Walhi mencatat tren lonjakan penerbitan izin perkebunan sebelum dan sesudah Pilkada. Dalam wawancara dengan DW, Direktur Walhi Yaya Nur Hidayati mengkhawatirkan menyusutnya hutan primer dan meningkatnya konflik lahan
Iklan
Hery Susanto Gun bukan sosok asing di mata penegak hukum. Pengusaha asal Kalimantan Timur itu memiliki julukan "raja tanah" dan giat mendulang rezeki dari apapun yang bisa diperolehnya, batubara, sawit hingga pungutan liar di pelabuhan. Dalam proses persidangan kasus korupsi mantan Bupati Kurai Kartanegara, Rita Widayasari, kader Partai Demokrat itu berkisah menyerahkan uang senilai Rp. 6 milyar kepada Rita untuk mendapat konsesi sawit.
Dari Rita, Hery pun mendapat izin lokasi perkebunan kelapa seluas 16.000 Hektare di Kalimantan Timur. Namun transaksi sesat itu pula yang menenggelamkan keduanya.
Hak pengelolaan Sumber Daya Alam bertukar uang suap bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sejak era ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan secara besar-besaran pada era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, kasus korupsi seputar pemberian konsesi lahan oleh pejabat daerah mulai muncul ke permukaan.
Sebut saja Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama, yang dicokok KPK 2015 silam lantaran memberikan suap kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan kepada Kementerian Kehutanan untuk konsesi sawit seluas 2.432 Hektare. Edison divionis tiga tahun penjara, sementara Annas harus mendekam dua kali lipat lebih lama.
Sejak tahun lalu Wahana Lingkungan Hidup sudah mewanti wanti terhadap perluasan areal untuk izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit menjelang atau setelah Pilkada serentak 2018. Kepada DW, Direktur Eksekutif Walhi Indonesia, Yaya Nur Hidayati, mengatakan pemberian izin di jalur cepat itu menyisakan dampak lingkungan dan sosial yang bisa berujung pada pelanggaran HAM.
Berikut kutipan wawancaranya:
DW: Apakah anda bisa memastikan adanya tren penerbitan izin perkebunan oleh kepala daerah di akhir dan awal masa jabatannya?
Yaya Nur Hidayati: Memang dari data-data yang kami olah ada tren peningkatan pelepasan kawasan hutan di tahun politik. Dan fenomena ini sudah terlihat sejak pemilihan umum 1987. Jadi setahun sebelum dan setahun sesudah pemilu terjadi lonjakan pemberian izin perkebunan. Trennya bukan cuma pada pelepasan kawasan hutan, tetapi juga pada pemberian izin Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusahaan Hutan.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
Apakah penerbitan izin itu sendiri melanggar hukum?
Memang Undang-undang memungkinkan untuk dikeluarkannya izin dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Tapi intinya adalah apakah dalam proses tersebut terjadi gratifikasi atau tidak? Kalau kami melihatnya lain. Pelepasan kawasan hutan secara besar menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Kalau kita berbicara tentang perkebunan kelapa sawit, misalnya akan ada proses pembukaan lahan dan pengeringan lahan gambut yang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar. Selain itu izin tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik sosial karena biasa izin dikeluarkan tanpa memperhatikan apakah di lokasi tersebut ada aktivitas masyarakat atau tidak. Jadi pemerintah mengeluarkan izin tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.
Kemudian perusahaan yang sudah memegang izin diberikan tanggungjawab buat "membereskan" persoalan tersebut. Perusahaan biasanya menggunakan aparat keamanan untuk menghadapi penolakan oleh penduduk setempat. Itu yang kemudian berujung pada tindak kekerasan oleh aparat, kriminalisasi, bahkan sampai pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan warga yang melakukan aksi penolakan terhadap perusahaan sering ditangkap karena dianggap melakukan tindak kriminal. Jadi itu adalah model bisnis yang berulangkali terjadi di industri perkebunan kelapa sawit atau perkebunan monokultur lainnya, dan juga pertambangan. Jadi sektor-sektor ini ikut menyumbang pada terjadinya konflik lahan dan pelanggaran HAM.
Apakah tren serupa akan berulang di Pilkada 2018? Bagaimana mengawasinya?
Kita harus melihat pada level apa kewenangan perizinan itu berada. Jadi misalnya ada kewenangan yang semula berada di tangan pemerintah daerah tingkat dua, sekarang dipegang oleh pemerintah provinsi. Nah ini sebenarnya yang perlu diwaspadai. Kami pun sudah memberikan peringatan kepada pemerintah pusat yang menerbitkan moratorium izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut, serta moratroium perkebunan sawit. Dan kami juga sudah memperingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mewaspadai daerah-daerah, di mana memiliki potensi terjadinya korupsi dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur dengan batu baranya atau di Kalimantan Barat yang punya rencana melakukan ekspansi perkebunan sawit secara besar-besaran, dan juga terutama di Papua yang menjadi wilayah terakhir ekspansi perkebunan di Indonesia.
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
Nah khususnya di Papua, ada banyak perusahaan yang sebenarnya mengincar kayunya. Jadi seringkali izin untuk perkebunan hanya menjadi kedok untuk memperoleh kayu secara cuma-cuma. Karena kalau mereka mendapatkan konsesi di kawasan hutan yang masih baik, mereka juga mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Jadi mereka berhak "menikmati" kayunya untuk dijual karena sudah menjadi haknya pengusaha. Jadi mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mendapat izin di dalam hutan.
Di Papua Walhi mencatat ada banyak konsesi perkebunan sawit yang berada di atas lahan moratorium atau hutan primer. Bagaimana ini bisa terjadi?
Moratorium izin perkebunan baru dikeluarkan di periode akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 2011. Kami mencatat, setahun sebelumnya Kementerian Kehutanan banyak sekali mengeluarkan izin-izin baru, termasuk di dalamnya yang sangat sulit dilacak adalah pengeluaran izin baru melalui proses perubahan tata ruang yang diusulkan kepala daerah.
Lantas apakah perubahan tata ruang bisa mereduksi hutan primer yang dilindungi moratorium?
Bisa dan itu termasuk beberapa modus yang kami amati. Jadi peta moratorium setiap tahun direvisi dan dikaji ulang. Ada wilayah yang dikeluarkan lantaran tidak berbentuk hutan primer lagi. Nah yang sering Walhi temukan di lapangan adalah modus, di mana hutannya dirusak terlebuh dahulu atau dibakar dengan sengaja, sehingga dianggap bukan hutan primer lagi dan dikeluarkan dari peta moratorium saat proses revisi. Dan kita melihat ada tren, di mana kawasan hutan yang dikeluarkan dari peta moratorium, dua tahun kemudian sudah menjadi perkebunan.
Hutan dan Pohon: Bukan Hanya Paru-Paru Dunia
Hari Hutan Internasional adalah saatnya untuk menghargai alam sekeliling kita yang hijau. Tahun ini, yang jadi salah satu fokusnya energi yang bisa diperbaharui. Sumber energi tertua dan bisa diperbaharui adalah kayu.
Foto: Reuters
Panggilan bagi Hutan
Rimba, kayu, hutan, hutan kecil. Semua kawasan tempat tumbuhnya kayu jadi perhatian utama pada Hari Hutan Dunia tanggal 21 Maret. Hari ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 2012. Karena temanya berganti-ganti tiap tahun, ini juga bertujuan meningkatkan kesadaran akan hutan dan kegunaannya yang beraneka ragam. Tema tahun ini: hutan dan energi.
Foto: picture-alliance/Arco Images/J. & A. Kosten
Seberapa Banyak Kayu Dibutuhkan?
Hutan adalah basis banyak tipe energi. Jika digunakan sebagai bahan bakar, kayu bisa berguna dalam bentuk padat, gas dan cair. Bahan bakar kayu misalnya kayu bakar, gas kayu, bioetanol menghasilkan energi bagi satu dari tiap tiga rumah tangga di seluruh dunia. Kayu terutama digunakan untuk memasak, memanaskan ruangan dan mendidihkan air.
Foto: picture-alliance/dpa
Bahan Bakar Kayu Adalah Energi Terbarukan
Hutan-hutan adalah sumber bahan bakar yang bisa didaurulang. Jumlahnya tidak sedikit, sekitar 40% sumber energi di dunia. Emisi yang dilepas ke atmosfir jika kayu dibakar kembali dihilangkan dari udara lewat pohon-pohon yang baru ditanam, karena pohon-pohon menggunakan dan menyimpan CO2. Ini semua tidak ada pada bahan bakar fosil.
Foto: Fotolia/maho
Asap Adalah Dampak Mematikan
Sekitar 50% kayu digunakan untuk menghasilkan energi tiap tahunnya. Di Asia, jumlahnya 60% persen, dan di Afrika bahkan 90%. Asap yang dihasilkan jadi masalah, tertuma bagi kesehatan orang. 4,3 juta orang meninggal tiap tahunnya karena polusi udara di dalam ruangan. Itu lebih dari jumlah seluruhnya kematian akibat malaria, tuberkulosis dan HIV.
Foto: Reuters/M. Al Hwaity
Bekerja dengan Kayu
Kayu adalah sumber pekerjaan yang penting. Di negara-negara berkembang, sumber keuangan sekitar 883 juta orang sepenuhnya atau sebagian berasal dari kayu. Dengan bahan bakar organik yang mulai bermunculan, jumlahnya bisa bertambah, juga di negara-negara berkembang.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Holden
Dari Kayu Hasil Tebangan?
Popularitas briket arang dan pelet semakin tinggi dalam beberapa hari belakangan. Bentuk ini tidak hanya lebih kecil dan mudah digunakan, tapi juga bisa diproduksi dengan bahan selain kayu, misalnya rumput dan abu penggergajian kayu. Keuntungan lain, tranpornya lebih aman dan mudah, dibanding misalnya bahan bakar gas atau minyak dari fosil.
Foto: German Pellets
Tempat Teduh di Kota Yang Panas
Kayu tidak hanya bagus untuk memanaskan. Di planet bumi yang tambah panas, pohon juga bisa jadi penyejuk. Di kota-kota yang terlalu panas, pohon jadi penyejuk sampai sekitar 8° Celcius. Jika udara kota yang lebih sejuk berarti pendingin ruangan tidak terlalu banyak diperlukan di gedung-gedung.
Foto: Public Domain
Pembalakan Liar Ancam Paru-Paru Hijau Dunia
Rimba hutan tropis memegang peran utama dalam menyimpan CO2. Hutan rimba amazon terancam penebangan ilegal karena pohon ditebang dan lahan dibuka untuk pertanian, pertambangan dan proyek konstruksi. Ilmuwan memperingatkan, hutan harus diselamatkan jika iklim bumi ingin dijaga. Penulis: Jessie-May Franken (ml/hp)