Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk meminimalisir kultur militeristik dalam Brimob? Opini Aris Santoso.
Iklan
Hari-hari ini satuan Brigade Mobil kembali menjadi perhatian publik. Sesuai dengan fungsinya sebagai pasukan "pemukul” Polri, satuan Brimob selalu berada di garis depan dalam kerja-kerja lapangan, khususnya dalam meredam aksi kerusuhan 21-22 Mei lalu. Kemudian dilanjutkan dengan pengamanan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019. Saat naskah ini sedang disusun, sidang MK masih tengah berlangsung.
Dalam upaya mengatasi setiap kerusuhan, khususnya pada peristiwa Mei kemarin, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menegaskan, pasukan kepolisian (utamanya Brimob) tidak dibekali peluru tajam. Namun dalam kenyataan di lapangan ada sekitar korban tewas (setidaknya) delapan orang. Karenanya masih menjadi tanda tanya besar, dari mana asal peluru tajam yang menyebabkan kematian tersebut.
Saat ini merupakan fase krusial bagi Polri, bahwa klarifikasi soal peluru tajam perlu menjadi prioritas, untuk menepis keraguan publik. Sejak resmi berpisah dari TNI pada tahun 2000, pimpinan Polri menyusun disain besar, bagaimana mengurangi kultur militeristik (khususnya) bagi personel Brimob. Dan salah satu implementasinya adalah, tidak lagi menggunakan peluru tajam dalam penindakan huru-hara di perkotaan, atau kasus urban lainnya.
Sesuai surat keputusan Kapolri Skep/27/IX/2002 tentang reformasi Korps Brimob, yang salah satu poinnya mengatur soal perubahan kultur. Secara bertahap diharapkan terjadi perubahan signifikan perilaku personel Brimob yang militeristik, menjadi personel Brimob Polri berstatus sipil.
Antara Reformasi Polri dan Brimob
Seperti juga TNI, Polri juga melakukan reformasi internal, yang meliputi tiga aspek: struktural, instrumental dan kultural. Secara singkat, perubahan kultural adalah perubahan perilaku anggota Polri, yang mengedepankan jatidiri sebagai polisi sipil. Polisi sipil dimaksud adalah polisi yang menghargai hak-hak sipil, bersahabat, lebih membela kepentingan rakyat ketimbang kepentingan penguasa, dan yang paling utama menjunjung tinggi nilai HAM.
Polisi sipil selain sebagai paradigma, juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses reformasi dimaksud tidak bisa dijalankan secara parsial, tetapi secara berkelanjutan. Sehingga akan terjadi percepatan dalam mewujudkan polisi sipil, yang dicirikan dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsisten terhadap supremasi hukum.
Namun harus diakui, dalam praktik di lapangan, kultur polisi belum banyak berubah, meski sudah ada reformasi Polri. Khusus untuk satuan Brimob, perubahan kultur itu terkesan lambat, terlebih bila diukur dari tahun diterbitkannya Skep di atas, yakni tahun 2002, berarti sudah 17 tahun. Dalam hal perubahan kultur, Brimob juga terkesan lebih lambat dibanding korps lainnya dalam Polri, seperti intelpam, reserse, korlantas, dan sabhara (patroli).
Masih adanya bias dalam perilaku anggota Brimob di lapangan, bisa dilihat dari narasi turunan reformasi Polri terhadap Brimob, masih terkesan militeristik: "Fungsi Brimob adalah satuan pamungkas Polri yang memiliki kemampuan spesifik penanggulangan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat, yang didukung oleh personel terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid, perlatan, perlengkapan dengan teknologi modern”.
Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk meminimalisir kultur militeristik dalam Brimob. Mengingat dari sejarahnya, Brimob sejak awal memang dibentuk sebagai pasukan paramiliter, mengacu pada pasukan polisi paramiliter sejenis di era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Diperlukan satu fase lagi, untuk mereposisi Brimob dalam kerangka besar konsep polisi sipil.
Fakta Seputar Kerusuhan dan Penyanderaan di Mako Brimob
155 tahanan terlibat dalam kasus kerusuhan dan penyanderaan di dalam rutan Mako Brimob. 40 jam lamanya operasi pengambilalihan Mako Brimob berlangsung hingga polisi dapat kendalikan situasi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Berawal dari makanan
Kerusuhan pecah pada pukul 19:30, Selasa (08/05) akibat cekcok seputar makanan. Seorang narapidana menanyakan titipan makanan kepada seorang petugas. Ketika titipan tidak diberikan, napi tidak terima dan mengajak rekan-rekan napi lain melakukan kerusuhan dari Blok C dan B. Petugas yang berjaga diserang, sembilan anggota Polri disandera.
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Anggota JAD
30 hingga 40 napi terorisme yang menjadi dalang kerusuhan dan membobol teralis besi tahanan di gedung C. Mereka diketahui bagian dari Jamaah Anshorut Daulah (JAD), jaringan yang berafiliasi dengan ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ungkap Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Salah satu tuntutan narapidana saat itu adalah bertemu dengan Aman Abdurrahman, pimpinan ISIS di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Prakoso
Seluruh blok tahanan dikuasai
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto menyebutkan ketika kericuhan terjadi, narapidana terorisme mengusai enam blok tahanan di dalam tiga gedung termasuk blok tempat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ditahan. Selain itu, para narapidana terorisme disebutkan merampas senjata milik polisi dan menjebol ruang penyimpanan barang bukti.
Foto: picture alliance / Dita Alangkara/AP/dpa
155 tahanan menyerahkan diri
40 jam lamanya napi terorisme menyandera rutan di Mako Brimob Depok. Penyanderaan berakhir, ketika 145 napi menyerahkan diri. 10 tahanan lainnya sempat bertahan hingga akhirnya polisi menyerbu masuk ke dalam rutan dengan menembakkan bom asap dan gas air mata. Satu narapidana terorisme dilaporkan tertembak saat berupaya merebut senjata petugas.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
ISIS klaim bertanggung jawab
Menkopolhukam Wiranto awalnya menyebutkan bahwa yang terlibat dalam aksi kerusuhan tersebut adalah napi terorisme. Melalui kantor berita ISIS, Amaq News Agency, kelompok pimpinan Abu Bakar al-Bahgdadi mengirimkan pesan berbahasa Arab yang menyatakan gerilayawannya terlibat baku tembak dengan anggota satuan anti teror Densus 88.
Foto: picture alliance / Xinhua News Agency
Olah TKP
Pasca berakhirnya kerusuhan di Mako Brimob, penyidik langsung menggelar proses pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP). Petugas mengumpulkan bukti yang menjelaskan seluruh peristiwa kerusuhan dan penyanderaan, yang hasilnya akan disampaikan kepada publik melalui konferensi pers sehari kemudian.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Gugur saat bertugas
Lima korban tewas dari pihak kepolisian dilaporkan dibunuh dengan senjata tajam. Hasil identifikasi memperlihatkan sebagian besar korban mengalami luka dalam di bagian leher dan satu korban mengalami luka tembak di kepala. Empat anggota Densus 88 Antiteror yang selamat tak luput dari penyiksaan yang sama. Mereka diduga dianiaya dengan sadis terlihat dari sejumlah luka di sekujur tubuh.
Foto: Getty Images/AFP
Kenaikan pangkat luar biasa
Lima anggota Densus 88 Antiteror yang gugur saat kericuhan di dalam rutan Mako Brimob mendapat kenaikan pangkat luar biasa. Kelima anggota Polri tersebut yakni: Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto, Aipda Luar Biasa Anumerta Denny Setiadi, Brigpol Luar Biasa Anumerta Fandy Setyo Nugroho, Briptu Luar Biasa Anumerta Syukron Fadhli dan Briptu Luar Biasa Anumerta Wahyu Catur Pamungkas.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Bukan kali pertama
Kerusuhan serupa yang melibatkan narapidana kasus terorisme pernah terjadi di Mako Brimob pada 10 November 2017. Saat itu anggota Densus 88 menggeledah sel dan menemukan empat telepon seluler milik narapidana kasus terorisme. Seorang tahanan yang tidak terima atas aksi penggeledahan melakukan provokasi dan memicu kerusuhan yang dapat diselesaikan tanpa menimbulkan korban.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tidak takut terorisme
Teror yang diarahkan kepada aparat kepolisian mendapat perhatian publik lewat tagar 'Tindak Tegas Teroris'. Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/5/2018) juga angkat suara. "Negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak akan pernah memberi ruang kepada terorisme dan upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara." Ed: ts/ (dari berbagai sumber).
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
10 foto1 | 10
Politisasi Brimob
Nama Brimob sudah terlanjur melegenda, wajar bila mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Dibanding korps lain dalam jajaran Polri, seperti reserse, korlantas, sabhara, dan seterusnya, adalah Brimob yang paling dikenal publik. Mungkin karena kebesaran namanya pula, ada pihak lain yang berusaha melemahkan dirinya. Begitulah takdir sebagai satuan besar, politisasi dari pihak di luar dirinya menjadi tak terhindarkan lagi.
Salah satunya terjadi di masa kepemimpinan Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Bagi matra darat, era kepemimpinan Benny bisa jadi adalah kenangan indah, namun tidak bagi Korps Brimob. Pada era Benny, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, selain hanya dipimpin perwira berpangkat kombes (kolonel), struktur komandonya sekadar "dititipkan” pada Direktorat Samapta Mabes Polri, jadi bukan sebagai Korps yang berdiri sendiri. Direktur Samapta sendiri saat itu berpangkat brigjen, setara dengan Direktur Reserse Mabes Polri, semantara posisi Kabareskrim Mabes Polri sekarang adalah pati bintang tiga (komjen).
Pada waktu bersamaan, figur legendaris Brimob (khususnya bagi Resimen Pelopor) yakni Jenderal Anton Sujarwo menjabat Kapolri. Terlihat ada faktor politis di sini, seolah memang ada grand design Benny untuk mengecilkan peran Brimob. Sementara Anton Soejarwo sebagai sesepuh Brimob, tidak mampu berbuat banyak bagi Brimob yang sedang menghadapi cobaan kala itu. Bagi yang paham zaman itu, memang seolah terjadi saling "sandera” antara Benny dan Anton, mengingat keduanya adalah segenerasi dan sama-sama tokoh kebanggaan dari satuan asal.
Begitu juga di masa Orde Lama, nama besar Brimob justru menempatkannya pada posisi dilematis. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Brimob juga sempat terseret-seret dalam wilayah politis praktis, yang terbukti merugikan citra satuan di kemudian hari. Begitu dekatnya hubungan emosional antara Bung Karno dengan Brimob, terlihat ketika Bung Karno mengorbitkan seorang perwira Brimob berpangkat Kombes menjadi Kapolri, yakni Sutjipto Danukusumo (Kapolri 1964-1965). Itu bisa terjadi, mengingat pasukan Brimob di bawah Komisaris Sutjipto yang mengawal Bung Karno di masa-masa awal kemerdekaan dulu, ketika satuan semacam Paspampres belum lagi dibentuk.
Salah satu cara Brimob untuk merebut kembali kepercayaan publik, adalah dengan meningkatkan kemampuan satuan, seraya mengambil jarak dengan politik kekuasaan. Salah satu kemampuan yang paling aktual untuk ditingkatkan – baik di tingkat satuan kecil maupun perorangan – adalah dalam hal antiteror. Dengan mengasah kemampuan di bidang ini, Brimob telah memberi andil besar bagi terciptanya rasa aman masyarakat, yang memang merupakan visi Brimob sejak didirikan dulu.
Amerika Negeri Polisi
Militerisasi kepolisian AS mulai menggerogoti stabilitas negeri. Langkah yang dulu diperlukan dalam perang obat bius itu malah meracuni mentalitas instansi kepolisian dan berbalik mengancam hak-hak warga sipil
Foto: Getty Images/S.Platt
Perang Narkoba
Saat ini Amerika Serikat memperkerjakan hingga 900.000 aparat kepolisian. Jumlah tersebut membengkak sejak dekade 1990an. Pada saat itu di AS berkecamuk perang obat bius antara kepolisian dan kartel narkoba. Sejak saat itu setiap tahun satuan khusus kepolisian yang bernama SWAT diterjunkan sebanyak 50.000 kali dalam setahun dari yang sebelumnya cuma 3000.
Foto: Reuters/L. Jackson
Militerisasi Aparat
Untuk memperkuat kepolisian dalam perang narkoba pemerintah AS di era Presiden Bill Clinton mengesahkan National Defence Authorisation Act yang antara lain mencantumkan "program 1033." Butir tersebut mengizinkan kepolisian lokal mendapat peralatan militer semisal senapan serbu, baju pelindung atau bahkan kendaraan lapis baja dan senjata pelontar granat.
Foto: Getty Images/S.Eisen
Dana Raksasa
Antara 2002 hingga 2011 pemerintahan federal AS telah mengucurkan dana sebesar 35 miliar Dollar atau sekitar 450 triliun Rupiah kepada polisi lokal untuk perang melawan obat bius dan terorisme. Yayasan American Civil Liberties Union (ACLU) mencatat nilai perlengkapan militer yang digunakan polisi meningkat dari 1 juta Dollar di tahun 1990 menjadi 450 juta di tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Lauer
Racun di Kepolisian
Tapi perang narkoba ikut meracuni mentalitas aparat keamanan AS. Polisi yang dulunya bekerja untuk melayani warga, kini menjadi serdadu dengan tugas membunuh. Tidak heran jika kasus penembakan oleh polisi meningkat tajam. Tahun 2015 silam polisi AS menembak mati 90 orang yang tidak bersenjata tanpa alasan jelas.
Foto: Reuters/A. Latif
Tentara Pendudukan
Pertengahan tahun lalu Presiden Barack Obama mengeluhkan betapa "perlengkapan militer justru membuat polisi merasa seakan-akan menjadi tentara pendudukan dan ini bertentangan dengan peran melindungi warga." Namun demikian gagasan demilitarisasi kepolisian selama ini selalu menemui perlawanan di parlemen dan senat, terutama berkat lobi industri senjata.
Foto: Getty Images/S.Platt
Senjata Perang Seharga Kacang
Celakanya program 1033 sering disalahgunakan. Departemen Kepolisian di Watertown, sebuah kota kecil berpenduduk 22.000 jiwa di Connecticut, misanya beberapa tahun silam mendapat kendaraan lapis baja MRAP yang didesain untuk melindungi serdadu dari jebakan ranjau di pinggir jalan. Untuk itu kepolisian lokal cuma membayar 2800 Dollar. Ironisnya Watertown tidak pernah mencatat kasus jebakan ranjau
Foto: Reuters / Mario Anzuoni
Bias Rasial
Demam militer juga melanda kepolisian lokal di kota-kota kecil Amerika. Kepolisian di Bloomington, Georgia, yang berpenduduk cuma 2700 orang saat ini memiliki empat senjata pelontar granat. Situasi itu diperburuk dengan pendekatan kepolisian terhadap kaum minoritas hitam yang cendrung bias rasial. Menurut ACLU kaum Afrika-Amerika adalah yang paling sering menjadi korban brutalitas kepolisian.
Foto: Getty Images/S.Platt
Serdadu Berburu Baju Curian
Januari silam polisi di negara bagian Iowa menurunkan tim bersenjata lengkap untuk menyerbu sebuah rumah. Misi mereka adaah mencari benda curian seharga 1000 Dollar AS. Ketika diketahui pemilik rumah yang berkulit hitam tidak bersalah dalam kasus tersebut, polisi lalu memublikasikan catatan kriminal mereka untuk membenarkan penyerbuan.
Foto: picture-alliance/dpa/A.Welch Edlund
Nyawa Tanpa Warna
Polisi berdalih perlengkapan militer dibutuhkan untuk melindungi warga dari kejahatan berat semisal penembakan massal. Namun brutalitas aparat keamanan yang dalam banyak kasus sering disisipi bias rasial memicu ketegangan sipil di seantero negeri. Komunitas kulit hitam sampai-sampai membuat gerakan sipil bernama "black lives matter".
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. J. Wambsgans
Dukungan Pemerintah
Ironisnya kepolisian juga kerap menindak keras demonstran yang turun ke jalan buat menentang brutalitas aparat keamanan. Dalam berbagai aksi protes seperti di Ferguson atau Phoenix, polisi menangkap aktivis dan bahkan wartawan. Terebih sebagian besar perwira yang terlibat dalam penembakan terhadap warga sipil divonis bebas oleh pengadilan.
Foto: Reuters/A. Latif
10 foto1 | 10
Sinergi dengan TNI
Meredusi aspek militeristik juga bisa diimplementasikan dalam pelayanan yang adil dan imparsial, penggunnaan kekerasan yang minimal. Reformasi Polri tidak boleh ketinggalan dengan reformasi yang terjadi di kementerian dan lembaga negara lain. Dalam konteks pertahanan negara, Brimob dengan kekuatan dan kompetensinya mampu menjadi instrumen pendukung utama bagi kegiatan TNI dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang datang dari dalam dan luar negeri. Demikian pula pada operasi-operasi kemanusiaan dan bencana, sesuai dengan semboyan Korps Brimob: Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan.
Bila selama ini terkesan ada konlik laten antara TNI (khususnya matra darat) dan Brimob, baik secara keanggotaan dan institusi, kini asumsi perlu dibalik, sesuai dengan perkembangan zaman. Brimob dan TNI AD memiliki domain penugasan sendiri-sendiri, dan ada undang-undang yang memayunginya. Sehingga tidak cukup alasan untuk terus bersaing, berdasarkan kebanggaan (berlebihan) korps. Kini yang dibutuhkan adalah sinergi dan koordinasi antara TNI, khususnya pada unit pasukan khusus, dengan satuan dengan kualifikasi setara di Brimob.
Arti penting koordinasi dan tukar informasi kini semakin semakin terasa, mengingat ada "perkembangan” dalam bentuk teror: dari teroris (sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda). Sebagaimana diketahui, unit-unit antiteror di negeri kita, pada umumnya dilatih untuk menghadapi aksi-aksi teror dari sekelompok teroris, artinya yang dihadapi adalah sekelompok manusia juga, seperti pembajakan pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang dihadapi adalah bom, perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.
Kemampuan yang ada selama ini, adalah sebatas melumpuhkan atau menjinakkan bom, yang belum sempat meledak dan sudah diketahui keberadaannya. Tugas ini biasa dilakukan oleh unit Jihandak (Penjinakan Bahan Peledak) dari Gegana Brimob Polri dan satuan dari Zeni AD.
Lebih spesifik lagi, dibutuhkan koordinasi antara personel unit intelijen dan unit antiteror. Biasanya memang personel intel dan antiteror berada dalam satuan yang terpisah. Seperti di Kopassus misalnya, unit intel tergabung dalam Grup 3/Sandi Yudha, sedang unit antiteror tergabung dalam Satgultor 81(Satuan Penanggulangan Teror). Demikian juga yang terjadi dalam Resimen IV/Gegana Brimob Polri. Fungsi intelijen dipegang oleh Detasemen A, sementara Detasemen C menjalankan fungsi antiteror.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Teroris Bersenjata Tajam Sambangi Mapolda Riau
Lima terduga teroris menyerang mapolda Riau di Pekanbaru dan menewaskan seorang petugas. Empat penyerang berhasil dilumpuhkan. Polisi meyakini JAD jaringan Riau mendalangi serangan tersebut.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Arbi
Serangan Rabu Pagi
Rangkaian serangan teror di Indonesia belum tuntas. Sesudah serangan di Surabaya, kini sebanyak lima pria tak dikenal menyerbu gedung Kepolisian Daerah Riau di Pekanbaru. Mereka mengendarai mobil dan mencoba menerobos masuk ke dalam kompleks mapolda.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Empat Menghunus Pedang
Empat pelaku dikabarkan menghunus pedang dan menyerang petugas yang berada di sekitar. Akibatnya sejumlah petugas mengalami luka bacok. Polisi kemudian berhasil menewaskan keempat penyerang dan menangkap supir yang mengendarai mobil para teroris.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Gugurnya Ipda Auzar
Pelaku sempat menabrak seorang aparat yang sedang bertugas. Ipda Auzar meninggal dunia setelah dilarikan ke RS Bhayangkara. Polisi kemudian menerjunkan tim Gegana untuk memeriksa apakah para pelaku menyimpan bom di dalam mobil.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Siaga di Mapolda
Sejumlah awak media mengalami luka-luka akibat terserempet mobil tersangka teroris. Ketika peristiwa ini terjadi aparat dan awak media sudah memenuhi kompleks Mapolda Riau menyusul rencana jumpa pers terkait penanganan narkoba.
Foto: Getty Images/AFP/WAHYUDI
Sepak Terjang Jaringan Riau
Polisi sempat mencurigai kelompok Jemaah Ansharud Daulah bertanggungjawab atas serangan tersebut. Terutama sel JAD lokal yang dikenal sebagai Jaringan Riau sejak lama aktif menyiapkan serangan teror di Sumatera. Sejauh ini polisi berhasil menggagalkan rencana mereka.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Teror Disusul Gelombang Penggerebekan
Namun belakangan ketahuan, pelaku serangan merupakan kelompok Negara Islam Indonesia yang berafiliasi dengan sel ISIS di Dumai. Kepolisian kini sibuk mengerahkan penggerebekan di sejumlah kota. Selain mengamankan 20 tersangka teroris di Jawa dan Tanggerang, polisi juga dikabarkan berhasil menciduk Amir JAD Jawa Timur, Syamsul Arifin di Malang. (rzn/yf - ap, rtr, detik, kompas, tribun)