Perang melawan pemberontakan Taliban tidak hanya merenggut ribuan korban jiwa di Pakistan, tapi juga memaksa perempuan menjnada dan harus menanggung dampak perang seorang diri.
Iklan
Perang melawan terorisme tidak berakhir di perbatasan. Hal serupa dikeluhkan oleh Pakistan tentang menguatnya pemberontakan Tehrik-e-Taliban Pakistan (TTP) yang dipasok dari Afganistan demi perang yang sejauh ini telah menelan 30.000 korban jiwa.
Pertumpahan darah membuat puluhan ribu perempuan menjanda. Mereka kebanyakan hidup tersebar di wilayah kesukuan di barat daya Pakistan. Termasuk di antaranya Zahida Bibi asal Waziristan Selatan yang berbatasan langsung dengan Afganistan.
Kawasan tandus di Khyber Pakhtunkhwa itu dikenal sebagai tempat kelahiran Taliban Pakistan dan sarang persembunyian gerilayawan asing dari Arab, Chechnya atau Uzbekistan yang melarikan diri dari Afganistan.
Ayah Bibi yang merupakan tetua desa menolak kedatangan para gerilayawan asing dan sebabnya dibunuh. Dia tewas bersama suami Bibi, paman dan saudara laki-lakinya. "Di keluarga kami ada empat orang janda. Kehidupan kami telah hancur," kata Bibi kepada DW. Dia mengaku masih trauma oleh tragedi tersebut.
Pakistan: Bagaimana Seorang Perempuan Warga Suku Menentang Norma Patriarki
Perempuan tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam politik di wilayah suku di barat laut Pakistan. Tapi Duniya Bibi menang kursi dewan lokal dan memberikan contoh bagi perempuan di daerah tersebut untuk bangkit.
Foto: Saba Rahman/DW
Melawan pembatasan peluang
Duniya Bibi, perempuan buta huruf berusia 58 tahun, suka mengikuti perkembangan politik terkini di negaranya. Setiap pagi, suaminya membacakan berita dari koran. Bibi mengalahkan kandidat perempuan dari partai politik terkemuka, termasuk partai Pakistan Tehreek-e-Insaf dan Liga Muslim Nawaz, dalam pemilihan dewan lokal baru-baru ini untuk Tehsil Yakand, Distrik Mohmand.
Foto: Saba Rahman/DW
Wilayah yang didominasi laki-laki
Bibi aktif dalam politik di daerah di mana perempuan bahkan tidak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki. Dia mengatakan kepada DW, kemenangannya penting karena perempuan di daerah itu membutuhkan perwakilan seorang anggota dewan perempuan yang bisa memecahkan masalah mereka. "Saya telah mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang COVID di daerah saya," katanya.
Foto: Saba Rahman/DW
Pendidikan anak perempuan adalah kunci kemakmuran
Bibi duduk bersama cucu-cucunya di siang hari dan bertanya tentang pelajaran mereka. Dia mengatakan, pendidikan adalah kunci untuk membawa kemakmuran ke wilayah suku Pakistan. "Di daerah kami, anak perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah. Itu sebabnya mereka tidak dapat membuat keputusan di rumah mereka dan tidak memiliki suara di masyarakat. Saya ingin mengubah itu," kata Bibi.
Foto: Saba Rahman/DW
Dukungan dari suaminya
Dukungan laki-laki masih penting di wilayah patriarki ini. Abdul Ghafoor, suami Bibi, sangat mendukung kegiatan politik Bibi. "Seorang pria tidak tahu banyak tentang isu-isu perempuan di bidang ini," katanya. "Saya mendorong istri saya untuk mengikuti pemilihan sehingga perempuan lain juga maju dan memainkan peran mereka."
Foto: Saba Rahman/DW
Putra yang bangga
Ali Murad, putra Bibi dan lulusan perguruan tinggi seni nasional, mengatakan dia bangga dengan peran politik ibunya. “Umumnya, orang mengira perempuan suku tidak punya peran di luar rumah. Ibu saya telah mengubah persepsi ini,” katanya.
Foto: Saba Rahman/DW
Menyeimbangkan peran publik dan pribadi
Terlepas dari peran publiknya, Bibi tetap melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, seperti mengumpulkan kayu untuk memasak. Dia juga berpartisipasi dalam kegiatan rumah tangga lainnya, seperti mencuci pakaian, membuat teh untuk anggota keluarga dan membersihkan rumah. Dia mengatakan semua kegiatan ini membuatnya tetap sehat dan aktif.
Foto: Saba Rahman/DW
Imbauan kepada Taliban
Bibi mengatakan daerahnya sangat terpukul oleh klompok pemberontak Islam selama kekacauan di negara tetangga Afghanistan. Dia mengatakan Taliban harus memberdayakan perempuan dan mengizinkan anak perempuan mengakses pendidikan. "Jika mereka melakukannya, itu akan membawa stabilitas dan kesuksesan tidak hanya di Afghanistan tetapi juga di wilayah kesukuan Pakistan," katanya. (rs/as)
Foto: KARIM SAHIB AFP via Getty Images
7 foto1 | 7
Kembalinya Taliban
Belakangan, gerilayawan Taliban kembali muncul di desa Bibi. Dia kini mengkhawatirkan nasib puteranya yang bekerja sebagai polisi. "Perang ini telah merenggut semuanya dari kami," kata dia. "Beberapa bulan lalu, sepupu saya tewas dalam sebuah serangan terhadap kantor polisi, di mana dia bekerja. Dua putera saya juga bekerja sebagai polisi dan saya selalu mengkhawatirkan keselamatan mereka."
Iklan
Bibi dan janda lain di keluarganya juga harus mengadopsi anak yatim-piatu, termasuk dari keluarga jauh yang ditinggalkan tanpa warisan.
Asya Bibi, seorang pegiat HAM dan anggota dewan di Waziristan Selatan, mengatakan pemberontakan Taliban dan perang melawan terorisme menyisakan bencana bagi masyarakat lokal. Dampaknya terutama dirasakan oleh kaum perempuan, kata dia kepada DW. Di desanya sendiri, Kuri Koat, Asya mengklaim lebih dari 200 perempuan menjanda karena perang.
"Desa kami dinamakan desa janda. Banyak perempuan yang bergantung pada program sosial dari pemerintah federal atau dari sumbangan yang didapat dari festival keagamaan," kata dia.
Pakistan: Bagaimana Militan Hancurkan Kehidupan Seorang Perempuan
Baswaliha, perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di kawasan adat di perbatasan dengan Afganistan, kehilangan suami dan anaknya dalam konflik dengan kelompok Taliban. Sekarang dia khawatir kekerasan akan kembali.
Foto: Saba Rehman/DW
Kehidupan yang sulit
Bertahan hidup merupakan hal yang sulit bagi perempuan Pakistan di kawasan perbatasan. Hidup Baswaliha, seorang janda 55 tahun, makin memilukan setelah kehilangan anaknya tahun 2009, dan suaminya pada 2010. Baswaliha tinggal di Galanai, sebuah desa adat di kawasan Mohmand, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Saba Rehman/DW
Serangan dari segala penjuru
Imran Khan, anak sulung Baswaliha, terbunuh pada usia 23 tahun oleh kelompok lokal anti-Taliban karena dituduh membantu gerakan teroris, jelasnya pada tim DW. Operasi militer Pakistan memang menciptakan suasana tenang untuk beberapa kawasan, namun penarikan pasukan NATO dari Afghanistan meningkatkan kekhawatiran bahwa kelompok Taliban akan kembalio berkuasa.
Foto: dapd
Fase penuh kekerasan
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Majeed
Belum menyerah
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Saba Rehman/DW
Jahit dan jual
Baswaliha ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. “Tidak mudah. Saya merasa hidup saya tidak ada gunanya lagi, dan saya tidak bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini,” katanya. Dia menceritakan perempuan di desanya dilarang berbelanja sendiri ke pasar. Saat ini, pendapatan utamanya menjahit. Dia mematok harga sekitar 13 ribu hingga 15 ribu rupiah untuk satu setel pakaian wanita.
Foto: Saba Rehman/DW
Wajib didampingi lelaki
“Setelah ditinggal suami, saya biasa membuat jajanan roti dan anak perempuan saya yang kecil menjualnya kepada warga di jalanan utama. Namun ketika dia sudah mulai cukup besar, anak perempuan yang berkeliaran dicap jelek di sini,” jelasnya. “Saat itulah saya mulai membuat berbagai macam selimut.” Tetapi untuk ke pasar, dia harus ditemani seorang laki-laki, berapapun umur laki-laki tersebut.
Foto: Saba Rehman/DW
Akan ada lebih banyak kekerasan?
Ribuan keluarga di kawasan adat di utara dan barat laut Pakistan menjadi korban kekejaman kelompok ekstrem di daerahnya. Abdur Razaq, saudara ipar Baswaliha, mengatakan bahwa dia masih ingat saat Abdul Ghufran terbunuh dalam sebuah serangan kelompok Taliban. Dia berharap kawasan adat tidak berubah lagi menjadi daerah kerusuhan dan keganasan. (Teks S. Rehman/mh/hp)
Foto: Saba Rehman/DW
7 foto1 | 7
Tanggung jawab negara
Meski kebanyakan perempuan korban perang berasal dari kelompok miskin, tidak sedikit anggota kelas atas yang ikut terimbas dampak perang melawan teror. Pada 2012, sebuah serangan bom bunuh diri menewaskan Bashir Bilour, menteri senior di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Puteranya juga tewas dalam serangan bunuh diri pada 2018. Keduanya dikenal tegas melawan Taliban.
Musarrat Ahmed Zeb, seorang bekas anggota parlemen dari Lembah Swat, sebaliknya mengeluhkan minimnya dukungan pemerintah bagi keluarga korban serangan teror. Menurutnya, pemerintah harus memprioritaskan anak-anak dan perempuan. Dia mewanti-wanti betapa wilayahnya mengalami kekurangan rumah penampungan bagi anak-anak korban perang.
"Para janda harus mengurus anak-anaknya," kata dia kepada DW. "Jika kita punya lebih banyak rumah yatim-piatu, anak-anak bisa ditampung di sana, sementara para ibu bisa mencari kerja."
Dr. Said Alam Mehsud, seorang analis di Peshawar, mengabarkan betapa perang juga berdampak pada populasi laki-laki. Dia menyontohkan adanya keluarga yang kehilangan lima hingga sembilan anggota keluarga laki-laki. Dia menuduh kebijakan pemerintah justru memudahkan Taliban.
"Negara mendukung kaum fanatik yang mengubah provinsi kami dan sejumlah wilayah negeri ke neraka barbarisme," kata dia. "Perempuan adalah yang paling banyak menanggung dampak kebijakan pemerintah ini."