1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Singapura Mengatasi Krisis Air?

2 Oktober 2024

Air telah menjadi faktor penting dalam konflik, ekonomi, dan kesehatan di Singapura. Bagaimana negara yang menghadapi kekurangan air ini mampu menjadi pelopor global dalam pengelolaan sumber daya yang sangat terbatas?

Marina Barrage, Singapura: Pemandangan udara lanskap kota dan garis pantai pada sore hari yang mendung.
Singapura telah menjadi pemimpin global dalam pengelolaan airFoto: Pond5 Images/IMAGO

Singapura, dengan populasi enam juta jiwa, adalah negara kota yang ramai, multikultural, dan makmur. Berada di jajaran lima negara terkaya dunia, Singapura merupakan pusat keuangan internasional dan perdagangan global.

Dikenal sebagai negara yang bersih dan hijau, Singapura memiliki banyak taman yang dihiasi air mancur, kolam, dan kanal. Namun, dengan tidak adanya sumber air tawar alami, Singapura merupakan salah satu negara dengan tingkat kekurangan air tertinggi di dunia.

Meskipun begitu, Singapura telah berhasil memenuhi kebutuhan air yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonominya. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, negara kecil ini menjadi model global dalam manajemen air.

Ruang terbuka hijau dapat menyerap air hujan sehingga dapat mencegah banjirFoto: David Goldman/AP Photo/picture alliance

"Tak ada keajaiban di sini," ujar Peter Gleick, ahli hidrologi dan pendiri Pacific Institute, sebuah LSM berbasis di Amerika Serikat yang fokus pada isu air.

Gleick menilai kesuksesan Singapura terletak pada pendekatan "jalur lunak", yang lebih mengutamakan efisiensi dalam menggunakan air daripada terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam.

"Pendekatan ini mencoba membalikkan pola lama dengan mengatakan, 'mari kita gunakan air dengan bijaksana. Hentikan pemborosan air. Temukan sumber pasokan baru.'"

Ruang terbuka hijau, kanal dan waduk memiliki fungsi penting dalam konsep air SingapuraFoto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images

Rencana besar pengelolaan air Singapura

Krisis air bukanlah hal baru bagi Singapura. Sejak masa penjajahan Inggris, melalui Perang Dunia II melawan Jepang, hingga masa pasca-kemerdekaan, Singapura sering mengalami banjir, masalah sanitasi, dan pembagian air yang ketat.

Namun, setelah merdeka pada 1965, Singapura mulai mengambil alih kendali atas nasibnya sendiri. Negara ini merencanakan untuk mandiri, tidak hanya dalam hal air, tetapi juga pangan dan energi.

"Mereka mulai merencanakan untuk mandiri dalam hal air, pangan, dan energi,” kata Cecilia Tortajada, Profesor Inovasi Lingkungan di Universitas Glasgow, yang telah lama meneliti Singapura.

Pemerintah kemudian menyusun rencana besar yang terus disempurnakan hingga saat ini, menciptakan empat sumber utama pasokan air yang disebut "keran nasional". Ini terdiri dari air impor, desalinasi (pengolahan air laut), penampungan air hujan, dan ‘NEWater' atau air daur ulang.

Singapura memenuhi setengah kebutuhan airnya melalui impor air seperti melalui jaringan pipa yang mengangkut air dari MalaysiaFoto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images

Empat sumber utama air Singapura

Pada awalnya, Singapura mengimpor air tawar dari Malaysia berdasarkan dua perjanjian di tahun 1960-an. Hingga kini, setengah dari kebutuhan air Singapura dipenuhi dari air sungai yang dipompa melalui pipa dari Malaysia.

Namun, hubungan kedua negara ini tidak selalu mulus. Malaysia pernah mengancam untuk menaikkan harga atau menghentikan pasokan air, bahkan memicu ketegangan diplomatik pada 2002. Karena itu, Singapura berencana untuk mandiri dan berhenti mengimpor air dari Malaysia pada 2061, sehingga tiga sumber air lainnya harus dioptimalkan.

"Perencanaan air sangat penting," ujar Jon Marco Church, ahli manajemen air dari PBB. "Tujuannya adalah memaksimalkan setiap tetes air."

Ini mencakup membersihkan saluran air, menginvestasikan miliaran dolar, mengumpulkan air hujan, serta mengolah dan menggunakan kembali air yang ada, termasuk air laut.

Pabrik desalinasi ini terletak di bawah tanah. Di permukaan, pabrik ini berfungsi sebagai tamanFoto: Rendy Aryanto/Visual Verve Studios

Meminum air laut?

Saat ini, Singapura memiliki lima pabrik desalinasi yang mampu memenuhi hingga 25% dari kebutuhan air negara. Pabrik-pabrik ini dirancang seperti taman yang hijau dan sebagian besar terletak di bawah tanah.

Selama beberapa dekade terakhir, Singapura telah menjadi pemimpin dalam teknologi desalinasi. Mereka berencana meningkatkan kapasitas hingga dapat memenuhi 30% kebutuhan air pada 2060. Namun, ini masih belum cukup untuk mencapai kemandirian penuh, sehingga sumber air lain masih diperlukan.

Mengumpulkan air hujan dan menghemat

Dua pertiga dari luas wilayah Singapura digunakan untuk menampung air hujan. Air yang turun di atap-atap dialirkan melalui saluran ke jaringan sungai, kanal, dan 17 waduk, termasuk Marina Barrage yang terbesar.

Dengan luas 10.000 hektar, Marina Barrage tidak hanya mengumpulkan air hujan tetapi juga berfungsi sebagai perlindungan dari banjir. Jika waduk dan kanal meluap, air banjir akan ditampung di tangki bawah tanah yang kemudian dapat diolah menjadi air minum. Pemerintah menargetkan untuk memanfaatkan 90% lahan Singapura untuk menampung air hujan pada 2060.

Bendungan waduk terbesar di Singapura penting bagi pertahanan banjirFoto: Pond5 Images/IMAGO

Selain infrastruktur, Singapura juga berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penghematan air. Gleick menekankan bahwa edukasi publik telah berperan besar dalam kesuksesan ini.

"Mereka mendidik masyarakat tentang tantangan air dan solusi yang mereka pilih,” kata Gleick.

Perangkat penghemat air disubsidi, dan mereka yang menginstalnya mendapatkan diskon untuk produk ramah lingkungan lainnya. Meteran air digital di rumah-rumah juga membantu mendeteksi kebocoran dengan cepat, membuat Singapura menjadi contoh terdepan dalam meminimalkan kebocoran air.

Pengelolaan limbah di tengah politik Otokrasi Moderat

Selain mengumpulkan air hujan, Singapura juga terkenal dalam pengelolaan air limbah.

"Semua air limbah dikumpulkan, diolah, dan digunakan kembali sebanyak mungkin," ujar Jon Church dari PBB.

Dengan investasi $10 miliar (sekitar Rp152,2 triliun), Singapura membangun sistem saluran air limbah bawah tanah sepanjang 206 kilometer yang menyalurkan air limbah ke pabrik pengolahan canggih.

"Sebagian besar negara bahkan tidak berinvestasi sebagian kecil dari yang Singapura lakukan," tambah Church.

Investasi besar ini tidak hanya dimungkinkan oleh kemakmuran negara, tetapi juga oleh sistem politik yang memungkinkan pelaksanaan proyek-proyek besar. Bertelsmann Transformation Index menyebut Singapura sebagai "otokrasi moderat,” di mana kebebasan berkumpul, berekspresi, dan berasosiasi dibatasi, dan satu partai politik telah memerintah sejak negara ini berdiri.

Singapura juga diuntungkan karena hampir tidak ada sektor pertanian yang mengkonsumsi air dalam jumlah besar dan mencemari sumber air.

Namun, kebanggaan terbesar Singapura adalah NEWater, sistem pengolahan air limbah menjadi air bersih.

Dengan bantuan reverse osmosis, air daur ulang dapat dibuat sangat bersihFoto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images

Minum air daur ulang limbah?

Air berkualitas tinggi dihasilkan melalui proses mikrofiltrasi, osmosis balik, dan radiasi UV. Singapura saat ini mendaur ulang 30% kebutuhan airnya dan berencana meningkatkan hingga 55% pada 2060.

Sebagian besar air ini digunakan untuk industri, sementara sebagian kecil disalurkan untuk konsumsi. Secara global, hanya sebagian kecil air limbah yang didaur ulang menjadi air minum, meskipun potensinya besar dan teknologinya aman.

"Ini masih kontroversial karena dianggap sebagai sesuatu yang kotor," kata Gleick, namun menambahkan bahwa air di Singapura begitu bersih sehingga digunakan dalam industri chip yang membutuhkan air ultra-murni.

California dan Windhoek, ibu kota Namibia, adalah pelopor dalam penggunaan air limbah rumah tangga. Di Windhoek, krisis air yang parah membuat limbah air didaur ulangmenjadi air minum sejak 1960-an.

Cecilia Tortajada dari Universitas Glasgow menekankan bahwa di banyak negara Barat, diskusi tentang manajemen air sering kali berujung pada pertanyaan "apakah kita bisa melakukannya?"

"Di Singapura, pertanyaannya adalah: bagaimana kita melakukannya?" ujarnya. "Ini pendekatan yang jauh lebih proaktif."

 

Editor: Tamsin Walker

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman