Mengalami kekerasan domestik di luar negeri, bagi banyak perempuan dihantui dengan rasa kesendirian. Seorang penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Swedia membantu perempuan lainnya dan berbagi pengalaman.
Iklan
"Lima tahun sudah rasanya seperti di neraka. Bicara salah sedikit dibentak-bentak, atau jika saya lupa sesuatu suami bisa sampai banting barang. Jika saya melawan dia memukul saya,” ujar Andrea (bukan nama sebenarnya-ed), warga Indonesia di Jerman yang akhirnya mencari perlindungan organisasi perempuan di negara bagian Nordrhein-Wesfallen untuk didampingi dalam kasus kekerasan domestk yang dialaminya.
Bertahun lamanya ia tak mau membicarakan masalah yang dialaminya kepada warga Indonesia lainnya di Jerman. Ia pun tak berani menceritakan ke kerabat dan keluarganya di tanah air, karena takut dicerca dan dibilang 'salah sendiri' atau jadi bahan gosip.”Saya merasa sendirian sekali. Saya malu. Rasanya aib membicarakan kejelekan suami. Ketika sudah tidak tahan lagi, saya mencari bantuan organisasi dan mereka membantu saya,” ujarnya lirih.
Andrea kemudian memutuskan bercerai dengan pengacara yang disediakan lembaga bantuan perempuan. Semua harta milik bersama dibagi dua meski sebenarnya Andrea tak menginginkannya.
Sebagaimana Andrea, beberapa perempuan juga memilih diam ketika mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya. Termasuk, Rizki Suryani. Tapi itu dulu. Kini penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut malah berusaha membantu perempuan-perempuan korban KDRT di luar negeri untuk bersuara dan melindungi diri. Perempuuan yang baru bermukim di Swedia tahun 2021 ini bercerita baru saja membantu perempuan korban kekerasan domestik. "Akhirnya dia baru keluar dari KDRT-nya, dia mengalami kekerasan verbal dan juga fisik. Alhamdulillah, dia akhirnya bisa memutuskan untuk keluar dari masalah KDRT-nya dan ditolong oleh pemerintah setempat di sini. Dan sistem mereka bagus untuk perlindungan pada perempuan yang mengalami KDRT, didampingi pengacara sama penerjemah di sini. Didukung dengan tempat tinggal dan kebutuhan bulanan. Tapi sebelum itu, kasusnya diinvestigasi terlebih dahulu. KDRT-nya benar terjadi seperti yang dia sebutkan, dia laporkan. Pemerintah cukup bertanggung jawab di sini, dilindungi jadinya perempuan-perempuan korban KDRT,” tutur Rizki.
Iklan
Membantu perempuan di negara-negara lain
Tak hanya perempuan di Swedia, ia juga membantu perempuan-perempuan Indonesia di negara lainnya. "Ada pula yang susah untuk mengambil keputusan padahal sudah dipukuli dan dikerasi, alasannya anak dan ekonomi. Kalau dia sendiri tak ada kemauan untuk keluar dari kekerasan itu, cukup sulit juga membantunya,” demikian tutur Rizki.
Seorang aktivis perempuan di Jerman asal Indonesia, Anna Knöbl menambahkan tidak mudah untuk membantu perempuan keluar dari lingkaran kekerasan domestik, terutama di luar negeri. "Karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap tabu atau masih menjadi aib yang sulit untuk diceritakan. Padahal bagaimana kita bisa melindungi diri, kalau kita tidak bisa melaporkan atau menceritakan apa yang terjadi," tandasnya.
Tinggal di luar negeri dianggap sebagai keromantisan, tambah Anna. ”WNI juga memerlukan pembekalan untuk menghadapi gegar budaya di luar negeri, dan membekali diri untuk bisa melindungi diri saat terjadi kekerasan atau saat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Biasanya hal ini menimpa diaspora Indonesia karena ketidaktahuan, termasuk juga ketidakmampuan bahasa yang dikuasai di wilayah tinggal mereka, tambahnya.
Rizki Suryani sendiri belajar untuk membantu korban-korban KDRT dari pengalaman pribadinya ketika menikah dengan warga negara asing di Indonesia tahun 2008. "Yang saya alami lebih pada kekerasan secara emosional atau mental, jadi didamprat, dicaci maki, dicela. Kadang dilempar barang di depan muka,” ungkap Rizki. "Sekitar hampir 5 tahun. Selama 6 tahun itu, saya berusaha untuk melupakan masa lalu. Tapi tidak bisa, jadi lebih ikhlas menerima masa lalu. Itu adalah bagian dari masa lalu saya. Jadi lebih memaafkan diri sendiri, lebih menerima. Itu adalah salah-satu bagian untuk bangkit kembali," tambah Rizki.
Bangkit dari keterpurukan
Setelah taruma berkepanjangan, Rizki menikah dengan pria lain asal Swedia di awal tahun 2021. Ia mengakui trauma masa lalu kadang menghantuinya. "Traumanya yang tersisa sampai sekarang itu saya sensitif sama suara yang tinggi, kalau ada orang yang emosi langsung takut, jadi langsung ciut, rasanya ciut," tandasnya.
Tak ingin lebih banyak jatuh korban kekerasan domestik, Rizki berbagi kiat bagi perempuan Indonesia yang ingin merantau dan menjalani pernikahan di negara orang. " Pasti sulit ya. Apalagi kita perantau. Apalagi kalau kita baru tinggal di sini yang kita tidak tahu apa-apa tentang sistem hukum mereka kan atau bagaimana kalau kita ada masalah, lalu bagaimana begitu. Kita tidak punya teman atau teman baru pun tidak ada. Lebih baik, sebelum pindah menetap di sini, belajar mengetahui tentang negara ini, bahasanya, lalu kalau terjadi apa-apa nomor daruratnya berapa, rumah sakit dan polisi disimpan semua nomor-nomornya, dan lapor kedutaan. Jadi semua itu harus dilakukan untuk perantau, ya. Kalau ada apa-apa, kita aman. Walaupun kita tidak punya siapa-siapa. Belajar mengikuti protokol dan hukum di sini atau lapor polisi, lapor organisasi," ujarnya.
Suami kedua Rizki, Morgan Strömqvist -yang membantunya bangkit melawan keterpurukan dari pernikahan pertamannya- meninggal dunia pada bulan Oktober 2021, hanya beberapa bulan setelah meresmikan pernikahannya dengan Rizki, "Dia adalah bukti nyata masih ada orang-orang baik di sekitar kita. Ia meninggalkan saya dengan mempersiapkan diri saya agar tegar sebagai individu. Kepergiannya adalah kehilangan terbesar bagiku," pungkasnya.
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)