1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikPakistan

Bagaimana Kemiskinan Hantui Janda Perang Pakistan

S. Khan (Islamabad)
23 Mei 2023

Perang melawan pemberontakan Taliban tidak hanya merenggut ribuan korban jiwa di Pakistan, tapi juga memaksa perempuan menjnada dan harus menanggung dampak perang seorang diri.

Janda korban terorisme di Pakistan
Seorang janda korban terorisme di PakistanFoto: Saba Rehman/DW

Perang melawan terorisme tidak berakhir di perbatasan. Hal serupa dikeluhkan oleh Pakistan tentang menguatnya pemberontakan Tehrik-e-Taliban Pakistan (TTP) yang dipasok dari Afganistan demi perang yang sejauh ini telah menelan 30.000 korban jiwa.

Pertumpahan darah membuat puluhan ribu perempuan menjanda. Mereka kebanyakan hidup tersebar di wilayah kesukuan di barat daya Pakistan. Termasuk di antaranya Zahida Bibi asal Waziristan Selatan yang berbatasan langsung dengan Afganistan.

Kawasan tandus di Khyber Pakhtunkhwa itu dikenal sebagai tempat kelahiran Taliban Pakistan dan sarang persembunyian gerilayawan asing dari Arab, Chechnya atau Uzbekistan yang melarikan diri dari Afganistan.

Ayah Bibi yang merupakan tetua desa menolak kedatangan para gerilayawan asing dan sebabnya dibunuh. Dia tewas bersama suami Bibi, paman dan saudara laki-lakinya. "Di keluarga kami ada empat orang janda. Kehidupan kami telah hancur," kata Bibi kepada DW. Dia mengaku masih trauma oleh tragedi tersebut.

Kembalinya Taliban

Belakangan, gerilayawan Taliban kembali muncul di desa Bibi. Dia kini mengkhawatirkan nasib puteranya yang bekerja sebagai polisi. "Perang ini telah merenggut semuanya dari kami," kata dia. "Beberapa bulan lalu, sepupu saya tewas dalam sebuah serangan terhadap kantor polisi, di mana dia bekerja. Dua putera saya juga bekerja sebagai polisi dan saya selalu mengkhawatirkan keselamatan mereka."

Bibi dan janda lain di keluarganya juga harus mengadopsi anak yatim-piatu, termasuk dari keluarga jauh yang ditinggalkan tanpa warisan.

Asya Bibi, seorang pegiat HAM dan anggota dewan di Waziristan Selatan, mengatakan pemberontakan Taliban dan perang melawan terorisme menyisakan bencana bagi masyarakat lokal. Dampaknya terutama dirasakan oleh kaum perempuan, kata dia kepada DW. Di desanya sendiri, Kuri Koat, Asya mengklaim lebih dari 200 perempuan menjanda karena perang.

"Desa kami dinamakan desa janda. Banyak perempuan yang bergantung pada program sosial dari pemerintah federal atau dari sumbangan yang didapat dari festival keagamaan," kata dia.

Tanggung jawab negara

Meski kebanyakan perempuan korban perang berasal dari kelompok miskin, tidak sedikit anggota kelas atas yang ikut terimbas dampak perang melawan teror. Pada 2012, sebuah serangan bom bunuh diri menewaskan Bashir Bilour, menteri senior di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Puteranya juga tewas dalam serangan bunuh diri pada 2018. Keduanya dikenal tegas melawan Taliban.

Musarrat Ahmed Zeb, seorang bekas anggota parlemen dari Lembah Swat, sebaliknya mengeluhkan minimnya dukungan pemerintah bagi keluarga korban serangan teror. Menurutnya, pemerintah harus memprioritaskan anak-anak dan perempuan. Dia mewanti-wanti betapa wilayahnya mengalami kekurangan rumah penampungan bagi anak-anak korban perang.

"Para janda harus mengurus anak-anaknya," kata dia kepada DW. "Jika kita punya lebih banyak rumah yatim-piatu, anak-anak bisa ditampung di sana, sementara para ibu bisa mencari kerja."

Dr. Said Alam Mehsud, seorang analis di Peshawar, mengabarkan betapa perang juga berdampak pada populasi laki-laki. Dia menyontohkan adanya keluarga yang kehilangan lima hingga sembilan anggota keluarga laki-laki. Dia menuduh kebijakan pemerintah justru memudahkan Taliban.

"Negara mendukung kaum fanatik yang mengubah provinsi kami dan sejumlah wilayah negeri ke neraka barbarisme," kata dia. "Perempuan adalah yang paling banyak menanggung dampak kebijakan pemerintah ini."

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait