1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakJerman

Bagaimana Kondisi Kesetaraan Gender di Jerman?

19 Oktober 2023

Penelitian di Jerman mencatatkan kemajuan dalam kesetaraan gender di jajaran eksekutif perusahaan. Namun, jumlahnya masih sangat sedikit, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.

Ilustrasi pegawai laki-laki
Ilustrasi dominasi laki-laki di dunia kerjaFoto: Uwe Anspach/dpa/picture alliance

Tema kesetaraan gender kembali meruak setelah Nobel Ekonomi diberikan kepada seorang ekonom perempuan yang meneliti ketimpangan di dunia kerja. Riset serupa dilakukan Yayasan AllBright, yang ingin mengetahui bagaimana prospek karier perempuan di jajaran eksekutif perusahaan di Jerman. Hasilnya? Masih ada banyak ruang untuk perbaikan.

Menurut studi AllBright, sebanyak 37 persen anggota dewan direksi yang diangkat tahun lalu merupakan perempuan. "Akhirnya, meski telat, kita mencapai titik, di mana direksi yang beranggotakan murni laki-laki kini berjumlah lebih sedikit ketimbang yang campuran," tulis kedua Direktur Allbright, Wiebke Ankersen dan Christian Berg, dalam keterangan persnya.

"Saya senang melihat lebih banyak perusahaan Jerman yang mempromosikan perempuan ke jajaran eksekutif," kata Sven Hagstörmer, investor asal Swedia yang juga menjadi donor Yayasan AllBright.

Namun begitu, riset juga mengungkap betapa sebagian besar perusahaan hanya memiliki seorang perempuan di jajaran direksi dan bahwa 83 persen anggota direksi masih berjenis kelamin laki-laki. Di Adidas dan Porsche, semua anggota dewan direksi bahkan laki-laki.

Charlie Martin: Kesetaraan Gender dan Olahraga Otomotif Profesional

03:54

This browser does not support the video element.

Terpaku pada tradisi kuno

Menurut studi AllBright, minimnya kesetaraan gender di jajaran direksi disebabkan oleh kuatnya paradigma lama tentang pembagian peran gender di dalam masyarakat. Meski banyak bekerja, perempuan masih berjibaku dengan status kerja paruh waktu, yang mempersulit perkembangan karir di masa depan.

"Studi-studi menunjukkan, bahwa perempuan tidak jarang ingin mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan. Hanya saja mereka terbentur atap kaca," kata Marcel Fratzer, Presiden Yayasan Studi Ekonomi Jerman (DIW).

Menurutnya, tidak cukup bagi pria untuk mendukung karir pasangan atau mengambil alih tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar. "Kita butuh lebih banyak tempat penitipan anak, sekolah-sekolah, menghapus beban pajak lebih besar antara suami isteri dan pembagian yang sama dalam hal cuti anak," kata Ankersen dan Christian Berg.

Jika tidak ada yang berubah, maka dibutuhkan waktu selama 18 tahun bagi Jerman untuk mempromosikan jumlah anggota direksi perempuan yang sama seperti laki-laki.

Bagaimana di negara lain?

Situasi yang lebih baik bisa dilihat di Amerika Serikat. Di sana, lebih dari separuh anggota dewan direksi merupakan perempuan. Jika jumlah pemimpin perempuan di 40 perusahaan terbesar di Prancis, Inggris, Polandia, Swedia, atau Amerika Serikat dibandingkan, maka Jerman mendarat di posisi buncit.

Ketika di AS dan Prancis, sebanyak 88 persen direksi beranggotakan perempuan, jumlahnya pada perusahaan Jerman hanya berkisar 40 persen. Untuk mengubahnya, diperlukan setidaknya sepertiga anggota dewan direksi berjenis kelamin perempuan, tulis AllBright.

Padahal AS tidak mewajibkan perusahaan memilih perempuan sebagai pemimpin. Perusahaan juga tidak diwajibkan memberikan uang jaminan anak atau hak cuti melahirkan. Sebabnya, lebih sedikit perempuan yang bekejerja di AS. Sebaliknya, perempuan yang mampu biasanya akan bekerja penuh waktu dan sebabnya mampu membangun karir ke level tinggi.

Pun, Inggris tidak mewajibkan kuota pemimpin perempuan. Pelaku usaha sebaliknya menetapkan sasaran sendiri. Saat ini, 350 perusahaan terbesar Inggris mencatatkan kuota perempuan sebesar 40 persen, lebih cepat tiga tahun dari yang awalnya direncanakan.

(rzn/hp)

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya