1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakMesir

Bagaimana Larangan Aborsi Hidupkan Feminisme di Mesir

18 Januari 2023

Larangan aborsi di Mesir tidak mengurangi angka pengguguran kandungan. Perempuan malah terdorong untuk menjalani prosedur ilegal dan berbahaya. Kondisi tersebut menghidupkan gerakan perempuan demi kedaulatan tubuh.

Universitas di Mesir
Mahasiswi universitas di MesirFoto: Ahmed Gomaa/Xinhua/picture alliance

Trauma itu datang tiba-tiba. Noura sedang berbelanja di sebuah mall saat rasa nyeri menjalar dari perutnya yang kejang. Seketika dia mengalami pendarahan hebat. "Waktu saya duduk di toilet, saya merasakan sesuatu yang berat meluncur keluar dari rahim. Saya sampai menjulurkan tangan ke bawah untuk menampung darahnya.”

Noura baru berusia 23 tahun ketika pacarnya memberi pil aborsi untuk mengugurkan kehamilan dini. "Saat itu saya tidak siap menjadi ibu atau untuk menikah,” ujarnya. Noura tidak punya pilihan lain, karena aborsi diharamkan di Mesir.

Apa yang dia alami di dalam toilet mall di Kairo itu adalah "peristiwa yang sangat brutal,” dan tidak terlupakan, kata dia.

Pengalaman perempuan serupa Noura bertebaran di dalam buku karya Ghadeed Ahmed Eldamaty, seorang feminis Mesir, tentang aborsi dan kaum perempuan. 

"Saya ingin perempuan lain yang mengalami aborsi atau berniat  melakukan aborsi, agar tahu, bahwa mereka tidak sendirian,” kata dia. "Menjadi ibu adalah hal sakral di masyarakat kita. Tema aborsi sebabnya sangat dihindari, bahkan dilarang.”

Abortion in Europe scorned, concealed, prohibited

42:36

This browser does not support the video element.

Larangan buahkan pembangkangan

Inisiatif Mesir untuk Hak Individu (EIPR), sebuah lembaga advokasi HAM, menyebut larangan aborsi di Mesir termasuk yang paling ketat di dunia. Konstitusi Mesir tidak hanya melarang aborsi secara umum, tetapi juga dalam kasus pemerkosaan atau untuk korban hubungan seksual sedarah.

Hanya jika nyawa sang ibu terancam maka aborsi diizinkan.

"Undang-undang ini mencerminkan sikap terhadap tubuh perempuan,” kata Azza Soliman, feminis dan pegiat hak perempuan Mesir. "Perempuan tidak berhak ikut menentukan apakah mereka mau hamil atau aborsi,” imbuhnya.

Meski larangan yang ketat, perempuan Mesir tidak lantas menjauhi praktik aborsi, demikian laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sebaliknya, perempuan terpaksa menjalani prosedur yang membahayakan nyawa demi menggugurkan kehamilan.

"Jika pasien perempuan mengalami malpraktik kedokteran, maka korban tidak bisa menggugat dokternya,” kata Eldamaty lagi. Selain itu, aborsi ilegal tidak memungkinan layanan rawat jalan. 

Akibatnya, perempuan harus sendirian menghadapi gangguan kesehatan atau dampak psikologi paska aborsi. "Aborsi cuma bisa jika orang yang bersangkutan punya uang. Karena prosedurnya seringkali sangat mahal,” imbuhnya.

Menstruasi: Datang Bulan atau Ada Tamu?

06:49

This browser does not support the video element.

Melawan kontrol patriarki

Menurut WHO, setiap tahun sebanyak 39.000 perempuan meninggal dunia akibat aborsi. Setidaknya 60 persen kasus tercatat berasal dari Afrika dan 30 persen dari Asia. 

Mesir sebaliknya tidak menghimpun data statistik mengenai mortalitas aborsi. "Kondisi ini menyulitkan penelitian tentang bagaimana larangan aborsi berdampak terhadap kesehatan perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara,” kata peneliti gender, Habiba Abdelaal, di Washington, AS.

Pada tahun 1990, PBB menyepakati tanggal 28 September sebagai "Hari Keselamatan Aborsi.” Ghadeer Eldamaty mengisahkan betapa tema kesehatan seksual dan aborsi juga sempat ramai didiskusikan di Mesir pada dekade 1990an. 

Tapi keterbukaan itu kini punah, katanya, yang diamini Habiba Abdelaal. "Aborsi adalah prioritas utama gerakan perempuan lokal,” ujarnya. 

Larangan "ini lahir dari rasa takut kelompok konservatif yang selalu berusaha mengontrol perempuan, dan memaksakan pembagian peran sosial,” kepada perempuan. Aborsi juga diharamkan oleh pemuka al-Azhar di Kairo.

Azza Soliman, pengacara di lembaga bantuan hukum perempuan Mesir, berharap agar isu aborsi kembali dibahas di berbagai elemen masyarakat. "Kita harus banyak membahas hak seksual dan reproduktif perempuan dari sudut pandang medis dan sosial,” kata dia.

"Dari sudut pandang hukum sudah jelas, UU yang melarang aborsi harus dihapuskan. Aborsi tidak boleh lagi dilarang. "

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait