Ketika Rusia melancarkan invasi terhadap Ukraina, analis mulai membandingkan dengan nasib Taiwan yang juga menghadapi agresi negara adidaya di perbatasan. Bagi banyak warga lokal, skenario serupa terasa jauh di Taiwan.
Iklan
Taiwan, sebuah pulau yang dihuni 23 juta penduduk, hanya berjarak 160 kilometer di lepas pantai timur Cina. Negeri demokratis itu sejak lama diklaim oleh Beijing sebagai bagian kedaulatannya. Dan sejak beberapa tahun terakhir, Cina semakin agresif merundung jiran kecilnya itu.
Kendati begitu, warga Taiwan meyakini invasi Rusia di Ukraina tidak akan serta merta menginspirasi Beijing untuk bertindak.
"Saya kira situasi kami berbeda dengan Ukraina, entah itu dalam hal politik atau relasi antarnegara,” kata Ethan Lin, 40 tahun. "Cina banyak berkomunikasi dengan Taiwan di sejumlah area, jadi saya kira situasinya tidak segenting itu.”
Faktanya, selasa (23/2) lalu Komando Timur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melakukan latihan pendaratan di sebuah lokasi rahasia di Laut Cina Timur. Aksi tersebut menambah panjang deretan provokasi militer Cina terhadap Taiwan.
Taipei Jumat (25/2) ini mengumumkan rencana mengadopsi sanksi global terhadap Rusia. "Kita tidak bisa duduk di tepi sementara negara adidaya besar merundung tetangga yang kecil,” tulis Wang Ting-yu via Twitter. Dia adalah anggota parlemen dari Partai Demokratik Progresif yang menguasai pemerintahan Taiwan.
Cina dan Taiwan berpisah sejak pecahnya perang saudara pada 1949. Demi mengakui kedaulatan Beijing, Amerika Serikat memutus hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan pada 1979. Sebagai gantinya AS berkomitmen melindungi kemerdekaan Taiwan.
Iklan
Perang urat-saraf
Sebab itu pula, keamanan Taiwan banyak bergantung dari Amerika Serikat. Washington terikat oleh konstitusi untuk memastikan Taiwan mendapat perlengkapan militer yang diperlukan untuk melawan Cina.
Berbeda dengan Ukraina, Taiwan adalah salah satu produsen semikonduktor terbesar di dunia dan sebabnya krusial bagi industri komputer atau otomotif. Keunggulan tersebut dinilai penting, terutama di tengah kelangkaan chip global yang mengganggu berbagai sektor ekonomi.
"Perekonomian dan teknologi Taiwan adalah faktor penting bagi Amerika Serikat. Mungkin AS akan menghargai Taiwan lebih besar, tapi kita harus melihat bagaimana konflik ini berkembang,” kata Kao-Cheng Wang Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Tamkang, Taiwan.
Menengok Kamp Pelatihan Unit Angkatan Laut Paling Elit Taiwan
Diterima di unit elit Pengintaian dan Patroli Amfibi Taiwan (ARP) sama sulitnya dengan menjadi pasukan SEAL Angkatan Laut Amerika Serikat. Para kandidat harus lolos ujian dan pelatihan berat selama beberapa pekan.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Tangguh seperti pasak baja
Program pelatihan bagi mereka yang ingin bergabung dengan unit angkatan laut elit Taiwan berlangsung selama 10 minggu. Tahun ini, 31 peserta lolos tes untuk mengikuti program ini, tetapi hanya 15 orang yang akan diterima. Di pangkalan angkatan laut Zuoying di Taiwan selatan, tubuh dan jiwa benar-benar diuji — satu latihan mengharuskan peserta tidur di atas beton yang dingin.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Disiram air dingin
Setelah menghabiskan sepanjang hari di laut, peserta pelatihan disiram dengan air dingin. Lelah dan gemetar, mereka berdiri di dermaga. Tujuan dari kamp pelatihan ini adalah untuk menempa para peserta mengembangkan kemauan yang kuat. Tidak peduli seberapa sulit misi mereka, kesetiaan terhadap rekan-rekan mereka, dan angkatan laut harus teguh.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Latihan berat di pantai
Yu Guang-Cang ikut dalam latihan di pantai. Sepintas terlihat seperti latihan senam bis. Namun, sebetulnya peserta melakukan latihan berat, mulai dari "long march" hingga berjam-jam dan latihan di dalam air. Instruktur mereka memiliki reputasi sebagai orang yang tegas tanpa kompromi. Waktu istirahat pendek dan jarang. Sering kali hanya ada waktu untuk minum seteguk dan ke toilet.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Cat perang
Seorang peserta pelatihan berjuang melawan kelelahan saat dia diolesi cat kamuflase. Semua peserta ikut secara sukarela. Kebanyakan ingin menguji coba batas ketangguhannya. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mensimulasikan tantangan berat perang. Komandan angkatan laut mengharapkan, para peserta dapat difungsikan ketika keadaan menjadi sangat gawat.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Hanya semangat baja yang lulus
Para kandidat menghabiskan sebagian besar waktu mereka di laut atau kolam renang. Mereka harus belajar menahan napas untuk waktu yang cukup lama, berenang dengan peralatan tempur lengkap, dan menyerbu pantai dari laut. Sering kali untuk aksinya kaki dan tangan mereka diikat. Latihan ini bukan untuk mereka yang cengeng.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Mendekati batas peregangan
Para peserta tidak hanya harus lulus tes kekuatan dan daya tahan, mereka juga menghadapi beberapa latihan peregangan ekstrem. Ou Zhi-Xuan yang berusia 25 tahun menangis kesakitan saat dia diregangkan mendekati batas kelenturan. Jika ada yang melawan instruktur saat berada di bawah tekanan berat, mereka segera dikeluarkan dari program ARP.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Dihina dan dilecehkan
Tentu saja, para kandidat harus berlatih sambil mengenakan perlengkapan tempur. Mereka harus menghadapi semburan pelecehan dan penghinaan dari instruktur unit elit angkatan laut. Pesrta mendapat istirahat satu jam setiap enam jam. Selama waktu ini, mereka harus makan, biasanya bawang putih untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh, mendapatkan bantuan medis, pergi ke toilet, dan tidur.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Jalan berbatu menuju surga
Latihan terakhir disebut "jalan menuju surga." Peserta pelatihan harus mengatasi rintangan yang unik. Mereka dipaksa untuk merangkak, praktis telanjang, di jalan berbatu, dan melakukan push-up, meskipun mereka sudah lelah dari minggu-minggu sebelumnya. "Saya tidak takut mati," kata salah satu peserta pelatihan, Fu Yu, 30 tahun.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Diberi selamat dengan bunyi lonceng
Xu De-Yu menandai akhir dari kamp pelatihan ARP dengan membunyikan lonceng. Dia adalah salah satu yang "beruntung" lulus ujian. "Tentu saja, kami sama sekali tidak akan memaksa siapa pun, semua orang ada di sini secara sukarela," tegas instruktur Chen Shou-lih, 26. Pesannya kepada para peserta: "Kami tidak akan menyambut Anda bergabung begitu saja, hanya karena Anda ingin datang." (rs/as)
Foto: ANN WANG/REUTERS
9 foto1 | 9
Presiden Cina, Xi Jinping, sebelumnya sudah menegaskan, akan mendahulukan "reunifikasi damai” antara kedua pihak. Penguasa di Beijing itu dinilai berbeda dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang gemar menggunakan opsi militer di negeri jiran, seperti dalam kasus Georgia.
"Xi Jinping lebih mungkin meningkatkan aktivitas militer, ketimbang memulai perang,” kata Wang.
Harian Cina, Global Times, yang berafiliasi pada Partai Komunis Cina, sebaliknya berusaha membandingkan kelompok separatis pro-Rusia di Donetsk dengan Taiwan. Namun pejabat pemerintah Cina cendrung lebih berhati-hati.
"Taiwan memang bukan Ukraina,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, pekan ini. Menurutnya Taiwan adalah bagian integral Cina, bukan negara berdaulat seperti Ukraina.