Indonesia sebenarnya sudah punya undang-undang yang menjamin pelayanan kesehatan mental, tapi sampai hari ini peraturan pelaksanaanya tidak pernah diselesaikan perumusannya. Opini Zaky Yamani.
Iklan
Saya pernah bekerja sebagai jurnalis penuh waktu selama 14 tahun. Pengalaman liputan saya mencakup berbagai isu, mulai dari liputan politik, ekonomi, lingkungan hidup, masalah-masalah sosial, budaya, juga kriminal dan bencana alam. Dengan rentang bidang liputan yang seperti itu, saya berada dalam posisi yang tidak bisa ditawar untuk menyaksikan konflik dan penderitaan-penderitaan manusia.
Saya pernah berada di tengah lokasi bencana, lalu hidup dan berinteraksi dengan para korbannya, misalnya dalam peristiwa tsunami Aceh pada Desember 2004 dan letusan lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 2006. Saya pernah berbicara dengan para korban perampokan dan pemerkosaan, mendengarkan dengan detail bagaimana mereka dianiaya oleh para penjahat. Sekaligus juga pernah berbicara dengan berbagai macam pembunuh dan pemerkosa, mendengarkan dengan detail tentang bagaimana mereka melakukan kejahatan, dan saya menyaksikan proses interogasi polisi terhadap mereka yang seringkali terlampau brutal.
Saya pernah berbicara dengan anak-anak yang menjadi pemerkosa, dan mendapatkan pengakuan dari mereka tentang kehidupan brutal di dalam penjara. Saya juga pernah melihat anak-anak yang menjadi korban perkosaan, dan merasakan empati yang mendalam atas penderitaan yang mereka alami.
Saya pernah bergaul dengan para polisi yang melakukan penyelidikan dan menangkap para penjahat. Saya tahu bagaimana mereka begitu tertekan karena persoalan ekonomi keluarga dan pekerjaan, yang dua hal itu bisa mengarahkan mereka pada aksi-aksi kekerasan. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mendengar para polisi lapangan itu membuat pengakuan, tentang bagaimana mereka harus memeras para tersangka kasus-kasus kriminal kerah putih, agar mendapatkan biaya untuk menangkap para pembunuh dan pemerkosa karena anggaran yang diberikan negara kepada mereka untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan tidak pernah mencukupi.
Sering saya berbicara dengan orang-orang yang dituduh sebagai koruptor dan mendengarkan versi mereka tentang kasus yang menjerat masing-masing. Saya juga menyaksikan dan berbicara dengan begitu banyak orang miskin yang tak mendapatkan haknya sebagai warga negara—dan mungkin nasib buruk mereka adalah akibat dari aktivitas-aktivitas korupsi.
Liputan-liputan saya tentang politik dan korupsi juga telah beberapa kali menempatkan saya dalam posisi terancam: dihina secara verbal, dan diteror dengan ancaman penculikan dan pembunuhan. Bahkan saya pernah dua kali "diambil paksa”—jika tidak bisa dikatakan sebagai penculikan. Satu kali karena liputan saya tentang sebuah kelompok sempalan DI/TII di salah satu kabupaten di Jawa Barat, satu kali karena liputan saya tentang dugaan penggunaan ijazah palsu oleh salah seorang calon bupati—juga di Jawa Barat.
Traumatis
Peristiwa-peristiwa buruk dan kesaksian-kesaksian orang yang mengalaminya—juga kesaksian saya sendiri atas peristiwa-peristiwa dan orang-orang itu—membuat saya jadi orang yang senantiasa gelisah. Saya selalu merasa dituntut untuk memikirkan nasib-nasib buruk orang lain, saya merasa harus menggali persoalan-persoalan, untuk kemudian saya beritakan, agar lebih banyak orang yang peduli, memahami, untuk akhirnya terlibat dalam membuat hidup semua orang jadi lebih baik.
Beberapa karya liputan saya sempat diganjar sebagai karya liputan terbaik dalam berbagai ajang kompetisi jurnalistik. Tetapi hal itu seringkali tidak membuat diri saya bersikap positif. Malah sebaliknya, saya sering larut dalam perasaan bersalah atas nasib buruk orang lain, dan merasa telah mengeksploitasi nasib buruk mereka.
Di sisi lain, karena ancaman-ancaman yang sering saya terima, saya berubah menjadi orang yang selalu tegang, waspada, bahkan selalu ketakutan berada di mana pun. Saya sulit memercayai orang lain, dan saya sering sulit mengontrol diri untuk tidak meledak marah karena berbagai persoalan.
Merusak Kesehatan Mental dengan Kebiasaan
Pikiran dan suasana hati berkaitan dengan apa yang kita alami sehari-hari. Tapi ada kebiasaan dan pola berpikir yang pertajam suasana hati yang buruk.
Foto: Fotolia/dgmata
Menarik Diri dari Orang Lain
Menarik diri dari teman dan keluarga adalah simtom depresi. Tetapi isolasi sosial jika disertai perasaan kesepian terutama akan meningkatkan kemungkinan gangguan kesehatan mental. Walaupun perasaan hati Anda tidak enak, tetaplah berusaha berhubungan dengan orang lain.
Foto: picture-alliance/dpa/V. Bonn-Meuser/
Tidak Pernah Sendirian
Sama seperti memisahkan diri dari orang lain, jika Anda tidak pernah sendirian, akibatnya juga bisa negatif, ujar pakar psikoterapi Erin K. Leonard PhD. Memiliki waktu untuk sendirian, baik sehari, sejam ataupun hanya 10 menit, sangat penting. Jadi sediakan waktu untuk Anda sendiri, dan lebih penting lagi: harus dilaksanakan.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Marks
Menahan Amarah
Amarah dan frustrasi adalah reaksi normal terhadap tantangan hidup. Tapi jika Anda menekan perasaan itu, dan membiarkan dendam serta kesedihan mengakar, akibatnya akan buruk. Penting untuk mengekspresikan emosi negatif, tapi hanya lewat cara yang baik.
Foto: Fotolia/rangizzz
Tidak Cukup Tidur
“Tidur berdampak pada segala hal,” kata Diedra L. Clay, PsyD, dari Bastyr University. Termasuk pada kemampuan emosional dan mental, juga pada fungsi tubuh. Lewat tidur tubuh meregenerasi diri, dan tanpa tidur fungsinya terganggu. Coba telaah mengapa Anda tidak bisa tidur, dan ciptakan lingkungan yang mendukung istirahat.
Foto: Colourbox/E. Amikishiyev
Tidak Berolahraga
Selain mendukung kesehatan tubuh, berolahraga juga jadi kunci memperbaiki suasana hati. Ini juga bisa mengurangi depresi dan perasaan takut, demikian hasil riset. Jika Anda merasa sulit mengikuti jadwal olah raga yang Anda buat, mungkin jadwalnya terlalu ambisius. Sarannya: kaji ulang dan coba sesuaikan lagi.
Foto: Colourbox
Bersikap Perfeksionis
Berusaha mencapai standar yang tidak mungkin dicapai dalam semua hal yang Anda lakukan, baik memasak maupun presentasi proyek, adalah resep manjur untuk terjerumus dalam kekecewaan dan keyakinan diri yang rendah. Jadi tidak heran, perfeksionisme sering dikaitkan dengan masalah kesehatan mental termasuk depresi dan gangguan makan.
Foto: picture-alliance/ZB/H. Wiedl
Bersikap Pesimis
Sebaiknya berlatih memfokuskan diri pada hal-hal positif. Membuat daftar tentang hal-hal yang menimbulkan rasa terima kasih bisa membantu. Di samping itu, sejumlah studi menunjukkan, tersenyum bisa membuat orang merasa lebih senang dan optimis tentang situasi sekarang serta masa depan.
Ketika akhirnya saya naik jabatan menjadi seorang editor, beban pikiran saya ditambah dengan berbagai intrik politik internal di perusahaan media tempat saya bekerja, dan beberapa kali saya terseret masuk ke tengah konflik kekuasaan itu.
Akibatnya fatal: saya tidak sanggup lagi bekerja sebagai jurnalis penuh waktu karena saya mengalami depresi berat. Tak ada layanan psikologis yang disediakan perusahaan tempat saya bekerja. Pun demikian, tak ada asuransi kesehatan yang menjamin pembiayaan untuk sakit akibat masalah psikologis. Selain itu, pemerintah juga belum mau menganggap kesehatan mental sebagai sakit akibat pekerjaan.
Saya bukan satu-satunya jurnalis yang mengalami tekanan akibat pekerjaan seperti itu. Begitu juga, saya bukan satu-satunya jurnalis yang tidak mendapatkan fasilitas layanan psikologis dari perusahaan media. Saya tahu, banyak rekan sesama jurnalis yang juga mengalami kondisi seperti saya, tetapi karena keterbatasan fasilitas dan dana, mereka tidak memeriksakan diri.
Dalam sebuah survey sederhana yang pernah dilakukan seorang psikiater terhadap belasan jurnalis di Kota Bandung pada tahun 2013, diketahui 80 persen jurnalis yang disurvey diduga mengalami gangguan psikologis dan disarankan melakukan konseling lanjutan. Dalam sebuah diskusi terbatas, terungkap di antara jurnalis yang di survey tersebut banyak ditemukan gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
Jurnalis bukan satu-satunya kelompok yang rentan terhadap stres berat dan depresi. Kelompok pekerjaan lain, seperti tentara, polisi, dan aktivis HAM juga rentan terhadap situasi depresi. Jika tidak tertangani dengan baik, depresi bisa mengarah pada tindakan yang destruktif, misalnya bunuh diri.
Pada 2012 saja, berdasarkan data WHO, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia mencapai 10 ribu kasus. Sedangkan pada 2010, tercatat kejadian bunuh diri sebanyak 5 ribu kasus. Artinya dalam dua tahun saja terjadi kenaikan angka bunuh diri dua kali lipat.
13 Hal Yang Tidak Dilakukan Orang Bermental Kuat
Kekuatan mental lebih sering dilihat dari hal-hal yang TIDAK dilakukan orang, bukan yang dilakukan. Ini terutama soal mengontrol pikiran, tingkah laku dan emosi. Dalam bukunya, Amy Morin jelaskan apa saja 13 hal itu.
Foto: Fotolia/Chlorophylle
Tidak Mengasihani Diri Sendiri
Mengasihani diri sendiri mencegah orang untuk hidup semaksimal mungkin. Sikap ini membuang waktu, sebabkan emosi negatif dan merusak hubungan dengan orang lain. Cara mengatasinya: menegaskan segala sesuatu yang baik di dunia. Dampaknya orang akan mulai hargai apa yang dimiliki. Tujuannya: mengganti sikap mengasihani diri sendiri dengan rasa terima kasih.
Foto: hikrcn/Fotolia
Tidak Menghindar dari Perubahan
Menurut Morin ada lima tingkat perubahan: pra kontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi dan meneruskan. Tingkat ini harus semuanya dilalui. Melakukan perubahan bisa menakutkan, tapi itu langkahnya jika ingin berkembang. Semakin lama menunggu, semakin sulit. Demikian Morin. Karena orang lain akan melangkahi Anda.
Foto: Colourbox
Tidak Kehilangan Kuasa Diri
Orang buang kuasa atas dirinya, jika tidak punya batasan fisik dan emosional. Jika orang lain yang kontrol langkah Anda, berarti mereka yang definisikan sukses dan harga diri Anda. Harus tetap pada tujuan dan berusaha mencapainya. Contohnya Oprah Winfrey. Ia pegang kokoh kekuasaan atas dirinya. Winfrey besar dalam kemiskinan dan pelanggaran seksual. Tapi ia pilih untuk definisikan diri sendiri.
Foto: Mike Windle/Getty Images for TWC
Tidak Berfokus Pada Hal Yang Tidak Bisa Dikontrol
Rasanya aman jika selalu bisa mengontrol segalanya. Tapi jika berpikir setiap saat mampu mengontrol keadaan, bisa jadi masalah, kata Morin. Trying to be in control of everything is likely a response to anxiety. Berusaha mengatur segalanya adalah bukti perasaan takut. Jika fokus dialihkan ke hal-hal yang bisa dikontrol, orang tambah senang, stresnya berkurang, dan lebih sukses.
Foto: Fotolia/xavier gallego morel
Tidak Berusaha Menyenangkan Orang Lain
Kadang kita nilai diri sendiri dengan perhitungkan pendapat orang lain tentang kita. Itu kebalikan dari mental kuat. Morin jelaskan empat fakta tentang sikap selalu berusaha menyenangkan orang lain: 1) Buang waktu 2) Orang seperti itu mudah dimanipulasi 3) Tidak mengapa jika orang lain marah atau kecewa 4) Kita tidak bisa membuat semua orang senang. Jika itu dilupakan orang tambah percaya diri.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Tidak Takut Ambil Risiko Yang Terkalkulasi
Orang kerap takut ambil risiko, baik finansial, fisik, emosional atau sosial. Tapi itu sebenarnya tergantung pengetahuan. "Jika tidak tahu cara kalkulasi risiko, orang tambah takut," kata Morin.
Foto: picture alliance/dpa/H. Wiedl
Tidak Terus Memikirkan Masa Lalu
Masa lalu sudah berlalu. Tidak bisa diubah lagi. Terus "hidup" di sana merusak diri sendiri, cegah orang nikmati saat ini dan buat rencana untuk masa depan, demikian Morin. Satu-satunya segi positif memikirkan masa lalu adalah jika digunakan untuk belajar dari kesalahan. Jadi pikirkan faktanya, bukan emosinya dan lihat situasi dari sudut pandang baru.
Foto: Colourbox/ChristianChan
Tidak Ulang Kesalahan
Merefleksi bisa cegah orang mengulang kesalahan. Penting untuk meninjau apa yang sebabkan kegagalan, apa yang bisa dilakukan lebih baik, dan bagaimana cara yang lebih baik, demikian Morin. Orang bermental kuat menerima tanggungjawab atas kesalahan dan membuat rencana untuk mencegah kesalahan sama.
Foto: Fotolia/jeff Metzger
Tidak Tersinggung Jika Orang Lain Sukses
Tersinggung seperti kemarahan yang terpendam, kata Morin. Fokus pada kesuksesan orang lain tidak akan lancarkan jalan menuju kesuksesan diri sendiri, karena mengalihkan perhatian dari jalan kita sendiri. Walaupun sukses, mungkin orang tetap tidak tenang jika terus fokuskan diri pada orang lain. Mungkin orang juga tidak hiraukan talenta, lupakan nilai-nilai sendiri dan hubungan dengan orang lain.
Foto: Fotolia/Shmel
Tidak Mudah Menyerah
Sukses tidak selalu mudah dicapai, dan kegagalan hampir selalu jadi halangan yang harus dilalui. Jika berpikir bahwa kegagalan tidak bisa diterima, atau berarti Anda tidak cukup baik, itu tidak merefleksikan kekuatan mental. Sebenarnya, jika tidak menyerah setelah gagal akan membuat orang tambah kuat. Demikian Morin.
Foto: fotolia/Mikael Damkier
Tidak Takut Sendirian
"Menciptakan waktu untuk sendirian dengan pikiran sendiri bisa jadi pengalaman yang memberi kekuatan, dan jadi cara untuk membantu orang mencapai tujuan," kata Morin. Untuk jadi kuat secara mental, orang perlu menarik dari dari kesibukan sehari-hari dan memfokuskan diri pada pertumbuhan."
Foto: imago/Frank Sorge
Tidak Menyalahkan Orang Lain
Jika tidak sukses, mudah untuk marah dengan "dunia". Tapi sebenarnya tidak ada orang yang punya hak istimewa. Segala sesuatu harus diusahakan. Hidup tidak selalu adil. Jika ada yang lebih senang atau sukses dari yang lain. Itulah hidup. Jika kita gagal, bukan berarti dunia "berhutang" pada kita. Kuncinya adalah fokus pada usaha, terima kritik, akui kelemahan dan jangan dendam. Demikian Morin.
Foto: Fotolia
Tidak Berharap Pasti Segera Berhasil
Kesedian berharap yang realistis dan pengertian bahwa sukses tidak bisa diraih dengan cepat sangat penting, jika orang mau kembangkan potensi sebaik mungkin, kata Morin. Orang bermental lemah biasanya tidak sabar. Mereka terlalu yakin pada kemampuan dan tidak perhitungkan, perubahan bisa makan waktu. Kegagalan bisa saja terjadi. Tapi jika maju teratur dan punya pandangan luas, sukses bisa dicapai.
Foto: picture-alliance/landov/D. Grunfeld
13 foto1 | 13
Data lainnya, seperti dikutip dari penelitian Ronny T. Wirasto, seorang psikater, di dalam makalahnya Suicide Prevention in Indonesia: Providing Public Advocacy menuliskan 100 ribu orang di Jakarta pernah mencoba untuk bunuh diri pada tahun 2006. Jika dirata-ratakan, setiap harinya ada sekitar 274 orang di ibu kota yang mencoba untuk bunuh diri pada tahun itu. Kebanyakan, kata Ronny, disebabkan masalah sosial dan ekonomi.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2013 juga menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Sedangkan, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2016 data WHO (dalam Kemenkes RI) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.
5 Kiat Mengurangi Stres
Akhir-akhir ini, stres telah menjadi hal biasa dari kehidupan. Stres yang tidak segera ditangani bisa menyebabkan kerusakan mental atau berdampak negatif terhadap kesehatan tubuh. Berikut kiat-kiat mengurangi stres.
Foto: Fotolia/milkovasa
Jangan Mengambil Keputusan di Saat Marah
Ketika Anda berdebat dengan seseorang, secara otomatis susana hati akan berubah menjadi marah. Walhasil, tingkat stres naik dan mengambil keputusan di saat seperti ini biasanya menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Foto: Fotolia/laurent hamels
Jangan Terlalu Keras Pada Diri Sendiri
Kadang terjadi suatu kondisi, dimana Anda sulit memaafkan diri sendiri. Ada beberapa orang yang berusaha melampaui kemampuannya hingga menyebabkan stres. Situasi ini, bisa memancing perasaan bersalah, depresi dan kecemasan. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang Anda tidak mungkin bisa kendalikan.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Ikuti Kata Hati
Sesekali, coba dengarkan kata hati sebab hati adalah tempat bertanya terdekat. Suara hati juga biasanya akan memberikan sinyal jika yang dilakukan salah. Untuk itu, luangkan kesempatan mendengarkan hati dan memahami perasaan supaya kesehatan emosi dan fisik terjaga.
Foto: picture alliance/AP Photo/R. Vogel
Menerima Kenyataan
Salah satu penyebab stres karena tidak bisa menerima kenyataan. Padahal, manusia tidak bisa mengendalikan apa yang hendak terjadi. Sikap tidak menerima kenyataan bisa menimbulkan rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan level stres. Situasi seperti ini, bisa diatasi dengan pendekatan berfikir positif bahwa semua pasti ada hikmahnya.
Foto: rgbspace - Fotolia
Bersyukur
Penting untuk selalu mensyukuri yang ada karena setiap orang punya permasalahan hidup. Bersyukur, bisa membantu Anda meningkatkan kesejahteraan emosional dan memperbesar rasa bahagia. Sumber : www.womanitely.com
Foto: Fotolia/milkovasa
5 foto1 | 5
Banyaknya penderita gangguan jiwa yang belum tertangani secara medis, disebabkan minimnya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia. Saat ini, Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100 ribu penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100 ribu penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100 ribu penduduk). Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu penduduk.
Selain persoalan fasilitas kesehatan mental, kita juga masih disesatkan dengan stigma, bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah orang yang mudah putus asa atau bahkan disebut lemah iman. Stigma semacam itu membuat mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental dan juga keluarganya merasa malu untuk pergi ke psikolog atau psikiater. Padahal gangguan kesehatan mental bisa terjadi karena banyak faktor, dan harus ditelusuri penyebabnya agar mendapatkan perawatan yang tepat.
Indonesia sebenarnya sudah punya undang-undang yang menjamin pelayanan kesehatan mental, yaitu Undang-Undang Nompr 18 tahun 2014. Namun sayangnya, sampai hari ini peraturan pelaksana undang-undang tersebut tidak pernah diselesaikan perumusannya.
Karena tidak selesainya peraturan pemerintah,, undang-undang itu ada tanpa bisa diaplikasikan untuk kepentingan warga. Akibatnya, nasib warga yang terganggu kesehatan mentalnya masih suram, tanpa jaminan pelayanan negara.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kerja Di sini Anda Boleh Meditasi
Stres akibat tumpukaan pekerjaan sering dirasakan para karyawan. Perusahaan-perusahaan ini memperbolehkan karyawannya meditasi bahkan tidur siang, agar pegawainya lebih segar dan sehat secara fisik & mental dalam bekerja
Foto: Colourbox
Apple
Tidak mengejutkan bagi mereka yang tahu sedikit tentang kehidupan Steve Jobs bahwa ia sering ikut retret meditasi, menikah dalam upacara Zen, dan bersahabat dengan banyak biarawan. Jobs membagikan kecintaannya akan meditasi kepada orang lain di tempat kerjanya, sehingga memungkinkan karyawan perusahaan raksasa teknologi itu setiap harinya bisa ambil waktu untuk bermeditasi di tempat kerja,.
Foto: Colourbox
Prentice Hall Publishing
Dunia penerbitan dapat menjadi tempat yang sangat stres dalam mencari nafkah. Tetapi perusahaan penerbitan ini berusaha memberi kesempatan pada pekerjanya untuk melepaskan stres dan kembali fokus di tempat kerja melalui meditasi. Prentice Hall telah menciptakan ruang meditasi di kantor pusat perusahaan mereka, untuk bermeditasi, berdoa, atau sekedar istirahat.
Foto: Deklofenak/Fotolia.com
Google
Bahkan ketika Anda bekerja di sebuah perusahaan yang menawarkan manfaat luar biasa seperti Google, stres datang kapan saja. Perusahaan ini menawarkan ruang meditasi dan kursus meditasi, karena percaya bahwa meditasi dapat membantu meningkatkan tidak hanya kesehatan karyawan tapi juga kemajuan perusahaan.
Foto: Imago/R. Wölk
AOL Time Warner
Untuk membantu karyawan mengatasi stres, perusahaaan membolehkan karyawan bermeditasi. Pekerja bisa menyelinap pergi ke kelas yoga atau masuk ke salah satu ruangan yang tenang untuk membantu memfokuskan diri mereka kembali, bersantai, dan menyegarkan diri sebelum kembali ke hari-hari panjang mereka.
Foto: Fotolia/Jeanette Dietl
McKinsey & Co
Perusahaan Manajemen dan konsultasi McKinsey & Co menjadikan meditasi sebagai bagian dari strategi sumber daya manusia yang bertujuan untuk membuat karyawan lebih bahagia dan sehat. Dalam satu kasus, sebuah program meditasi yang dikembangkan oleh McKinsey untuk klien Australia bisa menyelamatkan bisnis lebih dari 20 juta dollar AS.
Foto: DW/Li Fern Ong
Yahoo!
Yahoo! adalah perusahaan teknologi lainnya yang berusaha melakukan apa yang bisa untuk mengurangi stres karyawan di tempat kerja. Karyawan Yahoo! dapat memanfaatkan kamar meditasi atau berbagi minat mereka agar pikiran kembali bugar.
Foto: picture-alliance/dpa/M. M. Davey
Deutsche Bank
Perusahaan perbankan terkemuka Deutsche Bank menawarkan kelas meditasi dan ruang tenang di kantornya dengan harapan bahwa hal itu akan membantu mengurangi stres pekerja dan pekerjanya lebih segar dalam berpikir.
Foto: picture-alliance/dpa
Procter & Gamble
CEO P &G AF. Lafley mendedikasikan dirinya sendiri untuk meditasi dan menawarkan karyawan juga. Perusahaan ini menawarkan program kesehatan dan kebugaran yang mencakup kelas meditasi di bangunan utama erusahaan mereka.
Foto: Fotolita/A. Diaz
HBO
Sementara lewat program-programnya HBO membuat Anda berleha-leha di sofa dan di depan televisi, perusahaan ini mendorong pengembangan sumber daya karyawannya agar nereka tetap sehat baik secara mental maupun fisik,lewat gym, kelas yoga gratis, dan kelas meditasi yang ditawarkan di tempat kerja.
Foto: Fotolia/www.fotodesign-jegg.de
Nike
Motto Nike "Just Do It" , tampaknya juga berlaku untuk meditasi. Perusahaan ini membolehkan karyawan mengambil waktu untuk rileks atau bermeditasi di tempat kerja mereka. Karyawan memiliki akses ke kamar relaksasi yang dapat mereka gunakan untuk tidur siang, berdoa, atau bermeditasi. Jadi, karyawan juga dapat mengambil bagian dalam meditasi dan yoga kelas tanpa harus meninggalkan kantor.