Secara militer, Eropa sangat tergantung dari dukungan AS dan payung nuklirnya. Tapi kini muncul gagasan emansipasi Eropa. Pakar pertahanan menyoroti, bagaimana kemandirian militer bisa sukses.
Iklan
Pidato Kanselir Jerman Angela Merkel yang menegaskan, Eropa harus mengambil alih bagian besar dari kemandirian sistem pertahanan, memicu gejolak baru. Di sisi lain, presiden AS Donald Trump tetap ngotot dengan tudingannya, bahwa banyak negara anggota NATO berbuat terlalu sedikit untuk sektor pertahanannya.
Terutama yang disasar adalah negara dengan anggaran militer di bawah kesepakatan bersama dua persen dari produk domestik brutto. Amerika juga mengancam akan membatasi dukungannya terhadap negara-negara anggota NATO tersebut. Pertanyaanya, jika Trump serius dengan ancamannya, bagaimana Eropa dapat menjamin keamanannya?
'We Europeans have our fate in our own hands'
00:40
Waktunya untuk perubahan
Menimbang ancaman Trump tersebut, mantan ketua lembaga keamanan Eropa, Nick Witney menyatakan, inilah alasan mendesak sekaligus kesempatan terbaik untuk melakukan reformasi.
Witney menyebut dalam tema pertahanan Eropa, muncul berbagai faktor yang bisa memperkuat kepercayaan diri Eropa. Ia menyebut beberapa diantaranya, yakni ancaman Trump di satu sisi, tekanan Rusia di sisi lainnya, serta terpilihnya Emmanuel Macron sebagai presiden Perancis.
Gertakan Militer Trump
Belum lama memangku jabatan sebagai presiden AS, tapi Donald Trump sudah lancarkan sejumlah aksi militer riskan. Bagaimana dampaknya pada perdamaian global?
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Locher
Tomahawk Buat Assad
Trump kerap tabuh genderang perang dan lontarkan ancaman opsi militer lewat pesan pendek twitter. Aksi nyata baru dilakukan awal April 2017 dengan serangan peluru kendali Tomahawk ke pangkalan angkatan udara Suriah. Pemicunya tuduhan bahwa pasukan Al Assad lancarkan serangan gas beracun ke kawasan yang dikuasai pemberontak Suriah dan tewaskan 80 warga sipil.
Foto: picture-alliance/AP Images/US Navy/F. Williams
Rusia dan Iran Disasar
Sasaran sebetulnya dari serangan rudal Tomahawk itu adalah Rusia dan Iran. Moskow yang jadi sekutu erat rezim di Damaskus hendak ditekan untuk menceraikan Bashar al Assad. Rusia dan Iran balik meminta pengusutan independen terkait kasus serangan gas beracun di kubu pemberontak itu.
Foto: Reuters/S. Karpukhin
Korea Utara Digertak
Serangan rudal ke Suriah juga disebut untuk membuat jera rezim Korea Utara. Sebagai gertakan tambahan, Trump memerintahkan armada pemukul Carl Vinson mengubah haluan ke perairan Korea. Jawaban dari Pyongyang cukup tegas, jika diserang negara komunis itu akan membalas tanpa ampun, bahkan dengan senjata atom.
Foto: picture-alliance/Zumapress/M. Brown
Manuver dengan Korea Selatan
Gertakan AS ditambah dengan latihan pengerahan logistik perang bersama Korea Selatan. Latihan Militer ini diikuti 50 kapal perang, ratusan kendaraan berat dan lebih 7000 serdadu. Sebelumnya Washington juga mengirim sistem penangkis rudal THAAD ke Korsel, yang memicu kemarahan Cina.
Foto: Reuters/U.S. Department of Defense/Missile Defense Agency
Induk Semua Bom buat ISIS
Belum lagi konflik mereda, Trump perintahkan aksi militer menghebohkan. Yakni melancarkan pemboman dengan“Induk Semua Bom“ atau MOAB yang merupkan bom non-nuklir terkuat ke sarang Islamic State –ISIS di Afghanistan. Tujuannya menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah milik ISIS. Korban tewas lebih 100 anggota militan.
Foto: picture-alliance/DoD/Newscom
Siapkan Bom Atom?
Kini militer AS juga mulai menguji coba bom atom versi terbaru dari tipe B61-12. Disebutkan, bom seberat 350 kg itu punya daya ledak 10 kali lipat bom non-nuklir terbesar MOAB. Apakah AS juga akan mengerahkan bom atom sebagai gertakan militer? Apakah Trump berani memicu perang atom? Semua diamati dengan tegang. Foto: rudal di armada Carl Vinson. Ed:as/ap(dari berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/AP Photo/Hasan Jamali
6 foto1 | 6
Witney dalam perbincangan dengan DW juga menekankan, Eropa harus berhenti meratap dan segera memanfaatkan kondisi aktual ini sebagai "alarm" untuk bangun. "Kini diperlukan kajian mendasar, di posisi mana Eropa kekurangan material?. Di mana uang dikeluarkan untuk hal-hal yang tidak penting, dimana ada struktur ganda yang bisa dihapus?", ujar Witney yang kini bekerja untuk lembaga tangki pemikir European Council on Foreign Relations (ECFR).
Menarik konsekuensi dari misi di Libya
Lebih jauh Witney juga mendesak Eropa, untuk menarik pelajaran berharga dari misi Libya tahun 2011. "Saat itu, pemerintahan di Eropa berambisi mengambil alih pimpinan operasi militer ke Libya. Tapi nyatanya, mereka samasekali tidak mampu menawarkan sistem dinas rahasia, mata-mata dan pengawasan yang handal".
Bahkan dalam masalah amat mendasar, seperti amunisi, Eropa dengan cepat kehabisan persediaan. Pada akhirnya, militer Amerika Serikat harus kembali campur tangan. Karena itu Witney menyarankan konsekuensinya untuk menonaktifkan ratusan ribu bom. Sebagai gantinya lebih banyak menginvestasikan uang dalam pengembangan amunisi "pintas".
MOAB: Raja Semua Bom Konvensional
Militer AS untuk pertamakali menggunakan bom raksasa GBU-43/B yang juga disebut sebagai bom non-nuklir paling kuat dalam sejarah. Daya ledaknya diyakini setara dengan peluru artileri nuklir berukuran kecil.
Foto: Public Domain
Kartu Truf Militer AS
Dijuluki raja semua bom, GBU-43/B alias MOAB merupakan bom konvensional paling sakti dalam sejarah. Bobotnya yang hampir mencapai 11 ton dan dilengkapi dengan sistem pemandu berbasis GPS membuat amunisi yang satu ini dianggap sebagai kartu truf milik militer AS. MOAB dikembangkan saat perang Irak untuk menghancurkan tempat persembunyian di bawah tanah.
Menurut protokol yang berlaku, GBU-43/B hanya bisa dilepaskan dari ketinggian 20.000 kaki. Rudal sepanjang embilan meter ini akan menukik dengan kecepatan supersonik sebelum meledak di ketinggian 1,8 meter di atas tanah. Desainnya memungkinkan ledakan MOAB menerobos permukaan berbatu, atau beton bertulang baja.
Foto: picture-alliance/ZUMA Wire/US Air Force
Ledakan Udara
Arsitektur GBU-43/B mengikuti konsep "air burst weapon" alias bom yang meledak di udara. Bom yang meledak ketika menyentuh target biasanya melepaskan sebagian besar energi ke bawah tanah atau ke udara. Sebaliknya bom udara layaknya MOAB menghamburkan daya ledaknya ke samping. Konsep tersebut ampuh buat membunuh orang di radius ratusan kilometer atau merusak sistem pernafasan korban.
Foto: picture-alliance/DoD/Newscom
Diangkut dan Ditendang
Pertamakali militer AS menggunakan MOAB dalam konflik adalah buat melumat tempat persembunyian ISIS di Afghanistan. Diangkut dengan menggunakan pesawat khusus, Lockheed MC-130, bom raksasa ini harus "ditendang" dari ruang kargo lantaran bentuk dan bobotnya yang besar. Pentagon mengklaim ledakan MOAB merupakan yang paling eksplosif di antara bom yang digunakan militer AS dalam satu dekade terakhir.
Foto: Public Domain
Bom Mahal
Pada ujicoba di Florida, ledakan MOAB menimbulkan gumpalan asap setinggi 3000 meter dan kilat cahayanya bisa dilihat hingga kejauhan 40 kilometer. Harganya dibanderol di kisaran 14 juta Dollar AS atau sekitar 182 miliar Rupiah. Bom ini dikembangkan buat menggantikan BLU-82 Daisy Cutter, yang dibuat untuk membersihkan hutan pada Perang Vietnam dan lalu buat membersihkan ranjau pada perang Irak.
Foto: Reuters/U.S. Air Force
Kurang Efektif buat Perang
Namun Moab bukan tanpa cacat. Saking besarnya, bom ini hanya bisa digunakan pada kasus tertentu dan membutuhkan pesawat angkut yang khusus dikembangkan untuk membawa bom berbobot besar. Sebab itu pula Pentagon belum pernah menggunakan GBU-43/B pada operasi militer yang lalu. Namun buat melumat markas ISIS di antara pegunungan Afghanistan, bom ini dinilai cocok.
Foto: picture-alliance/DoD/Newscom
Senjata anti Teror?
Menurut pemerintah Afghanistan, ledakan MOAB menewaskan 36 gerilayawan Islamic State. Misi tersebut menjadi acuan bagi penggunaan MOAB di masa depan. Pengamat berspekulasi, militer AS akan lebih sering menggunakan bom ini dalam perang melawan terorisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
7 foto1 | 7
Juga senada dengan Witney, direktur Egmont Institut di Belgia, Sven Biscop mengkaitkan harapan kemandirian pertahananan Eropa dengan lebih banyak kerjasama di bidang anggaran pertahanan dann investasi.
"Jika kepentingan militer AS tidak lagi cocok dengan Eropa, tidak ada pilihan lain, Eropa harus menentukan sendiri nasibnya", ujar Biscop dalam wawancara dengan DW. Ia menyebut, jika Trump mengedepankan politik "America First" maka Eropa pun harus memiliki sikap sama "Europe First".
Eropa masih terlalu lemah
Menyinggung gambaran ancaman dari Rusia, Biscop menekankan, sebetulnya Rusia lebih lemah ketimbang yang diperkirakan. "28 negara anggota Uni Eropa dengan total 1,5 juta serdadunya jauh lebih kuat, tapi tidak cukup handal", ujar pakar pertahanan Belgia ini.
Karena itulah Eropa tetap tergantung dukungan AS, jika operasinya sudah melewati batasan teritorial Eropa. "Masalahnya, Uni Eropa tidak menanam investasi dalam perlengkapan militer strategis, seperti pesawat transport jarak jauh, pesawat pengisi bahan bakar di udara, sistem satelit atau drone" kritik Biscop.
Uni Eropa harus menentukan prioritas untuk meningkatkan kemampuannya. Biscop mengharapkan, Merkel dan Macron bisa jadi inti perhimpunan negara yang ingin kemandirian pertahanan Eropa. Karena kedua negara bisa menanggung beban biaya yang cukup tinggi.
Sementara Witney juga memandang pada payung pelindung senjata nuklir AS di Eropa, yang sejauh ini mampu jadi pengimbang kekuatan nuklir Rusia. "Jika garansi AS di bidang perlindungan senjata nuklir ditarik, maka perimbangan kekuatan dengan Rusia juga akan berubah", ujarnya menambahkan. Witney menyarankan, kerjasama senjata atom di Eropa harus terus ditingkatkan.
Negara Pemilik Bom Atom
Meskipun tuntutan perlucutan senjata nuklir semakin kuat, di seluruh dunia masih terdapat sekitar 16.300 bom atom. Berikut negara-negara pemilik senjata pemusnah massal ini.
Foto: Reuters
Rusia
Negara ini merupakan pemilik senjata nuklir terbesar, demikian menurut lembaga penelitian asal Swedia, Stockholm Peace Research Institute (SIPRI). Rusia saat ini memiliki 8.000 hulu ledak nuklir. Negara ini pertama kali melakukan uji coba senjata nuklir pada tahun 1949.
Foto: Getty Images/AFP/N. Kolesnikova
Amerika Serikat
Negara ini merupakan satu-satunya yang pernah menggunakan bom atom dalam perang. Saat ini, Ameriika Serikat masih memiliki 7.300 bom atom.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Jamali
Perancis
Setelah Rusia, Perancis merupakan negara Eropa yang terbanyak menyimpan senjata nuklir. Negara ini mulai mengembangkan senjata nuklir pada tahun 1960, dan saat ini memiliki 300 hulu ledak nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa/J.-L. Brunet
Cina
Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di Asia dan dengan jumlah tentara terbanyak di Dunia ini, diperkirakan memiliki 250 bom atom. Cina melakukan uji coba pertama senjata nuklir pada tahun 1964.
Foto: Getty Images
Inggris
Sekutu terdekat Amerika Serikat ini memiliki 225 senjata nuklir. Inggris pertama kali lakukan uji coba nuklir pada tahun 1952.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Kaminski
Pakistan
Negara yang pernah berperang sebanyak tiga kali dengan negara tetangganya, India ini diperkirakan memiliki 100 sampai 120 hulu ledak nuklir. Negara di Asie Selatan ini mulai mengembangkan senjata nuklir pada tahun 1998.
Foto: picture-alliance/AP
India
Negara ini melakukan uji coba nuklir pertama tahun 1974, sementara yang kedua dilakukan pada tahun 1998. India diperkirakan memiliki 90-100 bom atom. Negara ini berjanji tidak akan menggunakan senjata pemusnah massal untuk menyerang pertama dan tidak akan menggunakannya terhadap negara yang tak punya senjata nuklir.
Foto: Reuters
Israel
Sangat sedikit informasi tentang program nuklir negara ini yang diketahui masyarakat internasional. Israel diperkirakan memiliki 80 senjata nuklir.
Foto: Reuters/B. Ratner
Korea Utara
Dengan bantuan teknologi dari Pakistan, Korea Utara setidaknya berhasil memiliki enam hulu ledak nuklir. Meskipun masyarakat internasional menerapkan berbagai tekanan dan Embargo, sejak tahun 2006 negara ini tetap rajin melakukan uji coba senjata nuklir.