1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakGlobal

Bagaimana Situasi Keragaman Seksual di Dunia?

17 Mei 2023

Hari Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia dirayakan pada 17 Mei sejak 2004 demi membedayakan hak minoritas seksual. Namun ketika Eropa mencatatkan kemajuan, nasib kaum LGBTQ di negara lain semakin memprihatinkan.

Parade anti-homofobia di Havana, Kuba
Parade anti-homofobia di Havana, KubaFoto: Yamil Lage/AFP/Getty Images

Dari Lesotho, Jamaika, hingga Kanada, ribuan acara bertemakan gerakan anti homofobia digelar di 50 negara, menurut organisasi pro LGBTQ, ILGA. Setiap tahun, lembaga yang memayungi lebih dari 600 organisasi itu menerbitkan laporan situasi minoritas seksual di seluruh dunia.

Menurut ILGA, kesetaraan hak masih merupakan mimpi bagi banyak kaum minoritas seksual di dunia. Saat ini sebanyak enam negara mengancam pelaku hubungan seksual sesama jenis dengan hukuman mati.

Setidaknya di 64 negara PBB, homoseksualitas dianggap ilegal. Sementara di 51 negara di dunia, kebebasan berpendapat seputar keragaman seks dan gender dibatasi, termasuk di bidang pendidikan.

Meski demikian, ILGA juga mencatat kemajuan pada setidaknya 11 negara yang melarang terapi konversi bagi minoritas seksual. Saat ini, pernikahan sesama jenis diizinkan di 33 negara. Minoritas seksual juga dilindungi dari ujaran dan tindak kebencian di 58 negara dunia.

Anggota Dewan Taiwan yang Secara Terbuka Mengaku LGBTQ

05:05

This browser does not support the video element.

Noktah di Eropa

Kendati mencatatkan rapor hijau, situasi di Eropa masih bergantung pada masing-masing negara. Malta misalnya memuncaki indeks kebebasan gender ILGA dengan larangan terapi konversi dan penerimaan sosial yang besar di masyarakat.

Sebaliknya di Polandia dan Turki, minoritas seksual masih dijadikan sasaran serangan untuk kepentingan politik. 

"Kita tidak punya hukum melawan ujaran kebencian,” kata Julia Kata, pegiat hak LGBTQ di Warsawa, Polandia. "Kita punya KUHP, tapi tidak mengakui orientasi seksua, gender atau identitas sebagai motif. Jika terjadi sesuatu, biasanya dianggap tindak kriminal biasa,” imbuhnya.

Walupun begitu, laporan ILGA menegaskan betapa situasi minoritas seksual sudah banyak membaik di Eropa. "Kita sudah jarang melihat adanya serangan terarah terhadap komunitas trans,” tutur Katrin Hugendubel dari ILGA. "Tapi kita juga mencatat adanya negara, di mana pemerintahannya mulai mereformasi UU transgender seperti di Jerman saat ini,” imbuhnya merujuk pada pengakuan negara.

"Politisi saat ini punya pemahaman yang lebih baik dan mereka lebih bertekad untuk melanjutkan proses reformasi.”

Perubahan di Jepang

Situasi berbeda ditemui di Jepang, di mana pemerintahan konservatif di bawah Perdana Menteri Fumio Kishida sejauh ini bersikukuh menolak mengakui pernikahan sesama jenis

Sikap tersebut tidak berubah kendati sebanyak 70 persen responden sebuah jajak pendapat mendukung hak menikah bagi minoritas seksual. Dukungan juga dilayangkan korporasi yang khawatir kehilangan daya pikat bagi talenta global.

"Pada dasarnya, perdebatan tentang minoritas seksual hanya dilakukan oleh kaum pria Jepang,” kata Chika Satu, Direktur Keragaman di NEC, perusahaan elektrik Jepang. "Hal itu menyulitkan kita untuk tumbuh sebagai sebuah perusahaan global.”

Hal senada diungkapkan pegiat LGBTQ lokal bernama Himama. Sosok yang menolak menyebutkan nama aslinya itu meyakini betapa "Jepang masih sangat tertinggal,” dalam kesetaraan hak seksual dan gender. "Kami akan terus berjuang sampai seluruh negeri mengakui pernikahan sesama jenis,” pungkasnya.

rzn/hp (rtr,ilga,dw)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait