan kewarganegaraan yang dikeluhkan berjalan lambat dan tidak efisien. "Siapapun yang hidup dan bekerja di sini untuk jangka waktu lama, dia seharusnya juga bisa memilih atau dipilih dalam pemilu, dia bisa menjadi bagian dari negara ini, dengan semua hak dan kewajibannya," kata Kanselir Jerman, Olaf Scholz, akhir November lalu.
Iklan
Menurut Menteri Dalam Negeri, Nancy Faeser, UU Keimigrasian yang baru akan mempercepat syarat masa tinggal di Jerman dari delapan menjadi lima tahun. "Siapapun yang terintegrasi dengan baik, bisa memangkas waktunya menjadi hanya tiga tahun."
Selain itu pemerintah juga menawarkan kemungkinan memiliki kewarganegaraan ganda. Mereka yang menerima warga negara Jerman nantinya tidak lagi perlu mengembalikan paspor dari negara asal. Hal ini bersifat krusial bagi keturunan pendatang Turki yang berjumlah besar.
Dewan Migrasi dan Integrasi Jerman bahkan memprediksi "dasawarsa penerimaan warga negara baru," kata Prof. Petra Bendel yang mengepalai dewan tersebut. "Jika dinamika yang ada saat ini terus berlanjut, maka jumlahnya akan melebihi 157.000 warga negara baru," kata dia kepada DW.
Hal ini harus direspons dengan sesuai oleh pemerintah, antara lain "dengan menambah kapasitas di kantor-kantor imigrasi."
Kehidupan dan Sejarah Imigran di Jerman
Jerman adalah negara yang jadi tujuan imigran kedua terbesar setelah AS. Selama 60 tahun Jerman sudah menerima imigran. Sekarang sebuah pameran menengok kembali sejarah ini.
Foto: DW/J. Hennig
Nomor Dua di Dunia
Tahun 2013, sekitar 1,2 juta orang berimigrasi ke Jerman. Jerman, baik Barat dan Timur, sudah mengiklankan diri sebagai negara tujuan pekerja tamu sejak 1950-an. Sekarang, imigran terutama berasal dari negara-negara yang baru jadi anggota Uni Eropa. Mereka memperkaya kebudayaan dan keanekaragaman kuliner di Jerman.
Foto: DW/J. Hennig
Para "Gastarbeiter" (Pekerja Tamu)
Di tahun 1950-an Jerman Barat mengalami kemajuan ekonomi. Untuk mengatasi situasi kurangnya pekerja, pemerintah mempromosikan kemungkinan kerja bagi pekerja tamu dari luar negeri. Mulai 1950-an, sebagian besar orang yang datang ke Jerman sebagai pekerja, hidup dalam kemiskinan di negara asalnya.
Foto: DW/J. Hennig
Kantor Penghubung
Antara 1955 dan 1968 Jerman Barat menandatangani kesepakatan dengan Italia, Spanyol, Yunani, Turki, Maroko, Korea Selatan, Portugal, Tunisia dan Yugoslavia. Di negara-negara itu didirikan kantor khusus untuk orang-orang yang ingin melamar pekerjaan.
Foto: DW/J. Hennig
Pemeriksaan Kesehatan
Sebelum pekerja diijinkan datang ke Jerman, kesehatan mereka diperiksa lebih dulu. Hanya mereka yang sehat dan mampu bekerja mendapatkan pekerjaan di Jerman Barat.
Foto: DW/J. Hennig
Yang Kesatu Juta
Armando Rodrigues de Sá dari Portugal (38), menjadi pekerja ke 1 juta, disambut kedatangannya di stasiun kereta api Köln-Deutz pada September 1964. Pengrajin kayu itu mendapat hadiah sepeda Motor, yang kini masih tersimpan di Museum Haus der Gesichte Bonn.
Foto: DW/J. Hennig
Seberangi Eropa dengan "Türkenkutsche"
Dengan Ford Transit ini, Sabri Güler mengadakan perjalanan dari utara ke selatan Eropa. Pedagang bahan pangan dari Turki itu menjadikan mobil ini sebagai toko keliling. Ford model ini sangat disukai imigran Turki, karena bisa memuat banyak barang. Karena itu, di Jerman Ford Transit sering disebut "Türkenkutsche" (Kereta Turki).
Foto: DW/J. Hennig
Pekerja Kontrak di Jerman Timur
Pertengahan 1960-an pekerja tamu juga dibutuhkan di Jerman Timur yang komunis. Mereka disebut pekerja kontrak, dan terutama bekerja di industri tekstil. Sebagian besar dari mereka berasal dari negara sosialis seperti Vietnam, Kuba dan Aljazair. Pekerja imigran di Jerman Timur lebih sedikit daripada di Barat. Tahun 1989 jumlahnya hanya 190.000, sedangkan di Jerman Barat sudah lima juta orang.
Foto: DW/J. Hennig
Makanan Khas dari Berbagai Negara
Banyak pekerja tamu akhirnya tinggal di Jerman dan mendatangkan keluarga mereka. Mereka membawa serta banyak kebiasaan dan tradisi dari tanah air mereka ke Jerman. Sehingga keanekaragaman budaya menyebar. Ini tampak paling jelas jika melihat menu di restoran. Döner (Turki) sekarang jadi salah satu makanan cepat saji yang paling disukai di Jerman.
Foto: DW/S. Soliman
Kepala Berita Yang Negatif
Tahun 1980-an dan 1990-an muncul perdebatan di Jerman, karena timbulnya kekhawatiran terbentuknya "geto" kaum migran di kota-kota. Di samping itu, kriminalisasi remaja yang berlatar belakang imigran meningkat, dan diberitakan banyak media. Awal tahun 1990-an di Jerman Barat dan Timur terjadi sejumlah kekerasan rasisme.
Foto: DW/J. Hennig
Tradisi vs. Kebudayaan Barat
Di keluarga-keluarga imigran juga terjadi konflik kebudayaan. Sutradara Jerman-Turki Fatih Akin mengangkat pertentangan pendidikan Muslim-Turki dan kehidupan gaya Barat dalam filmnya "Gegen die Wand". Di festival film Berlinale 2004, film itu jadi produksi Jerman yang kembali mendapat penghargaan Beruang Emas, setelah 17 tahun sebelumnya penghargaan selalu diraih negara lain.
Foto: DW/J. Hennig
Pangeran Balam I
Organisasi karnaval dari kota Aachen, "Koe Jonge" mendeklarasikan Balam Bayarubanga asal Uganda jadi "pangeran". Balam I adalah pangeran karnaval pertama di Jerman yang berkulit hitam. Dengan langkah itu, organisasi pencinta karnaval ini memberikan sinyal menentang rasisme dan mendukung integrasi. Kostum pangerannya diserahkan Balam I untuk dipamerkan di museum Haus der Geschichte di Bonn.
Foto: DW/J. Hennig
11 foto1 | 11
Sentimen warga terbelah
Di Berlin, Walikota Franziska Giffey dari Partai SPD ingin membangun pusat keimigrasian baru di ibu kota selambatnya pada 2024. Dengan cara itu, pemerintah kota ingin meningkatkan jumlah penerimaan warga negara baru dari 8.000 menjadi 20.000 per tahun.
Meski begitu, Jerman tergolong jauh tertinggal dibandingkan negara Uni Eropa yang lain. Rata-rata sekitar dua persen pemukim lama sudah menerima kewarganegaraan di negara tempatnya berada. Di Jerman, angkanya baru satu persen.
Bagi Petra Bendel, penyebabnya antara lain adalah sikap "warga Uni Eropa yang tidak melihat adanya keuntungan tambahan dengan menerima warga negara Jerman. Secara hukum, posisi mereka hampir setara dengan warga Jerman," dan banyak pula yang tidak tahu "bahwa mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan."
Warga Jerman sendiri terbelah dalam menyikapi upaya pemerintah untuk mempercepat proses penerimaan kewarganegaraan. Menurut jajak pendapat "Infratest Dimap," sebanyak 49 persen mendukung reformasi pemerintah, sementara 45 persen menilai reformasi sebagai hal keliru.
Petra Bendel mengakui langkah reformasi akan menambah daftar warga asing yang berhak atas kewarganegaraan. Meski begitu, menurutnya "pindah kewarganegaraan merupakan keputusan yang sangat pribadi. Pengalaman selama ini menunjukkan, anya sedikit dari mereka yang berhak kemudian mengajukan permohonan warga negara."