1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Para Wijayanto Sulap Jemaah Islamiyah Jadi Organisasi Dakwah

2 Juli 2019

Di bawah Para Wijayanto, Jemaah Islamiyah menjelma menjadi organisasi dakwah dan bersaing dengan ISIS. Selama itu pula Neo-JI menyusupi percaturan politik Indonesia, termasuk dalam demonstrasi melawan Ahok, 2017 silam.

Salah seorang peserta aksi demonstrasi damai melawan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, 2017.
Salah seorang peserta aksi demonstrasi damai melawan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, 2017.Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Syahdan pada sebuah pertemuan rahasia di Surabaya, 2008 lalu, Para Wijayanto diangkat menjadi amir baru Jemaah Islamiyah. JI saat itu berada di jurang kehancuran usai pertempuran hebat di Poso, Sulawesi Tengah, yang mengakibatkan ditangkapnya lebih dari 40 ikhwan.

Para yang jebolan jurusan teknik Universitas Diponegoro itu dikenal memiliki kemampuan organisatorial yang baik, meski tanpa bekal ilmu agama yang mencukupi. Pria yang kata Polisi ahli di bidang intelijen itu ditugaskan menuntun balik Jemaah Islamiyah ke era kejayaan.

Baca juga: Siapa Kelompok JAD Yang Dalangi Teror di Surabaya?

Di tangan Para Wijayanto grup yang kemudian dikenal dengan nama Neo-JI itu memilih merayap diam-diam, tanpa agenda kekerasan dan hanya mengandalkan dakwah, tulis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya 2017 silam.

Doktrin non-kekerasan tersebut dipopulerkan Abu Rusdan, salah seorang pentolan JI, yang meyakini pendirian Negara Islam hanya bisa terwujud dengan dukungan luas masyarakat. Akibatnya sayap militer JI yang dipegang oleh Ustad Batar, bekas pimpinan Laskar Al-Mujahidin di Maluku, hanya ditugaskan mengumpulkan senjata atau mengembangkan strategi serangan.

Arah baru perjuangan JI termanifestasi pada upaya menanamkan pengaruh politik. Menurut catatan IPAC, menjelang demonstrasi massal anti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama pada 2016/2017 silam, Para WIjayanto mengeluarkan maklumat berjudul "Demonstrasi Damai dan Gerakan Jihad Mungkinkah Bersanding?" yang mendorong simpatisannya agar ikut membanjiri aksi protes di Jakarta.

JI saat itu berdalih partisipasi dalam demonstrasi damai melawan Ahok serupa dengan "jihad dengan pena" atau jihad lewat dakwah. Berbeda dengan doktrin Islamic State yang menilai haram berjuang lewat jalur selain Islam, anggota JI pimpinan Para malah didorong untuk ikut memilih dalam pemilu.

Perbedaan itu pula yang membawa JI berkonflik dengan Islamic State. Pada 2014 JI mulai aktif berkampanye melawan ISIS di Indonesia lantaran dinilai terlalu mudah mengkafirkan mereka yang tidak ingin bergabung. JI sebaliknya mendewakan Jabhat al Nusra, perwakilan resmi Al-Qaeda di Suriah, yang saat itu juga bertempur melawan pasukan Abu Bakar al-Baghdadi.

Kini, 16 tahun sejak pertamakali menghuni daftar pencarian orang Densus 88, Para Wijayanto yang berusia 54 tahun akhirnya berhasil dibekuk aparat keamanan.

"Jemaah Islamiyah masih merupakan ancaman karena strategi mereka adalah mendirikan kekhalifahan," kata Jurubicara Kepolisian Dedi Prasetyo kepada Reuters seusai penangkapan. 

Baca juga: SINGAPURA: Militansi Islam Tetap Ancaman Terbesar di Asia

Hal serupa diungkapkan Stanislaus Riyanta, pakar terorisme Universitas Indonesia. Menurutnya anggota JI masih aktif, meski tak kasat mata. "Masih banyak anggota JI, dan setelah kematian Osama bin Laden, mereka menjadi sel tidur," ujarnya. "Kejatuhan Islamic State mungkin meninggalkan celah untuk kebangkitan JI."

Kesimpulan senada dipublikasikan IPAC dalam laporannya tentang Jemaah Islamiyah. JI, menurut organisasi itu, tidak memiliki masa serupa FPI, koneksi politik layaknya FUI atau pesan yang sederhana dan mengena seperti Hizbut Tahrur. "Di bawah tanah JI menyiapkan diri untuk konfrontasi militer di masa depan, sembari mewanti-wanti anggotanya terhadap segala bentuk aksi (terorisme)."

rzn/hp (rtr, ap, ipac, kompas)