1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanRusia

Bagaimana Rusia Menarik Lebih Banyak Pelajar Afrika?

31 Oktober 2025

Rusia merangkul negara-negara Afrika yang kesulitan mendekat ke barat lewat diplomasi jalur pendidikan.

Diskusi Podium untuk Operasi Ekonomi Afrika Rusia di St Petersburg, 28 Juli 2023
Kerja sama antara negara-negara Afrika dan Rusia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. (Foto tahun 2023, Konferensi Rusia-Afrika)Foto: Vyacheslav Prokofyev/ITAR-TASS/IMAGO

Pada tahun 2025, Rusia menerima 5.000 mahasiswa asal Afrika untuk belajar universitas negerinya setelah sebelumnya menerima lebih dari 40.000 pelamar. Menurut badan diplomasi budaya Rusia, Rossotrudnichestvo, jumlah pelamar melonjak dua kali lipat dibandingkan jumlah di tahun 2024. Pelamar terbanyak berasal dari Sudan, Guinea, Ghana, dan Chad. Minat terhadap kursus bahasa Rusia juga dilaporkan meningkat.

Para pengamat tidak heran jika mahasiswa Afrika beralih ke universitas-universitas Rusia untuk mengenyam pendidikan tinggi. Di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, Rusia menghidupkan kembali hubungan yang ada dari era Soviet dan membangun aliansi baru di seluruh Afrika untuk memperluas pengaruh globalnya di tengah konfrontasi dengan barat.

Sejak invasi besar-besaran ke Ukraina pada tahun 2022, Rusia semakin mendekat ke negara-negara global south untuk melawan isolasi internasional. Rusia menjadikan pendidikan, energi, dan kerja sama militer sebagai ‘pemikat'.

"Menawarkan beasiswa adalah cara termurah untuk menjaring sekutu. Rusia sangat membutuhkan sekutu saat ini,” kata sejarawan Rusia Irina Filatova, Profesor Emeritus di Universitas KwaZulu-Natal, Afrika Selatan, kepada DW. "Rusia mencitrakan dirinya sebagai kekuatan anti-kolonial, dan masyarakat Afrika menerimanya.”

Saat ini, jumlah mahasiswa Afrika yang belajar di Uni Eropa atau Amerika Serikat jauh melampaui mereka yang belajar di Rusia. Sebuah studi tahun 2013 memperkirakan lebih dari 92.000 mahasiswa asal Afrika belajar di Prancis.

 

Menyebarkan jejak-jejak budaya

Rusia berencana untuk memperbanyak pusat budaya dan pendidikannya di seluruh Afrika lewat Russian Houses (Rumah Kebudayaan Rusia).

Yevgeny Primakov, kepala Rossotrudnichestvo, dalam pameran Russia-Africa Expo 2025 di Moskow di bulan Oktober, mengatakan Russian Houses akan didirikan di Mesir, Zambia, Tanzania, Afrika Selatan, dan Etiopia.

"Kursus bahasa Rusia kini ditawarkan di banyak negara Afrika, dan dengan mengikuti kursus tersebut pintu menuju beasiswa, universitas, peluang karier, dan hidup di Rusia terbuka,” ujarnya.

Bertambahnya jumlah Russian Houses, disertai dengan program bahasa dan beasiswa pendidikan yang didanai negara, mendorong jumlah pelamar beasiswa ke Rusia. Di Republik Afrika Tengah, pemerintah telah memberlakukan kursus bahasa Rusia wajib bagi mahasiswa universitas. Presiden Faustin-Archange Touadera yang bergantung pada dukungan militer Rusia membuat penasihat militer dan kontraktor swasta Rusia telah hadir secara kuat di sana.

 

Kekhawatiran akan propaganda dan paksaan bergabung dengan militer Rusia

Para kritikus menuding Russian Houses sebagai pos propaganda terselubung yang menyebarkan narasi Rusia di luar negeri.

Organisasi hak asasi manusia juga menyoroti laporan bahwa beberapa mahasiswa asing dipaksa bergabung dengan militer Rusia dengan imbalan perpanjangan visa atau status hukum tertentu.

Beberapa mahasiswa yang ditangkap oleh pasukan Ukraina mengaku dipaksa menandatangani kontrak militer di bawah ancaman deportasi atau penjara. Ada juga yang ‘terpikat' untuk turut serta dalam perang Rusia dengan bekerja di pabrik-pabrik senjata dan amunisi. Para analis memperingatkan praktik semacam itu dapat merusak upaya diplomasi soft power Rusia.

"Dengan memberikan beasiswa untuk mahasiswa asing belajar di Rusia namun pada akhirnya memaksa mereka melakukan hal lain - ini membuat citra Rusia jadi buruk,” ujar Filatova. "Rusia membutuhkan negara-negara Afrika sebagai sekutu, bukan musuh.”

Pendidikan terjangkau bagi mahasiswa Afrika

Pada masa Uni Soviet, Moskow adalah mitra negara-negara nonblok di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ribuan mahasiswa menempuh pendidikan di sana dan kemudian menjadi pemimpin politik atau bisnis. Universitas Persahabatan Antarbangsa Patrice Lumumba yang didirikan pada tahun 1960 adalah salah satu pusat pendidikan bagi mahasiswa internasional kala itu.

Delegasi dari Kenya mengunjungi Universitas Patrice Lumumba di Moskow pada tahun 1964.Foto: Alexei Stuzhin/TASS /IMAGO

Di luar aspek geopolitik, biaya kuliah dan hidup di Rusia jauh lebih rendah dibandingkan universitas-universitas di Barat, atau bahkan beberapa universitas di Afrika sendiri. "Universitas di Rusia jauh lebih murah dibandingkan belajar di Eropa atau beberapa negara Afrika,” kata Keith Baptist, seorang warga Zimbabwe yang memiliki tiga anak yang belajar di Rusia. "Biaya tempat tinggal dan makanan juga jauh lebih murah di Rusia dibandingkan di Zimbabwe,” tambahnya. Biaya kuliah tahunan untuk bidang kedokteran dan spesialisasi lain di Rusia berkisar antara $2.000 (Rp 33 juta) hingga $10.000 (Rp 166 juta). Di AS harganya berkisar $20.000–$40.000 (Rp 332 hingga 664 juta).

Jefry Makumbe, sarjana lulusan Universitas Voronezh Zimbabwe pada tahun 2008, mengatakan faktor keterjangkauan serta hubungan baik menjadi alasan utama. "Keterjangkauan dan hubungan baik yang dimiliki Rusia dengan negara-negara Afrika merupakan faktor utama. Banyak anak muda Afrika lebih memilih belajar di Rusia,” kata Makumbe kepada DW.

Filatova menambahkan bahwa pendanaan negara yang disengaja oleh Kremlin untuk universitas-universitas negeri membuat harga kuliah terjangkau."Jika beasiswa dibiayai penuh, itu peluang bagus bagi mahasiswa Afrika yang tidak mampu membayar pendidikan. Pendidikan penuh seperti itu sangat langka di Barat maupun Afrika sendiri,” ujarnya.

Negara-negara barat menjauhkan pelajar Afrika

Para analis juga menunjukkan bahwa kebijakan imigrasi dan visa yang semakin ketat di negara-negara Barat membuat Afrika condong memilih Rusia.

Pada bulan Juni, Amerika Serikat menangguhkan penerbitan visa, termasuk visa pelajar, ke beberapa negara Afrika.

AS telah mencabut lebih dari 6.000 visa pelajar dengan alasan pelanggaran hukum AS, masa tinggal berlebihan, dan "dukungan terhadap terorisme.” "Negara-negara Barat kini semakin mempersulit untuk mendapatkan beasiswa, bahkan visa pelajar biasa,” ujar Baptist.

"Awalnya Amerika menjadi pilihan pertama kami sampai kami menyadari aplikasi visa kami telah ditangguhkan.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Yuniman Farid

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait