1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Pakistan Ingin Mengakhiri Polemik Hilal

Ahmad Wali Achakzai
7 Mei 2019

Pakistan ingin menyudahi kisruh hilal dengan menetapkan penggunaan metode hisab alias penghitungan matematis sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadan. Terobosan itu memicu kontroversi.

Mondsichel über einer Moschee Ramadan
Foto: picture-alliance/dpa/R. Gupta

Sejak bertahun menjelang bulan Ramadan, umat Islam terbelah dalam dua ideologi. Sebagian merujuk pada kaum tradisionalis yang menggunakan metode Rukyat alias pengamatan mata. Sementara yang lain lebih meyakini metode kaum modernis yang mengandalkan penghitungan matematis pergerakan bulan alias hisab. 

Adalah Menteri Sains dan Teknologi Pakistan, Fawad Chaudry, yang ingin mengakhiri kontroversi hilal dengan memerintahkan penggunaan metode hisab mulai tahun 2020. Gagasannya itu terancam gagal disahkan, namun Chaudry enggan mengendurkan langkah.

Baca juga: Mampukah Agama Selamatkan Lingkungan?

Dia beralasan pemerintah setiap tahun menghabiskan dana hingga hampir Rp. 1 milyar untuk membiayai pengamatan hilal. "Di mana kebijaksanaannya dalam pemborosan itu?", tanyanya seperti dilansir Samaa.

Kini Chaudry membentuk komite yang terdiri atas astronom, pakar cuaca dan teknologi. Tugas mereka adalah menentukan kalendar lima tahun untuk Pakistan dengan tanggal pasti untuk Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha dan Muharram.

Tidak mengejutkan jika terobosan Chaudry memicu kontroversi di kalangan kaum muslim Pakistan. Tidak sedikit Ulama yang menolak gagasan tersebut, meski banyak kaum muda muslim yang mempertanyakan metode rukyat. "Jika kita menentukan waktu salat sesuai penghitungan ilmiah, kenapa kita tidak menentukan Hilal dengan cara yang sama," tulis seorang pemuda muslim di sebuah kanal media sosial.

Negara-negara bermayoritaskan muslim menentukan hari raya berdasarkan penanggalan bulan. Artinya setiap penanggalan berawal ketika Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama alias konjungsi. Biasanya bulan sinodik berlangsung selama 29,53 hari.

Hampir semua negara Islam memiliki lembaga hilal yang menentukan awal bulan Ramadan. Sejumlah negara seperti Afghanistan merujuk pada lembaga hilal di Arab Saudi. Namun hal serupa tidak berlaku buat negara-negara lain lantaran letak geografis dan perbedaan waktu. 

Baca juga: Ramadan: Asosiasi Guru Jerman Keluhkan Masalah di Sekolah Dasar

Masalah berawal ketika bulan sabit pertama yang menandakan awal bulan sinodik tidak terlihat pada saat yang sama. Kondisi cuaca misalnya bisa mengacaukan penghitungan hilal.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama biasanya menentukan Hilal berdasarkan rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab. Kedua organisasi diundang untuk mengajukan hasil pengamatan atau penghitungan pada Sidang Isbat yang digelar pemerintah menjelang bulan Ramadan. Namun sejak 2012 Muhammadiyah menolak ikut serta pada sidang tersebut.

rzn/ap