Penelitian di Jerman mencatatkan kemajuan dalam kesetaraan gender di jajaran eksekutif perusahaan. Namun, jumlahnya masih sangat sedikit, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.
Iklan
Tema kesetaraan gender kembali meruak setelah Nobel Ekonomi diberikan kepada seorang ekonom perempuan yang meneliti ketimpangan di dunia kerja. Riset serupa dilakukan Yayasan AllBright, yang ingin mengetahui bagaimana prospek karier perempuan di jajaran eksekutif perusahaan di Jerman. Hasilnya? Masih ada banyak ruang untuk perbaikan.
Menurut studi AllBright, sebanyak 37 persen anggota dewan direksi yang diangkat tahun lalu merupakan perempuan. "Akhirnya, meski telat, kita mencapai titik, di mana direksi yang beranggotakan murni laki-laki kini berjumlah lebih sedikit ketimbang yang campuran," tulis kedua Direktur Allbright, Wiebke Ankersen dan Christian Berg, dalam keterangan persnya.
"Saya senang melihat lebih banyak perusahaan Jerman yang mempromosikan perempuan ke jajaran eksekutif," kata Sven Hagstörmer, investor asal Swedia yang juga menjadi donor Yayasan AllBright.
Namun begitu, riset juga mengungkap betapa sebagian besar perusahaan hanya memiliki seorang perempuan di jajaran direksi dan bahwa 83 persen anggota direksi masih berjenis kelamin laki-laki. Di Adidas dan Porsche, semua anggota dewan direksi bahkan laki-laki.
Charlie Martin: Kesetaraan Gender dan Olahraga Otomotif Profesional
03:54
Terpaku pada tradisi kuno
Menurut studi AllBright, minimnya kesetaraan gender di jajaran direksi disebabkan oleh kuatnya paradigma lama tentang pembagian peran gender di dalam masyarakat. Meski banyak bekerja, perempuan masih berjibaku dengan status kerja paruh waktu, yang mempersulit perkembangan karir di masa depan.
Iklan
"Studi-studi menunjukkan, bahwa perempuan tidak jarang ingin mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan. Hanya saja mereka terbentur atap kaca," kata Marcel Fratzer, Presiden Yayasan Studi Ekonomi Jerman (DIW).
Menurutnya, tidak cukup bagi pria untuk mendukung karir pasangan atau mengambil alih tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar. "Kita butuh lebih banyak tempat penitipan anak, sekolah-sekolah, menghapus beban pajak lebih besar antara suami isteri dan pembagian yang sama dalam hal cuti anak," kata Ankersen dan Christian Berg.
Jika tidak ada yang berubah, maka dibutuhkan waktu selama 18 tahun bagi Jerman untuk mempromosikan jumlah anggota direksi perempuan yang sama seperti laki-laki.
Sains Berutang Budi pada Perempuan-perempuan ini
Meski seksisme yang merajalela, sejumlah perempuan mampu membuktikan betapa gender tidak menentukan bakat seseorang. Hasil kerja mereka menjadi landasan kemajuan sains di era modern.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Thissen
Ada Lovelace, Matematika
Terlahir tahun 1815, Ada Lovelace adalah pakar matematika berbakat yang menulis instruksi program komputer pertama pada pertengahan abad 18. Ada termasuk ilmuwan paling pertama yang meyakini kalkulator memiliki kemampuan melebihi fungsinya sebagai alat menghitung. Namanya melambung setelah membantu pionir komputer, Charles Babbage, mengembangkan mesin komputasi pertama, Analytical Engine
Foto: public domain
Marie Curie, Fisika Nuklir
Marie Curie adalah perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel, yang pertama mendapat dua penghargaan bergengsi itu dan satu-satunya manusia yang memenangkan hadiah Nobel di dua bidang yang berbeda. Dilahirkan pada 1867, Curie termasuk ilmuwan paling dikenal dalam sejarah berkat risetnya di bidang radiasi nuklir dan penemuan dua elemen baru, yakni radium dan polonium.
Foto: picture alliance/United Archiv
Rosalind Franklin, Kimia
Rosalind Franklin tidak pernah mendapatkan hadiah Nobel, meski karyanya bernilai penting buat ilmu pengetahuan. Pasalnya perempuan Yahudi asal Inggris ini berhasil mengungkap rahasia struktur molekuler DNA dan RNA. Berbekal hasil penelitian Franklin, dua ilmuwan lain, James Watson dan Francis Crick, berhasil menemukan DNA Heliks Ganda dan mendapat hadiah Nobel di bidang Kedokteran.
Foto: picture-alliance/HIP
Dorothy Hodgkin, Kimia
Pionir Biokimia Inggris, Dorothy Hodgkin, berteman dekat dan sering bekerjasama dengan Franklin. Ia mengembangkan teknik Kristalografi protein yang mampu mengungkap struktur biomolekul dan menjadi perempuan ketiga yang memenangkan Nobel Kimia pada 1964. Lima tahun setelah kemenangannya itu, Hodgkin kembali mencatat sejarah sains setelah berhasil mengurai struktur Insulin.
Foto: picture-alliance/dpa/Leemage
Elizabeth Blackburn, Biologi
Perempuan Amerika berdarah Australia ini memenangkan hadiah Nobel di bidang Medis pada 2009 silam. Bersama dua ilmuwan lain, Carol Greider dan Jack Szostak, Elizabeth Blackburn mengungkap bagaimana enzim telomer melindungi dan mengurangi kerusakan DNA, serta berperan pada proses penuaan. Hasil risetnya itu mendasari penelitian Kanker hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa/S.Merrell
Jane Goodall, Primatologi
Goodall bisa jadi merupakan pakar simpanse paling berbakat dalam sejarah. Ia menghabiskan puluhan tahun mempelajari perilaku sosial dan interaksi intim primata cerdas ini di Tanzania. Goodall yang juga menemukan bahwa satwa memiliki kepribadian unik sering dituduh melakukan Antropomorfisme alias mendefinisikan hewan berdasarkan atribut manusia.
Foto: picture alliance/Photoshot
Rita Levi-Montalcini, Neurobiologi
Dilahirkan di Italia 1909, karir Montalcini sempat mandek lantaran diskriminasi anti Yahudi yang marak di era Benito Mussolini. Karena dilarang bekerja, dia lalu membangun laboratorium di kamar tidurnya sendiri. Pada 1986 ia mendapat hadiah Nobel setelah berhasil mengosolasi Faktor Pertumbuhan Syaraf (NGF) dari jaringan kanker. Montalcini berusia 100 tahun ketika memenangkan Nobel.
Foto: picture-alliance/maxppp/Leemage
Jocelyne Bell-Burnell, Fisika
Pada 1967 Jocelyne Bell-Burnell menemukan sinyal yang berotasi secara berkala. Sinyal yang awalnya diduga pesan dari mahluk luar angkasa itu ternyata adalah bintang neutron. Penemuan tersebut dirayakan sebagai salah satu pencapaian terbesar Astronomi di abad ke-20. Hingga kini, keputusan panitia Nobel tidak menghargai hasil kerja Jocelyne masih menjadi kontroversi. (rzn/yf)
Foto: Getty Images/AFP/M. Cizek
8 foto1 | 8
Bagaimana di negara lain?
Situasi yang lebih baik bisa dilihat di Amerika Serikat. Di sana, lebih dari separuh anggota dewan direksi merupakan perempuan. Jika jumlah pemimpin perempuan di 40 perusahaan terbesar di Prancis, Inggris, Polandia, Swedia, atau Amerika Serikat dibandingkan, maka Jerman mendarat di posisi buncit.
Ketika di AS dan Prancis, sebanyak 88 persen direksi beranggotakan perempuan, jumlahnya pada perusahaan Jerman hanya berkisar 40 persen. Untuk mengubahnya, diperlukan setidaknya sepertiga anggota dewan direksi berjenis kelamin perempuan, tulis AllBright.
Padahal AS tidak mewajibkan perusahaan memilih perempuan sebagai pemimpin. Perusahaan juga tidak diwajibkan memberikan uang jaminan anak atau hak cuti melahirkan. Sebabnya, lebih sedikit perempuan yang bekejerja di AS. Sebaliknya, perempuan yang mampu biasanya akan bekerja penuh waktu dan sebabnya mampu membangun karir ke level tinggi.
Pun, Inggris tidak mewajibkan kuota pemimpin perempuan. Pelaku usaha sebaliknya menetapkan sasaran sendiri. Saat ini, 350 perusahaan terbesar Inggris mencatatkan kuota perempuan sebesar 40 persen, lebih cepat tiga tahun dari yang awalnya direncanakan.