1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Krisis Iklim Punahkan Sumber Air Minum Asia

Akanksha Saxena
30 Agustus 2022

Dataran Tinggi Tibet, yang dikenal sebagai "menara air Asia", menyuplai air minum bagi hampir dua miliar manusia. Krisis iklim yang mempercepat kepunahan gletser diyakini akan menciptakan kelangkaan air bersih pada 2050.

Dataran Tinggi Tibet, Cina
Dataran Tinggi Tibet, CinaFoto: Fan Peishen/Xinhua/picture alliance

Pada pertengahan abad ini, Dataran Tinggi Tibet akan kehilangan sebagian besar cadangan airnya, demikian menurut sebuah studi teranyar. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, Nature Climate Change, itu merupakan studi paling komprehensif mengenai kondisi "menara air" Asia tersebut.

Basin Amu Darya, yang menyuplai air bagi Asia Tengah dan Afganistan, misalnya telah kehilangan 119 persen kapasitas airnya. Adapun kapasitas penyimpanan air di Basin Sungai Indus, yang vital bagi Pakistan dan India Utara, telah berkurang sebanyak 79 persen. Jika digabung, dampak penyusutan air berdampak bagi seperempat populasi dunia.

Sekelompok saintis dari Universitas Penn State, Universitas Texas di AS dan Universitas Tsinghua, Cina, menemukan eskalasi krisis iklim dalam satu dekade terakhir mempercepat kepunahan cadangan air permukaan (TWS), mencapai 15,8 gigaton per tahun di sejumlah wilayah di Dataran Tinggi Tibet.

Berdasarkan skenario moderat kenaikan emisi, ilmuwan memprediksi Dataran Tinggi Tibet akan kehilangan 230 gigaton cadangan air pada pertengahan abad ke21. "Prediksinya tidak baik," kata Michael Mann, Guru Besar Ilmu Atmosfer di Penn State University.

Basin Sungai Amu Darya dan Indus di Asia

"Dalam skenario 'business as usual', di mana kita gagal mengurangi emisi bahan bakar fossil dalam satu dekade ke depan, kami memperkirakan hampir punahnya cadangan air di kawasan rendah di kaki Himalaya. Saya terkejut oleh dimensi kerusakannya yang sangat besar bahkan dalam skenario iklim yang moderat," imbuhnya kepada DW.

Rentan perubahan iklim

Sirkulasi atmosfer yang didominasi curah hujan tinggi dan deru angin barat selama ini menjamin ketersediaan air di Dataran Tinggi Tibet. Meski kawasan ini relatif sepi aktivitas manusia, ia berfungsi vital dalam meregulasi musim hujan di Asia. Namun begitu, kelangsungan fungsi vital ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

"Cadangan air permukaan di wilayah ini bernilai krusial dalam menentukan ketersediaan air, dan sangat sensitif terhadap perubahan iklim," imbuh Di Long, Guru Besar Teknik Hidrologi di Tsinghua University.

Untuk melindungi sumber air minum tersebut diperlukan data satelit yang akurat untuk memonitor cadangan air permukaan di Dataran Tinggi Tibet. "Dengan mempelajari interaksi antara krisis iklim dan cadangan air permukaan, studi ini bisa dijadikan panduan untuk studi lanjutan atau untuk mengembangkan model pengelolaan yang mengedepankan strategi adaptasi," kata Di Long.

Tujuh basin sungai yang diteliti oleh ilmuwan antara Amu Darya hingga Salween-Mekong di Asia Tenggara dipilih lantaran populasi penduduk yang hidup di dalamnya. Studi itu menemukan, kebutuhan air di Sungai Ganga-Brahmaputra, Salween-Mekong dan Basin Sungai Yangtse, bisa digantikan dengan sumber air lain.

Namun tanpa kebijakan adaptasi, krisis iklim dipercaya bisa melumat ketersediaan air di dataran rendah Asia dalam tempo singkat.

Perang Air di Himalaya

06:54

This browser does not support the video element.

Konflik geopolitik untungkan krisis iklim

Repotnya, langkah sebagian negara membendung sungai di Asia demi produksi listrik justru semakin memperlebar peluang terjadinya konflik. Sejumlah studi memastikan pembangunan bendungan akan memperuncing masalah kelangkaan air di sungai-sungai yang bersumber di Dataran Tinggi Tibet.

Termasuk di antaranya adalah Sungai Mekong yang mengalir dari Cina melalui Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, sebelum bermuara di Vietnam. Sekitar 60 juta penduduk bergantung hidup pada sungai untuk irigasi, perikanan atau jalur transportasi. Saat ini, terdapat ratusan bendungan hidroelektrik di Sungai Mekong, yang sebagian besarnya berada di Cina dan Laos.

"Sebelas bendungan yang dibangun Cina memblokir separuh aliran sedimen di Mekong, atau setengah dari 165 juta ton per tahun," kata Bryan Eyler, direktur Asia Tenggara di lembaga studi, Stimson Center, AS.

"Pembangunan dam di Mekong dilakukan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara di dataran rendah. Negara-negara ini bahkan tidak tahu jika ada bendungan baru yang sudah dibangun," imbuhnya.

Studi yang dibuat Initative Lower Mekong pada 2020 silam, mencatat selama lima bulan padan 2019, bendungan-bendungan di Cina menahan air dalam jumlah yang besar, sampai-sampai mencegah fenomena alami kenaikan muka air di musim hujan di Chiang Saen, Thailand.

Kelangkaan air sebabnya diyakini akan menjadi sumber konflik geopolitik baru di masa depan." Kami khawatir ini akan menjadi masalah besar antara India dan Cina, serta dengan gletser-gletser di Dataran Tinggi Tibet yang terus meleleh," kata Tenzin Lekshey, juru bicara pemerintahan eksil Tibet di India.

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya