1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KriminalitasAsia

Bagaimana Pengusaha Turki Bantu Qatar Suap Pejabat Uni Eropa

Serdar Vardar | Jack Parrock | Paolo Biondani (L'Espresso)
23 Agustus 2023

Jejak aliran duit suap dari Maroko dan Qatar untuk politisi Uni Eropa mengarah ke Inggris. Dokumen pemerintah di London mengaitkan seorang pengusaha Turki dengan sebuah perusahaan milik keluarga kerajaan Qatar.

Ilustrasi skandal Qatargate
Ilustrasi skandal QatargateFoto: Serdar Vardar

Syahdan, profesi pertama yang digeluti Hakan Camuz di London setelah bermigrasi dari Turki, tahun 1992 lalu, adalah pegawai sebuah kedai kebab, di mana dia bekerja hingga 15 jam per hari. 

Karir Hakan kelak meroket ke dalam lingkaran kekuasaan dan kekayaan antara London dan Ankara. Kini namanya tersangkut pada kasus dugaan penyuapan di Parlemen Eropa oleh Qatar dan Maroko.

Peran Hakan dalam skandal "Qatargate” berpangkal pada sebuah perusahaan miliknya yang menawarkan jasa konsultasi hukum bagi warga Turki di Inggris. 

Stoke White tercatat pernah mengawal kasus melawan pemerintahan India, Israel, Arab Saudi, Suriah dan Uni Emirat Arab, alias deretan negara yang dianggap rival oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

"Dalam sepuluh tahun terakhir, pekerjaan kami di bidang UU Keimigrasian lebih fokus pada kasus pelanggaran HAM dan kejahatan perang,” kata Camuz kepada DW. "Kami banyak melayangkan gugatan dalam kasus kejahatan perang dan pelanggaran HAM.”

Hakan CamuzFoto: Samuel Corum/AA/picture alliance

Pada 2021, dia mendirikan perusahaan properti, London RS Properties, yang saat itu ikut dimiliki oleh Menteri Keuangan Turki, Mehmet Simsek dan pengusaha konstruksi, Abdurrahman Resitoglu. 

Korupsi di Parlemen Eropa

Skandal "Qatargate” mencuat ketika tujuh anggota Parlemen Eropa, termasuk Wakil Presiden Eva Kaili asal Yunani, ditangkap di Brussels dengan tuduhan korupsi, pencucian uang dan partisipasi dalam organisasi kriminal.

Dikabarkan, pejabat Qatar, Maroko dan Mauritania rutin memberikan paket liburan mewah dan kiriman uang tunai ke sejumlah anggota Parlemen Eropa. Tujuannya adalah mendulang dukungan bagi sebuah perjanjian penerbangan 2021 yang menjamin akses maskapai Qatar Airways ke bandara di Uni Eropa.

Antonio Panzeri, seorang anggota parlemen asal Italia antara 2004 dan 2019, dicurigai bertindak sebagai dalang operasi. Dia dan asistennya, Giorgi, telah sepakat untuk berkolaborasi dengan otoritas Belgia demi keringanan hukuman.

Menurut catatan Giorgi, mereka menggunakan sebuah perusahaan cangkang bernama Equality Consultancy untuk mengalirkan uang suap. Panzeri mengaku, uang dari Qatar ditransfer ke rekeningnya melalui "seorang pengusaha Turki dan kuasa hukumnya di London.” Namanya adalah Camuz, tulis Giorgi.

Bantahan Camuz

Camuz saat ini belum dinyatakan sebagai tersangka. Kepada DW, dia mengaku tidak mengenal para politisi yang terlibat. Namun begitu, dia membenarkan pernah bertemu Giorgi di ibu kota Qatar, Doha, dalam sebuah acara kemanusiaan.

Pada 2019 dan 2020, Camuz mengirimkan dana sebesar 115.000 Euro ke rekening Equality Consultancy, melalui perusahaan dan yayasan miliknya, sesuai dokumen yang diperiksa DW. 

Dia mengatakan, dana tersebut adalah pembayaran bagi "layanan lobi etis” oleh Giorgi untuk mempromosikan kerja kemanusiaan Stoke White di parlemen Eropa. Hal ini menurutnya bertujuan untuk memudahkan akses dana bantuan UE.

Koneksi Doha

Camuz sempat duduk sebagai dewan pengawas di Yayasan Radiant Trust, yang menurut dokumen Paradise Papers, menguasai perusahaan properti, Radiants Properties Limited, milik Khalid Al Thani, salah seorang anggota keluarga kerajaan Qatar dan CEO Bank Islam Internasional Qatar.

DW belum bisa memverifikasi, apakah yayasan bernama Radiant Trust yang dimaksud di dalam Paradise Papers merupakan yayasan yang sama. Tapi menurut catatan pemerintah Inggris, tidak ada yayasan lain bernama Radiant Trust.

Camuz menolak mengomentari dugaan relasi bisnis dengan kerajaan Qatar. Pun, pemerintah di Doha menolak semua tuduhan terkait dugaan penyuapan di Parlemen Eropa.

Skandal Qatargate ikut menelanjangi lemahnya sistem pengawasan di parlemen Eropa. Sebagai buntut skandal, Presiden Parlemen, Roberta Metsola, mengusulkan 14 butir kebijakan untuk mencegah tindak pidana korupsi dan suap.

"Tidak akan ada yang ditutupi,” kata Metsola saat kasusnya pertama kali meruak. "Para aktor jahat yang berafiliasi dengan autokrasi di dunia ketiga telah mempersenjatai LSM, serikat buruh dan anggota Parlemen Eropa. Tapi rencana jahat mereka telah gagal.”

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait