1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagi Perempuan Pakistan, Media Sosial Bisa Mematikan

S. Khan (Islamabad)
10 Februari 2023

Seorang remaja perempuan dibunuh di Pakistan setelah video tariannya diposting orang lain di media sosial dan dia dianggap melakukan perbuatan “tercela”. Ini bukan kasus pertama di negara itu.

Foto ilustrasi perempuan dan media sosial di Pakistan
Foto ilustrasi perempuan dan media sosial di PakistanFoto: AAMIR QURESHI/AFP/Getty Images

Di Pakistan, praktik brutal "pembunuhan demi kehormatan" sering dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki ketika mereka menganggap perilaku anggota keluarga perempuan "tercela", apakah itu karena menolak perjodohan yang diatur keluarga, menjadi korban pemerkosaan, atau karena postingan di media sosial.

Januari lalu, seorang remaja perempuan ditembak mati di sebuah desa di provinsi Khyber Pakhtunkhwa di barat laut Pakistan, karena dianggap melakukan tarian tercela. Dia bekerja sebagai pembantu dan diduga menolak rayuan romantis seorang pria yang juga berasal dari desanya dan bekerja sebagai pembantu. Pria itu lalu mengunggah video tariannya di TikTok dan mengirimkannya ke beberapa warga desanya.

Ini bukan pertama kalinya di remaja perempuan dibunuh di Paksitan karena menari dalam sebuah video di media sosial. Pada Mei 2012, lima perempuan dibunuh setelah sebuah video muncul di media sosial yang memperlihatkan mereka bernyanyi dan menari di sebuah upacara pernikahan..

Kedua kasus itu sempat memicu protes, tetapi sedikit yang dilakukan untuk melindungi perempuan Pakistan di media sosial. Nighat Dad, pendiri Digital Rights Foundation, sebuah LSM yang mengadvokasi hak-hak perempuan di ruang digital mengatakan, banyak perempuan mendapat masalah setelah mengizinkan teman dan keluarga mereka mengakses informasi pribadi mereka secara online, termasuk gambar dan video.

Aktivis Perempuan Pakistan dan pemenang Nobel Perdamaian, Malala YousafzaiFoto: MICHAEL TRAN/AFP

Soal "kehormatan” dan "pelecehan agama”

Nighat Dad kepada DW mengatakan, dia menerima keluhan dari para perempuan Pakistan tentang penggunaan informasi dan konten tanpa persetujuan mereka, yang kemudian berujung pada pemerasan, ancaman, kontak yang tidak diminta, serta pencemaran nama baik. Jenis pengaduan ini mencapai sekitar lebih 70% kasus pengaduan yang dia terima melalui hotline organisasinya.

"Perempuan dari semua lapisan masyarakat Pakistan menghadapi ancaman, pemerasan, dan pelecehan online", kata Bushra Gohar, mantan anggota parlemen dari Kawasan Khyber Pakhtunkhwa, kepada DW. Dia sendiri telah diancam secara online oleh lawan politiknya. "Media sosial telah menjadi ruang beracun bagi perempuan di Pakistan", papar Gohar.

Terutama di kawasan yang dikenal sangat konservatif seperti di di provinsi Khyber Pakhtunkhwa, perempuan menghadapi bahaya jika mereka difoto atau jika gambar mereka dipublikasikan. Hal ini bahkan dapat menimbulkan bahaya yang mematikan, jika keluarganya menganggap "kehormatan" mereka telah direndahkan. Nighat Dad mengatakan, beberapa perempuan telah dilecehkan secara fisik oleh keluarga mereka hanya karena nama dan wajah mereka ada di internet.

Tuduhan penistaan agama di media sosial juga bisa menjadi sangat berbahaya di Pakistan. Tahun lalu, pengadilan Pakistan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang perempuan Muslim karena diduga memposting materi yang menghujat di WhatsApp.

Kishwar Zehra, seorang anggota parlemen Pakistan, percaya bahwa tuduhan penistaan agama yang dilontarkan kepada perempuan sangat sulit untuk dibantah, apalagi undang-undang penistaan agama memang sering digunakan untuk menekan perempuan. "Alih-alih menghapus undang-undang ini, yang digunakan untuk menindas perempuan, malah lebih banyak undang-undang agama yang dibuat dan yang akan menciptakan lebih banyak masalah," kata Zehra.

Apa yang dilakukan pihak berwenang?

Mantan anggota parlemen Bushra Gohar mengatakan, ketika dia menghadapi ancaman, polisi federal Pakistan FIA tidak mengambil tindakan efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Kishwar Zehra, yang partainya merupakan bagian dari pemerintahan saat ini, juga menilai lembaga aparat hukum tidak efektif menjalankan tugasnya.

"Saya tahu ada perempuan yang bekerja di parlemen yang dilecehkan dan diperas, tetapi ketika saya berbicara dengan anggota laki-laki untuk menangani kasus ini, mereka menunjukkan keengganan yang ekstrem," katanya.

Zehra menambahkan, FIA juga terlalu banyak mengajukan pertanyaan yang tidak relevan. "Jika Anda difitnah di media sosial, maka Anda menjadi orang buangan secara sosial, dan jika pihak berwenang juga menekan pengadu, alih-alih mememeriksa dan menangkap tersangka, buat apa perempuan maju untuk mengajukan pengaduan mereka?", tananya ironi.

Neghat Dad mengatakan, FIA memang telah menunjukkan kemajuan dalam menanggapi kasus-kasus yang mengorbankan perempuan, terutama atas gambar-gambar intim," tetapi masih ada banyak hal yang dapat dilakukan, jika lebih banyak sumber daya tersedia.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait