1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikSwiss

‘Netralitas’ Bursa Swiss Ikut Mengisi Pundi Perang Rusia

18 Maret 2022

Hampir 80% minyak Rusia dijual melalui bursa Swiss. Perdagangan itu menjamin hujan rejeki bagi kedua negara. Kini, pemerintah di Bern didesak tanggalkan prinsip “tutup mata” untuk menyetopp keran duit bagi Moskow.

Demonstrasi antiperang di Swiss
Demonstrasi di Swiss menentang pembelian minyak dan gas dari RusiaFoto: Manuel Geisser/IMAGO

Setiap tahun, diperkirakan sekitar USD 1000 miliar bertukar tangan di bursa komoditas Swiss. Negeri di jantung Pegunungan Alpen itu merupakan salah satu pusat perdagangan bahan mentah terbesar di dunia. Sebanyak 35 persen produk minyak dan gas dunia diperdagangkan di sini. Juga duapertiga perdagangan gandum dan biji-bijian serta logam penting, seperi aluminium, tembaga atau seng dilakukan di bursa Swiss ini.

Tidak heran jika lima perusahaan terbesar di Swiss bukan berasal dari sektor perbankan atau farmasi, melainkan dari sektor perdagangan komoditi. Faktanya, sebagian besar dari 900 perusahaan yang aktif di bursa komoditas dunia berkantor pusat di Jenewa, Zug atau Lugano. 

Keistimewaan Swiss terletak pada netralitas politik dan kemudahan instrumen keuangan untuk perdagangan migas yang membutuhkan kapital dalam jumlah besar. Dalam skema ini, pemerintah di Bern dan sektor perbankan Swiss memetik keuntungan dari setiap transaksi yang dibuat di lantai bursa.

Menyusul sanksi ekonomi terhadap Rusia, peran Swiss sebagai perantara bisnis bagi Moskow, ikut terseret menjadi pusat perhatian.

Menurut laporan Kedutaan Besar Swiss di Moskow, sebanyak 80 persen minyak dan gas Rusia diperdagangkan di bursa komoditas Swiss. Kanal bisnis ini bersifat vital bagi kas negara, lantaran menyumbang hingga 40 persen pemasukan ke anggaran belanja Rusia. 

Gas tetap mengalir dari Rusia ke Eropa melalui pipa yang ada, termasuk melalui Ukraina. Sebagian besar gas yang diekspor Rusia diperdagangkan melalui Swiss.

Minim regulasi untungkan transaksi gelap

Masalah terbesar dalam model bisnis yang dikembangkan Swiss adalah ketiadaan data dan informasi, lantaran minyak atau gas yang diperdagangkan dikirim langsung dari negara penjual ke penerima, sehingga tidak melalui pencatatan bea cukai. 

Hanya Bank Nasional Swiss yang kadang-kadang memublikasikan data dalam skala terbatas. "Perdagangan komoditas sama sekali tidak tercatat dan minim regulasi,” kata Elisabeth Bürgi Bonanomi dari Universitas Bern.

"Jadi, Anda harus mengais data dan tidak semua informasi bisa didapat,” imbuhnya. Alhasil, hanya segelintir yang tahu perihal siapa yang membeli minyak dari mana dengan harga berapa. "Ada sejumlah perusahaan yang tidak terlacak radar pemerintah dan tidak diketahui siapa pemiliknya,” kata Oliver Classen dari lembaga penelitian, Public Eye, kepada stasiun TV Jerman, ARD.

Hal ini dinilai menyuburkan praktik bisnis gelap dan membuka peluang bagi pembiayaan perang atau tindak kriminal. "Dibandingkan dengan pasar uang, yang dipenuhi aturan untuk memerangi kejahatan pencucian uang atau pembiayaan ilegal, saat ini perdagangan komoditas tergolong sangat bebas,” tutur David Mühlemann dari Public Eye.

Prinsip "tutup mata”

Keleluasaan itu kini diperkarakan, menyusul invasi Rusia terhadap Ukraina. "Swiss harus menutup keran duit untuk perang yang dikobarkan Rusia,” kata poltisi Partai Sosial Demokrat, Cedric Wermuth, kepada radio SRF. 

Menurut politisi Swiss itu, pemerintah memiliki kekuasaan untuk menghentikan aliran duit bagi pemerintah atau oligarki Rusia. 

Namun, meski mengenali masalah tersebut, parlemen Swiss mempercayakan regulasi kepada sektor perbankan sendiri, tulis Amnesty International. "Dalam sudut pandang pemerintah, tidak ada keperluan untuk mengatur perdagangan komoditas atau membentuk badan pengawas khusus.”

Beberapa tahun silam, Partai Hijau Swiss menggusulkan UU Komoditas yang pada 2015 ditolak oleh parlemen. Kini, usulan serupa kembali dibuat menyusut invasi Rusia ke Ukraina. 

Dorongan ini dikritik oleh politisi konservatif Swiss, antara lain Thomas Mattern dari Partai Rakyat (SVP). Dia berdalih, asas netralitas sudah merupakan dasar kebijakan luar negeri, dan menolak usulan membentuk lembaga pengawas. 

"Kita tidak butuh lebih banyak aturan, terlebih di sektor perdagangan komoditas,” pungkasnya.

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya