1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Cina Memandang Perkembangan di Jerman?

11 Desember 2024

Cina memantau erat perkembangan politik dan ekonomi di Jerman. Dalam sebuah studi teranyar, negeri tirai bambu itu menyoroti lonjakan dukungan bagi populisme kanan, dan mewanti-wanti terhadap kebijakan anti-Cina.

Bendera Cina dan Jerman
Bendera Cina dan JermanFoto: Kira Hofmann/photothek/IMAGO

Boleh jadi, Alice Weidel adalah politisi Jerman paling populer di Cina. Betapa tidak? pemimpin partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman, AfD, itu mungkin satu-satunya anggota parlemen yang berbicara bahasa Cina.

Weidel mendapat gelar kedokteran usai menulis thesis tentang sistem pensiun di Cina. Tidak sedikit unggahan video tentang perempuan 45 tahun itu yang beredar di situs media sosial milik pemerintah Cina.

Weidel yang maju ke pemilihan umum dini pada Februari 2025 nanti sebagai calon kanselir dari AfD itu cendrung populer di Cina karena menentang integrasi Eropa atau dominasi Amerika Serikat.

Bahwa dia kelak akan menjadi kanselir Jerman adalah salah satu klise yang ramai beredar di Cina.

Namun, elit politik Cina menyadari bahwa kerja sama dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia hanya dapat berlanjut, jika masyarakat memiliki citra yang objektif tentang Jerman.

Sebab itu, setiap tahun diterbitkan "Laporan Pembangunan Tahunan Jerman" pada pertengahan November.

Penerbitnya adalah "Pusat Penelitian Jerman Universitas Tongji" di Shanghai. Studi setebal 386 halaman itu tidak memperhitungkan perkembangan terbaru dalam politik Jerman, seperti ambruknya pemerintahan koalisi, dan pemilihan umum dini di bulan Februari.

Meski mayoritas data yang digunakan berasal dari tahun 2023, analisa yang dibuat para peneliti Cina tentang Jerman tergolong rinci dan menyeluruh.

Does China rule the world?

29:12

This browser does not support the video element.

Pergeseran ke kanan di Jerman

Salah satu tema dominan dalam studi tersebut adalah tingginya popularitas AfD. Menurut penulis, banyak orang di Jerman khawatir tentang situasi politik dan ekonomi secara keseluruhan. AfD dikatakan memanfaatkan kekhawatiran ini untuk memecah belah dan mempolarisasi masyarakat.

"Dukungan yang besar bagi populisme kanan dan partai berideologi serupa menimbulkan tantangan bagi partai politik lain," kata Xuan Li, Profesor di Universitas Tongji.

Apakah pergeseran ke kanan dapat dibalikkan tergantung pada apakah "partai-partai lain berhasil menanggapi dengan tepat suasana hati para pemilih," Xuan menambahkan. Populis sayap kanan dipandang sebagai pendukung kebijakan luar negeri baru yang menantang aliansi "politis yang benar" yang mapan dengan AS. Setelah Moskow melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina, misalnya, AfD di Bundestag menyerukan penghapusan sanksi terhadap Rusia. "Tarik-menarik politik antara AfD dan yang lainnya akan segera menguji hubungan antara AS dan Jerman," kata penulis.

Ranjau dalam relasi transatlantik

Dalam perjalanannya ke AS pada bulan Februari 2024, Kanselir Jerman Olaf Scholz menggambarkan hubungan antara AS dan Jerman berlangsung "intensif, dekat, dan bersahabat dengan cara yang mungkin tidak pernah terjadi selama bertahun-tahun dan puluhan tahun."

Para ilmuwan politik Cina meramalkan hasil pemilihan presiden AS tahun 2024, dengan membuat prediksi tentang perkembangan aliansi transatlantik di masa depan sebelum batas waktu editorial.

"Jika Donald Trump terpilih kembali, risiko perselisihan baru dan bahkan konflik yang timbul antara Jerman dan AS dalam hal pertahanan dan perdagangan akan sangat tinggi," kata para penulis.

"Tanggapan yang tepat terhadap ketidakpastian pemerintahan AS yang baru akan menjadi usaha yang sulit. Bagaimanapun, kita melihat lonjakan nasionalisme dalam kehidupan ekonomi lintas batas, dari AS hingga Jerman dan banyak negara Eropa lainnya," lanjut mereka.

"Campuran ini akan memberikan tekanan berat pada masa depan hubungan antara Jerman dan AS serta aliansi antara kedua negara dalam perang Ukraina."

Perang di Ukraina juga merupakan tantangan bersama bagi Jerman dan Cina, kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock dalam kunjungannya ke Beijing awal minggu ini. Namun, kedua negara juga menghadapi rintangan besar saat ini dalam mengatasi tantangan bersama ini, seperti perang di Ukraina, kata Wulf Linzenich, Ketua Asosiasi Bisnis Jerman-Cina, DCW, pada konferensi tahunan di Düsseldorf pada hari Selasa (10/12).

What Trump's tariffs mean for Germany's struggling industry

02:32

This browser does not support the video element.

"Bagaimana kita dapat menemukan keseimbangan antara peningkatan kerja sama dengan AS dan mempertahankan kemitraan yang setara dengan Cina? Mesin ekonomi dekade mendatang tidak diragukan lagi akan berada di Asia. Eropa akan tetap menjadi mitra penting bagi Cina di masa depan. Strategi yang jelas dan koheren yang mempertimbangkan kedua belah pihak sangat penting," kata Linzenich.

'Diversifikasi' dari Cina

Strategi pemerintah Jerman mendefinisikan Cina sebagai "mitra dan sekaligus pesaing."

Menurut Beijing, fokus politik lebih pada aspek yang terakhir. Strategi tersebut juga menyerukan ekonomi Jerman untuk "mengurangi risiko," di mana ketergantungan pada Cina untuk sektor-sektor penting harus dihindari melalui diversifikasi.

Menurut penulis Buku Biru, Kou Kou dan Shi Shiwei, pengurangan risiko akan berbiaya mahal dan berisiko.

Perekonomian Jerman harus membayar harga tinggi untuk keputusan politik demi membatasi kerja sama dengan Cina, mitra dagang terbesarnya di dunia selama delapan tahun terakhir, tulis mereka.

"Jerman sekarang benar-benar terancam resesi. Kelonggaran dalam kebijakan fiskal telah habis. Pemerintah Jerman tidak memiliki dukungan untuk strategi Cina di dalam jajarannya sendiri dan di banyak negara UE lainnya. Efek nyata dari pengurangan risiko jauh dari harapan politik."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait