1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiArab Saudi

Bagaimana Nasib Proyek Ambisius Visi 2030 Arab Saudi?

25 Juni 2024

Lereng ski di gurun pasir dan kota pencakar langit penuh cermin: Visi 2030 Arab Saudi yang sangat mahal. Tapi, peristiwa baru-baru ini menunjukkan negara kaya minyak ini tidak mampu membiayai itu semua.

Visi 2030 Arab Saudi
Kota pencakar langit 'The Line', seharusnya mampu menampung 1,5 juta orang; kini hanya mampu untuk 300 ribu orangFoto: Balkis Press/ABACA/picture alliance

Ketika rencana-rencana ambisius Arab Saudi diluncurkan, banyak yang mengagumi skala dan kemegahannya. Visi 2030 yang digadang sebagai langkah untuk melakukan diversifikasi dari ketergantungan Saudi pada pendapatan minyak, mencakup mulai dari lereng ski di gurun pasir, kota khusus untuk olahraga dan hiburan, hingga kota yang netral karbon, Neom. 

Visi 2030 ini mengubah persepsi internasional terhadap Arab Saudi. Berbagai rencana proyek ini adalah tanda kelahiran modernisasi di negara yang konservatif secara religius itu. Negara yang diperintah oleh keluarga kerajaan otoriter yang tidak mengizinkan perbedaan pendapat politik maupun sosial.

Namun, sejak rencana ambisius ini diumumkan pada 2015 lalu, banyak hal telah berubah. Beberapa bulan terakhir, para menteri di pemerintahan Arab Saudi menjelaskan bagaimana Visi 2030 itu justru kini dikurangi cakupannya.

Desember lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Mohammed al-Jadaan mengatakan, beberapa proyek Visi 2030 itu akan ditunda. Pada April, dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Riyadh, al-Jadaan juga mengatakan Arab Saudi saat ini sedng beradaptasi dengan keadaan.

Menkeu Arab Saudi mengatakan ada tantangan biaya untuk menyesuaikan keadaan saat iniFoto: Tu Yifan/Xinhua/picture alliance

Sebagai contoh, garis cermin pencakar langit raksasa yang mengkilap di tengah gurun pasir yang disebut "The Line”, adalah salah satu sub-proyek terpenting Neom. Tetapi, pengerjaannya dikurangi dari busur sepanjang 170 kilometer menjadi hanya lebih dari dua kilometer saja.

Ini juga bukan penyesuaian pertama untuk proyek Neom, yang seharusnya selesai pada 2030 nanti. Tetapi, tampaknya proyek ini akan memakan waktu 20 tahun lagi untuk selesai. Di mana sebelumnya, proyek ini diperkirakan menelan biaya sekitar $500 miliar (Rp8,1 kuadriliun), tetapi anggaran Neom membengkak hingga $2 triliun (sekitar Rp32,7 kuadriliun), kata para pengamat.

Penundaan dan bengkaknya anggaran

Aspek-aspek lain dari Visi 2030 Arab Saudi ini juga belum berjalan sesuai rencana. Beberapa proyek lain yang lebih ambisius dimaksudkan untuk menarik investor asing masuk ke negara itu, tetapi tingkat investasi asing untuk negara itu jauh lebih rendah dari perkiraan. Para analis mengatakan, ketidakstabilan regional seperti konflik di Gaza dan kurangnya transparansi aturan Arab Saudi membuat para investor masih ragu-ragu.

Meski Arab Saudi diharapkan mampu menanggung sebagian besar biaya untuk proyek Visi 2030 itu, tetapi kini terpaksa harus membayar keseluruhan biayanya.

Pada 2023, pemerintah Saudi memperkirakan akan ada investasi asing yang masuk, tapi jauh lebih rendah dari yang diperkirakanFoto: Coust Laurent/ABACA/picture alliance

Sebagian besar uang untuk proyek ini berasal dari Dana Investasi Publik (PIF), salah satu dana kekayaan negara terbesar di dunia, yang didukung oleh pendapatan minyak Saudi.

Pada Maret lalu, pemerintah Saudi mengalihkan 8% saham perusahaan minyak milik negara, Aramco, ke PIF. Itu berarti PIF memegang 16% saham Aramco senilai $2 triliun (sekitar Rp32,7 kuadriliun), menjadikannya perusahaan paling bernilai keempat di dunia. Meski PIF mengelola portofolio aset senilai $940 miliar (sekitar Rp15,3 kuadriliun), PIF hanya memiliki dana sekitar $15 miliar (sekitar Rp245 triliun), kata para kritikus.

Para analis juga mengatakan, ketergantungan pada harga minyak inilah yang membuat proyek-proyek Visi 2030 menjadi rentan. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, Saudi membutuhkan harga minyak sekitar $96 (sekitar Rp1,5 juta) per barel untuk mencapai Visi 2030 itu.

Di tahun ini, harga satu barel minyak mentah, yang sering digunakan sebagai indikator untuk pasar minyak, sejauh ini naik dari sekitar $70 (sekitar Rp1,1 juta) di bulan Januari menjadi sekitar $81 (sekitar Rp1,3 juta) bulan ini.

Media bisnis Bloomberg pekan ini juga melaporkan, Arab Saudi telah menjadi penerbit obligasi terbesar di antara negara-negara berkembang, mengalahkan negara Cina untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade.

Obligasi pemerintah itu diterbitkan untuk membiayai pengeluaran publik. Obligasi ini adalah sebuah bentuk pinjaman, di mana pemerintah yang menerbitkannya membayar bunga kepada para pemegang obligasi.

Saudi mengambil lebih banyak pinjaman itu dibanding tahun-tahun sebelumnya, demi menutupi kurangnya investasi asing di negara itu, lapor Bloomberg. Para bankir juga mengatakan kepada media itu bahwa Arab Saudi tidak akan mampu menerbitkan obligasi secara terus-menerus seperti ini dalam jangka waktu yang lama, karena biaya untuk membayar bunganya juga akan menjadi lebih besar.

Pada pertengahan Juni ada laporan bahwa perusahaan yang didanai Saudi diminta memotong anggaranFoto: Asmaa ElTouny/TheMiddleFrame/picture alliance

Apakah Visi 2030 terancam gagal?

"Dengan kombinasi berbagai faktor, harus disimpulkan bahwa ada tingkat tertentu dari kebijakan ekonomi yang sedang berlangsung [di Arab Saudi] saat ini," kata Robert Mogielnicki, seorang peneliti senior di Institut Negara Teluk Arab di Washington.

Beberapa pernyataan baru-baru ini dari para pejabat Arab Saudi, yang menyatakan bahwa proyek-proyek tertentu mungkin perlu dikaji ulang itu, bahkan dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa, kata Mogielnicki, seraya menambahkan, "ini adalah sesuatu yang belum pernah kita dengar sejak peluncuran Visi 2030."

Namun, Mogielnicki juga berpendapat, "status Visi 2030 ini tidak begitu spektakuler, tidak juga seburuk yang dibayangkan banyak orang. Kenyataannya berada di tengah-tengah.”

Beberapa aspek dari Visi 2030 Arab Saudi ini berjalan dengan baik. Laporan "paruh waktu" pada Februari dari bank investasi AS, Citigroup menemukan fakta, tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja, tingkat kepemilikan rumah warga setempat, dan pendapatan dari sektor-sektor yang tidak terkait dengan minyak, semuanya mengalami "kemajuan yang signifikan."

Dalam sebuah pernyataan di bulan ini, setelah melakukan kunjungan ke Arab Saudi, para peneliti IMF menyimpulkan, "transformasi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara ini berjalan dengan baik." Para peneliti itu juga menyambut baik "reprioritisasi pengeluaran" untuk Visi 2030 tersebut.

Proyek ini sangat bervariasi dan didasarkan pada pengembangan yang cepat. Penambahan biaya di beberapa proyek Visi 2030 yang jauh lebih mahal dari perkiraan menjadi penanda mengapa diperlukannya peninjauan kembali, kata Mogielnicki. Beberapa proyek, seperti pengembangan hidrogen hijau, kini dipandang jauh lebih bermanfaat, sementara proyek lainnya akan diberikan penguluran jangka waktu yang lebih lama.

Namun, semua ini kemungkinan tidak akan menggoyahkan cengkeraman keluarga penguasa Saudi, tambahnya.

"Saudi jelas masih memiliki banyak kartu untuk dimainkan, tetapi juga benar bahwa saat ini mereka tidak beroperasi dengan tangan terkuat," ungkap Mogielnicki. "Ini [Visi 2030] telah memulai pergeseran besar dan mendasar dalam lintasan ekonomi dan sosial Arab Saudi. Tapi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan." (kp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait