Bagaimana Orang-orang Memahami Hitler di Indonesia
7 Februari 2018
Apakah beberapa kalangan di Indonesia sudah sebegitu apatisnya terhadap sejarah dan kemanusiaan atau mereka memang melihat Hitler sebagai sosok sejarah yang layak untuk diberi simpati? Opini: Rahadian Rundjan
Iklan
Pada 2 Februari 1963, Benedict "Ben” Anderson muda, yang kelak namanya dikenal sebagai seorang pemikir politik dan Indonesianis terkemuka, kaget bukan kepalang ketika mendengarkan pidato Sukarno, yang disampaikannya di acara penganugerahan gelar doktor honoris causa kepada presiden pertama Indonesia tersebut, di Universitas Indonesia, Jakarta.
Dalam acara yang juga dihadiri oleh para duta besar Eropa tersebut, Sukarno menyampaikan dua topik favoritnya: kepemimpinan dan nasionalisme. Semua berjalan baik-baik saja sampai Sukarno menyinggung Adolf Hitler dan agenda nasionalismenya dengan nada yang menunjukkan kekaguman.
Menurut Sukarno, Hitler memiliki kepintaran yang luar biasa dan mungkin telah memahami bahwa hal-hal materiil tidak menjamin seseorang akan berbahagia selamanya, dan karena itulah Hitler memperkenalkan Reich Ketiga (gagasan negara-bangsa Jerman berpilarkan pemerintahan fasisme Nazi). "Reich Ketiga ini akan benar-benar membawa kebahagiaan kepada orang-orang Jerman,” sebut Sukarno. Dan menurutnya, orang-orang Jerman-lah yang akan bertahta di atas orang-orang lain di dunia ini. Sukarno seakan mengungkapkan Reich Ketiga sebagai surganya kelompok nasionalis, dan tidak menghiraukan bagaimana cita-cita tersebut berakhir dengan tragedi kemanusiaan.
Ben menceritakan pengalaman tersebut di bukunya, The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and The World, terbit tahun 1988, dan lantas, melihat Sukarno berkata begitu, Ben langsung merasa pening, alias vertigo. Hitler dalam bayangannya, dan lazimnya orang Eropa, ternyata tidak selalu selaras dengan apa yang dibayangkan masyarakat nasionalis negara-negara berkembang; melalui pidato Sukarno, ia seakan dipaksa memandang Hitler dengan teleskop terbalik (inverted telescope), metafora yang lantas mengilhami dirinya dalam memandang spektrum nasionalisme di Asia Tenggara, ranah kepakarannya di kemudian hari.
"Tidak Akan Pernah Terulang Lagi" - Monumen tentang Kengerian
Properti warga Yahudi di Jerman disita November 1938, dan ribuan orang diangkut ke kamp konsentrasi. Berbagai monumen di Jerman didirikan sebagai peringatan agar peristiwa itu tidak pernah terulang lagi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Schreiber
Wannsee House (Rumah Wannsee)
Vila di tepi danau Wannsee di Berlin adalah lokasi menentukan dalam perencanaan Holocaust, yaitu pembantaian warga Yahudi di jaman PD II. 15 anggota pemerintahan NAZI dan satuan SS bertemu di sini 20 Januari 1942 untuk merencanakan deportasi dan pembantaian warga Yahudi di seluruh kawasan yang dikuasai Jerman. 1992 villa ini dijadikan tugu peringatan dan museum.
Foto: picture-alliance/dpa
Dachau
Kamp konsentrasi pertama dibuka di Dauchau, tidak jauh dari München. Hanya beberapa pekan setelah Adolf Hitler mulai berkuasa, kamp ini digunakan satuan SS untuk memenjara, menyiksa dan membunuh penentang rezim. Dachau juga jadi prototipe bagi sejumlah kamp yang dibangun setelahnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Lahan Tempat Demonstrasi Kekuatan
Nürnberg adalah kota di mana tempat propaganda terbesar partai NAZI dari 1933 sampai dimulainya PD II tahun 1939. Kongres partai tahunan serta demonstrasi yang dihadiri sekitar 200.000 orang diadakan di area seluas 11 km². Sekarang, Gedung Kongres yang tak selesai dibangun ini menjadi pusat dokumentasi dan museum.
Foto: picture-alliance/Daniel Karmann
Bergen-Belsen
Kamp konsentrasi Bergen-Belsen di Niedersachsen awalnya penjara tawanan perang, kemudian menjadi kamp konsentrasi. Tahanan yang terlalu sakit untuk bekerja diangkut ke sini dari kamp konsentrasi lain. Banyak juga yang meninggal akibat penyakit. Dari 50.000 yang tewas di sini, salah satunya Anne Frank, anak perempuan Yahudi yang dikenal karena buku hariannya yang dipublikasikan internasional.
Foto: picture alliance/Klaus Nowottnick
Monumen Perlawanan Warga Jerman terhadap NAZI
Gedung Bendlerblock di Berlin dulunya tempat berkumpul kelompok mililter penentang NAZI. 20 Juli 1944, sekelompok perwira NAZI yang dipimpin Kolonel Claus von Stauffenberg melaksanakan upaya pembunuhan terhadap Hitler, namun gagal. Pemimpin kelompok itu ditembak mati pada hari yang sama di lapangan di tengah gedung Bendlerblock. Sekarang menjadi Pusat Peringatan Perlawanan Jerman terhadap NAZI.
Foto: picture-alliance/dpa
Pusat Eutanasia Hadamar
Dari 1941 orang-orang yang punya kelemahan fisik dan mental dibunuh di rumah sakit Hadamar di Hesse. Karena dinyatakan "tidak diinginkan" oleh Nazi, sekitar 15.000 orang dibunuh dengan suntikan obat mematikan atau dengan gas. Di seluruh Jerman sekitar 70.000 dibunuh sebagai bagian dari program Eutanasia NAZI. Sekarang Hadamar jadi monumen bagi para korban.
Foto: picture-alliance/dpa
Monomen Holocaust
Monumen berdiri di sebelah Gerbang Brandenburg, dan jadi monumen bagi warga Yahudi yang dibantai di Eropa. Monumen diresmikan 60 tahun setelah berakhirnya PD II, tanggal 10 Mei 2005. Karya arsitek Peter Eisenman ini berupa 2.711 kotak beton yang memenuhi lahan luas. Di bawah monumen terhadap pusat informasi, di mana dicantumkan seluruh warga Yahudi korban NAZI, yang diketahui namanya.
Foto: picture-alliance/dpa
Monumen bagi Warga Homoseksual
Tidak jauh dari monumen Holocaust di Berlin, berdiri monumen peringatan bagi ribuan warga homoseksual yang jadi korban NAZI antara 1933 dan 1945. Monumen setinggi empat meter ini diresmikan 27 Mei 2008.
Foto: picture alliance/Markus C. Hurek
Monumen bagi Warga Sinti dan Roma
Di seberang gedung parlemen, Reichstag di Berlin, sebuah taman diresmikan 2012 jadi peringatan bagi 500.000 warga Sinti dan Roma yang dibunuh rezim NAZI. Di tepian sebuah kolam peringatan tercantum puisi berjudul Auschwitz, karya pujangga Roma Santino Spinelli. Puisi ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Romani.
Foto: picture-alliance/dpa
Stolpersteine: Batu Sandungan Sebagai Monumen
Tahun 1990-an, seniman Gunther Demnig memulai proyek untuk mengkonfrontasikan orang dengan masa lalu Jerman, tepatnya NAZI. Karyanya berupa sejumlah batu beton yang dilapis kuningan, yang ditempatkan di depan rumah korban NAZI. Pada batu tercantum nama dan tanggal deportasi serta kematiannya, jika diketahui. Lebih dari 45.000 Stolpersteine (batu sandungan) ditempatkan di 18 negara Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa
Brown House (Rumah Coklat) di München
Tepat di sebelah Führerhaus (rumah pemimpin), di mana kantor Adolf Hitler dulu berada, terdapat markas besar Partai NAZI, yaitu di gedung bernama Brown House. Bangunan berupa kubus berwarna putih kini berdiri di lokasi itu, dan menjadi Pusat Dokumentasi bagi Sejarah NAZI, diresmikan 30 April 2015. Penulis: Max Zander, Ille Simon (ml/as).
Foto: picture-alliance/dpa/Sven Hoppe
11 foto1 | 11
Fasisme Yang Meninggalkan Sejarahnya
Maju berpuluh-puluh tahun kemudian, kegemparan yang kurang lebih sama terjadi kembali di Yogyakarta. Penghujung 2017 lalu, sebuah museum setempat sempat memamerkan patung Hitler yang berdiri congkak dengan latar belakang kamp konsentrasi Auschwitz. Tujuannya? Sebagai sarana atraksi selfie bagi para pengunjungnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perdebatan panas dari media-media di dalam dan luar negeri. Saya pun berpikir, apakah orang-orang Indonesia sudah sebegitu apatisnya terhadap sejarah dunia dan kemanusiaannya, atau mereka memang melihat Hitler sebagai sosok sejarah yang layak untuk diberi simpati?
Hitler dan ideologi fasisme Nazi-Jerman sejatinya bukanlah hal asing dalam sejarah Indonesia. Pada 1933, tahun yang sama dengan tahun diangkatnya Hitler sebagai Kanselir Jerman, setidaknya dua partai berhaluan fasis ikut didirikan di Hindia Belanda, yakni Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie (NIFO) dan Partai Fasis Indonesia (PFI). Meski singkat dan tidak menonjol, namun eksistensi keduanya memperlihatkan bahwa fasisme Nazi-Jerman memang mendapat tempat dalam gerakan politik di Hindia Belanda. Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berdiri kemudian hari, juga tercatat lekat dengan atribut-atribut fasisme.
Siapakah Hitler?
Pertanyaan tentang "Siapakah Hilter" menjadi fokus buku Hermann Pölking dan diadaptasi menjadi film dokumentasi yang epik karena berisi kutipan pendapat dari sejumlah tokoh yang sezaman dengan Adolf Hitler.
Foto: picture-alliance/AP
Adolf Hitler Cilik (tahun 1890)
"Dia berbeda dari seluruh anggota keluarga lainnya." - Ibu Klara Hitler, dikutip oleh August Kubizek.
Foto: picture-alliance/dpa
Foto angkatan di sekolah Linz, 1900/01
"Dia sangat berbakat, tapi juga tak stabil, walaupun dia tidak bertindak kasar, dia bisa dianggap berjiwa pemberontak. Dia juga bukan pekerja keras." Dr. Eduard Huemer, guru bahasa Perancis (Adolf Hitler berada di sebelah paling kanan atas)
Foto: picture-alliance/akg-images
Potret diri Adolf Hitler
"Seluruh keluarganya menganggap Hitler bukan seorang idealis, yang suka menghindar dari kerja keras." - August Kubizek, teman sepermainan Adolf Hitler
Foto: picture-alliance/dpa
Hitler ketika berpangkat kopral pada Perang Dunia I
"Saya tak pernah bisa mengungkap apa penyebab kefanatikan Hitler membenci kelompok Yahudi. Pengalaman ketika bersama prajurit yahudi saat perang dunia tidak mungkin berkontribusi besar terhadap hal ini." - Fritz Wiedemann, Letnan di Regimen "List" (Hitler di posisi paling kiri bawah)
Foto: Getty Images
Peringatan Kudeta Beer Hall (sekitar tahun 1929)
"Tujuan mereka hanya satu: taat. Mereka bersedia dikerahkan untuk tujuan apapun, dan mampu melakukan apapun, dilatih untuk mengikuti Hilter. Sedadu berseragam coklat yang direkrut adalah mereka yang tidak puas, tidak sukses, ambisius, penuh rasa iri hati dan kebencian, dari seluruh lapisan masyarakat - yang bersedia untuk membunuh dan melakukan kekerasan." - Carl Zuckmayer, dramawan Jerman
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Hitler di Bayreuth (1938)
"Sebelum saya berangkat ke San Fransisco, Saya menyadari niat Hitler yang ingin mengenyahkan pasien yang tak tersembuhkan - bukan hanya yang cacat mental - ketika perang berlangsung. Sebagai alasan dia katakan: mereka adalah "mulut yang perlu makan" namun tak diperlukan." - Fritz Wiedemann, ajudan Adolf Hilter di Partai Nazi hingga 19 Januari 1939.
Foto: picture-alliance/akg-images
Albert Speer dan Adolf Hitler, 1938
"Sepanjang perang, Adolf Hitler tidak pernah mengunjungi kota yang hancur akibat bom." - Albert Speer, Menteri era Hitler bidang Persenjataan dan Produksi Perang
Foto: picture-alliance/akg-images
Hitler pasca serangan terhadap markas militer Nazi, Wolf's Lair, 1944
"Di sana saya melihat Hilter, yang menatap penuh pertanyaan atas ekspresi putus asa saya. Dengan pelan dia berkata, "Linge, seseorang telah berusaha membunuhku." Heinz Linge, pelayan Adolf Hitler.
Foto: picture-alliance
Adolf Hitler dan Hermann Göring, 1944
"Saya sadar kita kalah perang. Kemenangan mereka nyata. Saya ingin menembak kepala saya sekarang. [Tapi] kita tidak akan menyerah. Tidak akan pernah. Kita bisa jatuh terperosok. Tapi kita akan membawa seluruh dunia ikut serta." - disampaikan Hitler kepada ajudannya Nicolaus von Below pada akhir Desember 1944.
Foto: picture-alliance/dpa/Fine Art Images
Surat kabar laporkan kematian Hitler, 1945
"Kematian Hitler dianggap tak lagi bermakna. Dia seharusnya sudah tewas sejak lama. Saya bertanya-tanya berapa banyak orang yang menenangkan diri dan berpikir dia sinting." - Naomi Mitchison, penulis asal Skotlandia
Foto: picture alliance/Everett Collection
10 foto1 | 10
Setidaknya ada dua nama kelahiran Hindia Belanda yang kemudian menjadi anggota Nazi, yakni Ernest Herman van Rappard (lahir di Banyumas, 1899-1953) dan Carl Langbehn (Padang, 1901-1944). Van Rappard aktif dalam partai-partai fasis di Belanda sebelum akhirnya bergabung dengan Waffen-SS sesaat setelah Belanda diduduki Jerman. Ia kemudian dihukum seumur hidup akibat menjadi kolaborator Nazi. Sedangkan Langbehn bergabung pada 1933, namun ia menjadi kritis terhadap partainya lalu terlibat sebagai konspirator Plot Juli yang mencoba mengudeta Hitler, walau gagal. Langbehn tewas dihukum gantung.
Di masa jayanya, busana dan gestur ala Nazi-Jerman menjadi mode di Hindia Belanda, bahkan salam "Heil Hitler” dan pengibaran lambang swastika menjadi lumrah di kalangan kelompok orang-orang Jerman. Namun, ketika Perang Dunia II yang dimulai Hitler tersebut usai, dunia akhirnya memahami bahwa fasisme adalah sebuah bencana. Indonesia yang kemudian merdeka dari kekuasaan fasisme Jepang pun dengan segera menyorot perhatian. Awalnya Sukarno membawa Indonesia berpolitik luar negeri secara moderat, menggandeng negara-negara Asia-Afrika, namun menjelang 1960-an dunia kian was-was melihat agresivitas Sukarno.
Inilah Potret Para Dedengkot NAZI
Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman NAZI mengukir sejarah kelam abad ke-20 lewat ideologi, propaganda dan kejahatan perang. Siapa saja para tokoh-tokohnya?
Foto: General Photographic Agency/Getty Images
Joseph Goebbels (1897-1945)
Sebagai Menteri Propaganda Hitler, penebar racun anti semit ini bertanggung jawab untuk memastikan semua pesan Nazi diterima oleh setiap warga negara di periode Reich Ketiga. Dia mencekik kebebasan pers, menguasai semua media, kesenian, dan informasi, dan mendorong Hitler menyatakan "Totalitas Perang". Goebbels dan istrinya bunuh diri pada tahun 1945, setelah meracuni keenam anak mereka.
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Adolf Hitler (1889-1945)
Pemimpin Partai Nazi ini telah mengembangkan propaganda antisemitisme, antikomunisme dan ideologi rasisme ini sejak sebelum menjadi kanselir tahun 1933. Dia merusak institusi politik dan mengubah Jerman menjadi negara totaliter. Dari tahun 1939 sampai 1945, ia memimpin Jerman di Perang Dunia II sambil mengawasi Holocaust. Ia bunuh diri pada bulan April 1945.
Foto: picture-alliance/akg-images
Heinrich Himmler (1900-1945)
Sebagai pemimpin satuan milisi Nazi yang ditakuti: SS (Schutzstaffel), Himmler adalah salah satu anggota partai Nazi yang paling bertanggung jawab atas Holocaust. Dia juga menjabat sebagai kepala polisi dan Menteri Dalam Negeri, sehingga mengendalikan semua pasukan keamanan Reich Ketiga. Ia mengawasi pembangunan dan operasi semua kamp pemusnahan, di mana lebih dari 6 juta orang Yahudi dibunuh.
Foto: picture-alliance/dpa
Rudolf Hess (1894-1987)
Hess gabung dengan Nazi tahun 1920. Ia ambil bagian dalam Bierkeller Putsch (Hitlerputsch) 1923 -usaha Nazi dalam menumbangkan kekuasaan, namun gagal. Di penjara, ia membantu Hitler menulis "Mein Kampf." Hess terbang ke Skotlandia tahun 1941 untuk negosiasi perdamaian. ia ditangkap & ditahan sampai akhir perang. 1946, ia diadili di Nürnberg & dipenjara seumur hidup hingga meninggal dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Adolf Eichmann (1906-1962)
Bersama Himmler, Eichmann adalah fasilitator utama Holocaust. Sebagai letkol SS, ia berhasil mendeportasi massal orang Yahudi ke kamp-kamp pemusnahan Nazi di Eropa Timur. Setelah kekalahan Jerman, Eichmann melarikan diri ke Austria, lalu ke Argentina, di mana ia ditangkap Mossad Israel tahun 1960. Setelah dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, ia dieksekusi tahun 1962.
Foto: AP/dapd
Hermann Göring (1893-1946)
Göring menjadi orang kedua paling berkuasa di Jerman ketika Nazi berkuasa. Ia mendirikan Gestapo, polisi rahasia dan menjabat sebagai komandan angkatan udara Luftwaffe sampai sebelum perang berakhir, serta semakin tak dipercaya Hitler. Göring dihukum mati di Nürnberg tapi telanjur bunuh diri pada malam hari sebelum dieksekusi. Ed: Cristina Burack (ap/as)
Foto: Three Lions/Getty Images
6 foto1 | 6
Mobilisasi militer Indonesia di Papua Barat membuat Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, menyatakan bahwa Sukarno serupa dengan Hitler kala mencaplok Sudetenland dari Cekoslovakia pada 1938, dan menurutnya, gertakan Sukarno belum akan berhenti. Luns benar. Sukarno kemudian menyasar Inggris di Malaysia pada 1963. Disengaja atau tidak, pidato Sukarno yang menyanjung Hitler di Jakarta pada tahun yang sama tersebut kian membuat geram diplomat-diplomat Eropa. Menurut Ben, seorang diplomat yang mendengar pidato tersebut meyakini bahwa Sukarno telah menjadi "penipu flamboyan nan gila”.
Nasionalisme Indonesia dan patriotismenya yang terkadang membabi buta sangat mungkin menumbuhkan aspek-aspek fasis tanpa disadari, terlebih saat pemerintah membiarkan masyarakatnya menakar-nakar identitas keindonesiaan seseorang berdasarkan ras dan agamanya dengan serampangan. Hal itulah alasan mengapa persekusi terhadap orang-orang komunis di sekitaran Peristiwa 1965 begitu kental dengan partisipasi organ-organ paramiliter dan rakyat biasa, dan Orde Baru melestarikan kebencian terhadap komunisme tersebut untuk melegitimasikan kekuasaannya. Suharto mungkin bukan Hitler, namun mereka sama-sama memilki tanggung jawab terhadap kebijakannya yang mempersekusi kelompok-kelompok yang tak diinginkan.
Diktator Paling Brutal dalam Sejarah
Betapa ambisi kekuasaan bisa menyulap neraka di muka Bumi. Jika digabungkan, jumlah warga yang mati di tangan delapan pria ini bisa memusnahkan populasi sebuah negara kecil.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
1. Mao Zedong
Tangan Mao Zedong bersimbah darah rakyat Cina. Salah satu program politiknya, "Lompatan Jauh ke Depan" yang dilancarkannya tahun 1958 buat menyontek model ekonomi Uni Sovyet menewaskan hingga 45 juta orang. Seakan tidak kapok, hampir sepuluh tahun kemudian ia mendeklarasikan Revolusi Kebudayaan buat memberangus budaya borjuis. Hasilnya sekitar 30 juta orang meninggal dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo
2. Adolf Hitler
Tidak terhitung kejahatan yang dilakukan Adolf Hitler. Penguasa NAZI Jerman ini tidak cuma memerintahkan pembantaian 11 juta orang, 6 juta di antaranya kaum Yahudi, ia juga menyeret dunia ke dalam perang yang merenggut hingga 70 juta korban jiwa. Ironisnya setelah takluk, Hitler bunuh diri karena takut ditangkap pasukan Uni Sovyet.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
3. Josef Stalin
Bahkan oleh Vladimir Lenin, salah seorang pendiri Uni Sovyet, Josef Stalin dicap sering berperilaku "kasar." Pria yang kemudian memimpin Sovyet melawan NAZI di Perang Dunia II itu terkenal kejam terhadap musuh politiknya. Tercatat hingga 20 juta orang mati di kamp konsentrasi alias Gulag selama 31 tahun kekuasaan Stalin.
Foto: picture-alliance/akg-images
4. Pol Pot
Pemimpin gerakan Khmer Merah ini cuma butuh waktu empat tahun untuk melumat satu juta nyawa penduduk Kamboja. Korban sebagian besar meninggal karena bencana kelaparan, siksaan di penjara, kamp kerja paksa atau pembunuhan. Setelah dilengserkan dari jabatan perdana menteri oleh Vietnam, Pol Pot melancarkan perang gerilaya dari hutan Kamboja hingga kematiannya tahun 1998.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
5. Saddam Hussein
Kebencian diktatur Irak Saddam Hussein terhadap etnis Kurdi nyaris tak mengenal batas. Selama kekuasaannya sejak tahun 1979 hingga 2003, tercatat hingga 300.000 warga Kurdi meregang nyawa di tangan pengikutnya. Secara keseluruhan Saddam bertanggungjawab atas kematian hampir satu juta penduduk Irak. Ia dihukum gantung tahun 2006 setelah digulingkankan Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa
6. Idi Amin
Selama tujuh tahun kekuasaannya, presiden ketiga Uganda ini membunuh lebih dari 250.000 penduduk lewat penyiksaan, asasinasi dan pembersihan etnis. Tidak heran jika ia kemudian mendapat julukan "jagal Uganda." Setelah lengser, Amin melarikan diri ke Arab Saudi. Hingga kematiannya, Idi Amin selama bertahun tahun tinggal di kamar terbaik di sebuah hotel mewah di Jeddah
Foto: Getty Images
7. Mengistu Haile Mariam
Setelah menjatuhkan kerajaan Ethiopia bersama Partai Komunis, Mengistu Haile Mariam, melancarkan kampanye berdarah bernama "teror merah" terhadap musuh politiknya. Selama dua tahun antara 1977 dan 1978, ia membunuh hampir setengah juta penduduk. Mengistu lalu dihukum mati tahun 2006 oleh pemerintah Ethiopia dengan dakwaan melakukan Genosida. Ia kabur ke jiran Zimbabwe untuk meminta perlindungan.
Foto: picture alliance/dpa
8. Kim Jong Il
Cuma Kim Jong Il yang tahu bagaimana cara membunuh jutaan orang dan tetap dipuja bak dewa. Lantaran militerisasi ekonomi dan korupsi yang merajalela, hingga 2,5 juta penduduk Korea Utara mati akibat kemiskinan dan bencana kelaparan di pertengahan dekade 1990an. Di tangan sang pemimpin besar, satu generasi Korea Utara mengalami gangguan pertumbuhan lantaran malnutrisi.
Foto: dapd
8 foto1 | 8
Membicarakan Hitler dan aspirasi fasisnya berarti menyinggung tiga hal: perilaku otoriter, pemaksaan identitas, dan propaganda musuh imajiner. Tak usah jauh-jauh, apakah ketiga hal tersebut termanifestasikan dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari? Dan sebagai seorang Indonesia yang baik, sudahkah kita berperilaku santun, toleran, dan tidak sembarangan memusuhi orang yang berbeda fisik dan pemikiran? Rasanya, itu belum terwujud. Misalnya pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang meninggalkan isu rasisme dan menjadi momentum bagi kelompok-kelompok intoleran untuk mengagung-agungkan identitas kepribumian untuk mendiskreditkan kelompok lainnya.
Kita ingat bagaimana pada 2012 lalu Andre Vltchek membuat kehebohan dengan artikelnya yang berjudul ‘Take a Train in Jakarta'. Jurnalis yang berpengalaman meliput di wilayah-wilayah konflik tersebut melabeli Jakarta sebagai kota fasis, berdasarkan pada kebejatan politisinya dan kemiskinan terstruktur yang sengaja diciptakan. Namun, saya pikir, yang lebih berbahaya adalah bagaimana kebodohan dan kemiskinan di Jakarta membuat masyarakatnya menjadi mudah termanipulasi oleh iming-iming kepuasan duniawi, dan surgawi, demi tujuan politik sekelompok elit semata; persis seperti kala dulu Hitler mengeksploitasi agenda fasismenya.
Edisi Baru "Mein Kampf": Koreksi Kesalahan di Masa Lalu
70 tahun setelah kematian Hitler "Mein Kampf" bisa dibeli lagi di Jerman. Siapa akan baca? Berbahayakah di masa penerimaan pengungsi dan Pegida? Ini jawaban direktur Institut für Zeitgeschichte, badan yang menerbitkan.
Foto: picture alliance/Mary Evans Picture Library
Edisi Baru, Makna Baru
Pada dasarnya isi edisi baru tetap tulisan Adolf Hitler, diktatur Jerman di masa Perang Dunia II. Tetapi edisi ini tebalnya 2.000 halaman. Sedangkan edisi asli hanya 780 halaman. Bedanya, edisi baru dilengkapi sejumlah besar komentar. Sehingga pembaca jaman sekarang lebih bisa mengerti latar belakang tulisan, dan tidak memahaminya sebagai seruan mengagungkan Hitler.
Foto: Institut für Zeitgeschichte
Terutama untuk Ilmu Pengetahuan
Edisi baru ini terutama ditujukan bagi ilmu pengetahuan. "Buku itu jelas sumber sejarah penting tentang Hitler sendiri. Itu tidak bisa disangkal. Untuk biografi, pemikirannya, juga tentang sejarah Nationalsozialismus (NAZI) secara umum." Demikian Profesor Andreas Wirsching, direktur Institut für Zeitgeschichte (Institut Sejarah Jaman). Edisi baru ini juga dilengkapi teks tambahan yang terkait.
Foto: Getty Images/AFP/O. Andersen
Edisi Baru Ungkap Kebohongan Hitler
Fungsi utama komentar dalam teks adalah menyela celotehan Hitler, yang dalam buku jadi narator utama. Tepatnya: ungkap kebohongannya. Juga menghentikan upaya Hitler memanas-manasi pembaca, dan meluruskan fakta yang diselewengkan. Fungsi lain edisi baru: menunjukkan bahwa kekejaman yang sudah disinggung Hitler di bukunya, diwujudkan jadi realita mengerikan setelah 1933. Foto: korban NAZI di Dachau.
Foto: picture-alliance/dpa
Mitos Salah tentang Buku Hitler
Walaupun di Jerman orang banyak bicara tentang "Mein Kampf", tidak banyak yang mengenal isinya. Tulisan Hitler yang dipenuhi otobiografi sejauh ini tidak dilengkapi analisa proses awal juga strukturnya. Orang kerap berpikir bukunya adalah "bestseller" yang tak dikenal. Mitos ini berusaha dihilangkan dengan penerbitan edisi baru yang lebih informatif. Foto: korban NAZI dan Hitler di Auschwitz.
Foto: AP
Tidak Akan Disalahgunakan Pegida?
Kami juga pikirkan hal itu, kata Wirsching. Tapi edisi ini tidak bisa digunakan kaum ekstrem kanan atau Neonazi. Karena dilengkapi komentar. Kalau orang membacanya, secara visualpun orang terpaksa melihat komentar. Jika kaum ekstrem kanan membaca teks Hitler, mereka tidak akan memperoleh keuntungan dari edisi ini, tandasnya. Foto: Pentolan Pegida, Lutz Bachmann berpose sebagai Hitler.
Masih teringat, sekitar kira-kira 15 tahun lalu, saya yang masih berusia 12 tahun menunjukkan buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa yang ditulis oleh Michael H. Hart kepada teman-teman di sekolah, lalu membuka halaman yang menunjukkan peringkat ke-39, yakni Hitler, sambil berkata, "dia teroris”. Ada keluguan kala mengucapkan kata-kata tersebut, namun kini, setelah mendalami sejarah lebih jauh, rasanya saya makin yakin bahwa Hitler adalah seseorang yang riwayat hidupnya wajib dipelajari oleh siapapun untuk mencegah lahirnya Hitler lain di masa sekarang.
Saya pribadi kurang menyetujui publikasi personifikasi Hitler dalam ruang publik di Indonesia, seperti dalam kasus museum di Yogyakarta tersebut, terlebih jika ia ditampilkan dalam ranah glorifikasi yang menimbulkan kebanggaan, bukan kegeraman.
Hal itu hanya akan memperlihatkan kebodohan orang-orang Indonesia dalam memandang sejarah dan menjadi bahan cercaan dunia internasional. Dan apakah sebenarnya Hitler lari ke Indonesia setelah fasisme Nazi yang dipimpinnya tumbang tahun 1945? Entahlah. Namun, jika Anda rasis, menyetujui persekusi, dan gemar menebar hoaks, mungkin Anda adalah Hitler itu sendiri.
Penulis:
Rahadian Rundjan (ap/as)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Auschwitz - Menengok Kekejaman Sebuah Kamp
Kamp konsentrasi Auschwitz berhasil dibebaskan pasukan Soviet, 27 Januari 1945. Sejak tahun 1996, tanggal ini dijadikan sebagai hari peringatan bagi para korban kekejaman Nationalsozialismus (Nazi).
Foto: AP
Pembebasan
75 tahun lalu, Tentara Merah berhasil membebaskan kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan Auschwitz-Birkenau. Antara tahun 1940-1945, lebih dari satu juta orang, kebanyakan warga Yahudi, tewas dibunuh di kamp ini. Ketika tentara Soviet membebaskan kamp, mereka hanya menemukan sekitar 7000 orang yang selamat. Tampak dalam foto yang diambil Januari 1945, tiga orang penghuni kamp yang berhasil selamat.
Foto: AP
Hampir Mati Kelaparan
10 hari sebelum Tentara Merah membebaskan kamp ini, Nazi menggiring sekitar 60 ribu tawanan, dengan apa yang disebut Todesmarsch atau Mars Kematian, ke kamp lain. Mereka yang tinggal di kamp adalah para tahanan yang kondisinya telah lemah akibat kelaparan.
Foto: AP
Tahanan Anak
Nazi menahan sekitar 232 ribu anak-anak di Auschwitz-Birkenau. Kebanyak dari mereka adalah anak-anak keturunan Yahudi. Selain itu terdapat juga anak-anak Roma, anak-anak yang dikirim dari Polandia, Rusia dan Ukraina. Saat ini, masih hidup sekitar 300 anak dari 2000 anak yang berhasil diselamatkan 70 tahun lalu.
Foto: AP
Sinisme Nazi
"Arbeit macht frei“ atau terjemahan harfiahnya "Kerja Dapat Membebaskan“, semboyan yang terpampang di depan gerbang utama kamp konsentrasi Auschwitz I. Tahun 2009, plang tulisan asli di gerbang ini telah dicuri, dan diganti dengan satu replika. Plang asli yang berhasil ditemukan kembali kini disimpan di museum.
Foto: AP
Holocaust
Auschwitz-Birkenau merupakan kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan terbesar yang dibangun Nazi. Dan kamp ini merupakan satu-satunya yang berhasil dipertahankan kondisinya sesuai dengan kondisi ketika kamp ini dibebaskan tahun 1945 – atau seperti tampak dalam foto yang dibuat tahun 1946.
Foto: AP
Tugu Peringatan Asli
Untuk mempertahankan kamp ini sebagai tugu peringatan, Polandia telah membentuk satu yayasan. Jerman telah menjanjikan 120 juta Euro dana yang dibutuhkan, sehingga pekerjaan pemeliharaan dapat terus dilaksanakan dalam tahun-tahun mendatang. Foto yang diambil tahun 1958 memperlihatkan gudang penyimpanan di balik pagar listrik tegangan tinggi
Foto: AP
Pembunuh
Salah satu dari 116 foto langka para petinggi Nazi di Auschwitz ini diambil pada tahun 1944. Richard Bär, yang sejak Mei 1944 memegang komando tertinggi di Auschwitz, di sebelahnya, Dr. Josef Mengele, komandan di Birkenau, Josef Kramer (tertutup wajahnya), serta mantan komandan Auschwitz Rudolf Höß. Pria paling kanan tidak diketahui identitasnya.
Foto: AP
Fotografer
Wilhelm Brasse berusia 25 tahun ketika tiba sebagai tahanan politik di Auschwitz. Atas perintah SS, ia membuat foto dari sekitar 40 ribu tahanan. Ia pun diharuskan mendokumentasikan eksperimen medis brutal yang dilakukan Dr. Mengele. Akibat trauma, setelah perang berakhir, tidak pernah sekalipun menyentuh kamera lagi. Kisah Brasse diabadikan dalam satu film Polandia berjudul "Potrecista“.
Foto: dpa
Seleksi
Foto dari tahun 1944 yang kini tersimpan di Museum Yad Varshem ini memperlihatkan para perempuan dan anak-anak, yang dipisahkan dari kelompok laki-laki. Mereka sedang menjalani psores ‚penyeleksian, ketika tiba di Auschwitz-Birkenau.
Foto: AP
Kerja Rodi
Mereka yang lolos dari 'seleksi’ diharuskan melakukan kerja yang berat. Tampak dalam foto, para perempuan yang lolos seleksi berdiri dalam antrian untuk menerima perintah kerja.
Foto: AP
Barak Perempuan
Kelaparan dan kedinginan merupakan keseharian yang harus dijalani para perempuan penghuni kamp di Birkenau. Mereka ditempatkan dalam barak terpisah di lokasi kamp.
Foto: dpa
Warisan Holocaust
Di area kamp Auschwitz seluas hampir 200 hektar terdapat 300 barak tahanan. Banyak bagian dari kamp konsentrasi Auschwitz yang sampai sekarang tetap terpelihara keasliannya dan dijadikan sebagai tugu peringatan serta museum kekejaman Holocaust. Museum ini juga dijadikan pusat penelitian Holocaust.
Foto: dpa
Krematorium
Auschwitz-Birkenau memiliki enam kamar gas serta empat krematorium. Rasa kengerian masih dapat dirasakan para pengunjung ketika melihat bekas oven pembakaran jenazah ini. Banyak tahanan dari seluruh Eropa dibunuh pada hari kedatangan mereka dan jenazah mereka dibakar di tempat ini.
Foto: AP
Rencana Pemusnahan
Salinan asli dari rencana pembangunan kamp konsetrasi dan kamp pemusnahan Auschwitz tahun 1941 dan 1942. Salinan asli ini kini disimpan di Museum Holocaust Yad Vaschem di Yerusalem. Dalam salinan ini digambarkan berapa besar dan di mana saja akan dibangun kamar gas dan oven pembakaran korban. Salinan ini ditemukan pada tahun 2008 di sebuah apartemen di Berlin.