Pakistan ingin menyudahi kisruh hilal dengan menetapkan penggunaan metode hisab alias penghitungan matematis sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadan. Terobosan itu memicu kontroversi.
Iklan
Sejak bertahun menjelang bulan Ramadan, umat Islam terbelah dalam dua ideologi. Sebagian merujuk pada kaum tradisionalis yang menggunakan metode Rukyat alias pengamatan mata. Sementara yang lain lebih meyakini metode kaum modernis yang mengandalkan penghitungan matematis pergerakan bulan alias hisab.
Adalah Menteri Sains dan Teknologi Pakistan, Fawad Chaudry, yang ingin mengakhiri kontroversi hilal dengan memerintahkan penggunaan metode hisab mulai tahun 2020. Gagasannya itu terancam gagal disahkan, namun Chaudry enggan mengendurkan langkah.
Dia beralasan pemerintah setiap tahun menghabiskan dana hingga hampir Rp. 1 milyar untuk membiayai pengamatan hilal. "Di mana kebijaksanaannya dalam pemborosan itu?", tanyanya seperti dilansir Samaa.
Kini Chaudry membentuk komite yang terdiri atas astronom, pakar cuaca dan teknologi. Tugas mereka adalah menentukan kalendar lima tahun untuk Pakistan dengan tanggal pasti untuk Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha dan Muharram.
Tidak mengejutkan jika terobosan Chaudry memicu kontroversi di kalangan kaum muslim Pakistan. Tidak sedikit Ulama yang menolak gagasan tersebut, meski banyak kaum muda muslim yang mempertanyakan metode rukyat. "Jika kita menentukan waktu salat sesuai penghitungan ilmiah, kenapa kita tidak menentukan Hilal dengan cara yang sama," tulis seorang pemuda muslim di sebuah kanal media sosial.
Bagaimana Pengalaman Pencari Suaka Jalankan Ramadan Pertama di Sisilia?
Di Sisilia, Italia, pencari suaka yang baru tiba, jalani Ramadan pertama mereka jauh dari rumah. Bagi banyak orang, ini adalah latihan untuk bertahan dan beradaptasi dengan tantangan budaya.
Foto: DW/D.Cupolo
Puasa di negeri asing
Sampai tahun 2017, Italia telah menerima 85 persen imigran tak resmi yang masuk ke Eropa. Sebagian besar pendatang baru berkeyakinan Islam. Sebagian dari mereka, baru pertama kali ini merasakan Ramadan jauh dari rumah. Berbulan suci di luar negeri, mereka berusaha menemukan penyegaran rohani, seperti di Masjid Rahim Ar-Rahmah di Sisilia, Italia ini.
Foto: DW/D.Cupolo
Beradaptasi dengan Eropa
Berpuasa di siang hari juga menjadi momen berinteraksi sosial. Saat tiba dari Nigeria, Galadima, yang masih berusia 16 tahun alami keterkejutan budaya. "Hal yang paling mengagetkan tentang Eropa adalah Anda bisa melihat orang-orang yang sama di jalanan selama berbulan-bulan, tapi tidak tahu siapa nama mereka," katanya. "Ini sangat aneh."
Foto: DW/D.Cupolo
Jam puasa lebih lama
Perbedaan terbesar dalam Ramadan bukan hanya dalam hal budaya, melainkan juga geografis. Jarak yang jauh dari khatulistiwa mengakibatkan matahari bersinar lebih lama di musim panas, sehingga jam puasa pun lebih lama. "Saya tidak pernah berpikir seseorang bisa berpuasa dari jam 3 pagi sampai jam 9 malam," kata Galadima. "Sekarang saya berpuasa sepanjang hari dan lumayan kaget."
Foto: DW/D.Cupolo
Tumbuhnya komunitas Bangladesh
Migran dari negara-negara sub-Sahara dan Afrika timur secara tradisional tiba di Italia melalui rute penyelundupan di Libya. Warga negara Bangladesh sekarang juga menggunakan rute tersebut dan jumlahnya yang masuk ke Italiapun meningkat, demikian menurut kementerian dalam negeri Italia.
Foto: DW/D.Cupolo
Quran dalam bahasa Bengali
Sebagai tanggapan atas keragaman migran yang tiba di Sisilia, Ismail Bouchnafa, imam Masjid Ar-Rahmah mengisi rak-rak bukunya dengan Quran yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. "Orang-orang dari seluruh dunia datang untuk beribadah di sini," kata Bouchnafa, yang berasal dari Maroko. "Kami mengelolanya bersama, karena kami semua berada di sini untuk alasan serupa."
Foto: DW/D.Cupolo
Hanya persinggahan
"Masjid kami makin ramai, tapi Sisilia hanya jadi persinggahan. Sedikit migran yang tinggal untuk jangka waktu lama di sini karena tidak ada pekerjaan, lalu mereka melanjutkan perjalanan," lanjut Bouchnafa. "Ada banyak hal yang ingin kita lakukan untuk membantu migran dalam perjalanan mereka, tapi hanya ada sedikit waktu dan dana ... biasanya, kita mencarikan tempat berlindung."
Foto: DW/D.Cupolo
Benturan budaya
Khan, 28 tahun, seorang tukang las asal Pakistan berbagi pengalaman interaksi sosial. "Ini adalah budaya yang sangat berbeda dari kita, Italia bukan negara yang banyak penganut Islam, saya sendiri bukan orang Kristen, tapi tidak masalah, asalkan kita bisa saling memperlakukan dengan baik dan respek."
Foto: DW/D.Cupolo
Tidak ada libur
Toko-toko tradisional di Italia selatan tutup pada tengah hari untuk istirahat makan siang atau "tidur siang", namun pemilik toko di Bangladesh mencari nafkah dengan kerja berjam-jam lamanya dan hal yang sama berlaku saat mereka berpuasa. "Kami tetap buka meski kami lelah," kata Momin Mattubbar, dari Bangladesh tiba di Italia delapan bulan lalu. "Tidak sulit berpuasa, ini agama kami."
Foto: DW/D.Cupolo
Kuliner yang nikmat
Bagi banyak migran, Ramadan juga identik dengan masakan tertentu dari negara asalnya. Mengalami Ramadan di luar negeri berarti mencoba makanan baru, seringkali dengan hasil yang beragam. "[Orang Afrika] biasa makan ayam dan nasi," kata Ismail Jammeh, seorang mediator budaya. "Mereka tidak tahu apa itu bakso atau pasta apa. Bahkan ketika saya pertama kali datang, saya tidak suka pasta."
Foto: DW/D.Cupolo
Rasa kesepian
"Pada hari-hari di bulan suci, kami mengingat kembali kampung halaman kita dan merasa sangat sendirian," kata Mala, seorang remaja yang baru saja tiba melalui Libya. "Ini adalah Ramadan pertama saya tanpa keluarga. Kami orang asing di Italia dan kami stres di tanah baru ini. Berada di sini tanpa keluarga adalah bagian tersulit." (Ed: Diego Cupolo /ap/hp)
Foto: DW/D.Cupolo
10 foto1 | 10
Negara-negara bermayoritaskan muslim menentukan hari raya berdasarkan penanggalan bulan. Artinya setiap penanggalan berawal ketika Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama alias konjungsi. Biasanya bulan sinodik berlangsung selama 29,53 hari.
Hampir semua negara Islam memiliki lembaga hilal yang menentukan awal bulan Ramadan. Sejumlah negara seperti Afghanistan merujuk pada lembaga hilal di Arab Saudi. Namun hal serupa tidak berlaku buat negara-negara lain lantaran letak geografis dan perbedaan waktu.
Masalah berawal ketika bulan sabit pertama yang menandakan awal bulan sinodik tidak terlihat pada saat yang sama. Kondisi cuaca misalnya bisa mengacaukan penghitungan hilal.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama biasanya menentukan Hilal berdasarkan rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab. Kedua organisasi diundang untuk mengajukan hasil pengamatan atau penghitungan pada Sidang Isbat yang digelar pemerintah menjelang bulan Ramadan. Namun sejak 2012 Muhammadiyah menolak ikut serta pada sidang tersebut.
rzn/ap
Menggiatkan Ramadan yang Hijau
Di bulan Ramadan, alih-alih berkurang, volume sampah justru meningkat. Di Jakarta saja volume sampah meningkat 10 persen pada Ramadan 2018, menurut Dinas Lingkungan Hidup. Bagaimana agar Ramadan kita bisa lebih hijau?
Foto: picture-alliance/Zumapress/PPI
Jangan lapar mata
Ketika sahur dan buka puasa, upayakan makan dengan porsi secukupnya sehingga tidak ada makanan yang tersisa dan harus dibuang. Parongpong Recycle and Waste Management mengatakan bahwa kebanyakan sampah di bulan Ramadan berasal dari kemasan makanan serta makanan yang tidak habis. Makan berlebihan bukan hanya tidak baik untuk lingkungan, tapi juga tidak baik untuk kesehatan tubuh.
Foto: MEHR
Katakan tidak pada kemasan sekali pakai
Hindari penggunaan plastik atau kemasan sekali pakai. Ketika membeli takjil atau hidangan berbuka puasa, kita bisa bawa wadah sendiri, jadi makanan tidak perlu dibungkus menggunakan styrofoam atau gelas plastik. Selain membantu menjaga lingkungan, kebersihan wadah yang dibawa sendiri pun terjamin.
Foto: DW/Y. Farid
Kemasan ramah lingkungan
Jika harus membeli makanan dengan kemasan, pilih yang dibungkus dengan kemasan ramah lingkungan. Banyak produk makanan yang kini dibungkus bukan dengan plastik, melainkan dengan daun pisang atau bahan lain yang "biodegradable" atau bisa hancur di alam.
Foto: picture alliance/dpa/Flueeler
Hemat air ketika berwudu
Di bulan suci, banyak umat Muslim menunaikan ibadah yang dianjurkan seperti solat sunah. Frekuensi berwudu yang biasanya lima kali sehari menjadi lebih sering. Menghemat air dalam berwudu juga bisa menjadi cara menjalani Ramadan yang lebih hijau. Jangan biarkan kran air terus menyala dan ambil air secukupnya (dua tangkup tangan) untuk membasuh.
Foto: Reuters/D. Liyanawatte
Kampanyekan ide Ramadan hijau
Perubahan untuk lingkungan yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Kita bisa sebarkan ide Ramadan hijau kepada teman dan keluarga. Di saat buka puasa bersama teman-teman misalnya. Ajak semua orang untuk membawa wadah sendiri, menghindari kemasan plastik dan meminimalisasi sampah.(na/hp)