1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bahaya Kerja Buruh Pabrik

Günther Birkenstock26 November 2012

Abaikan keamanan dan kondisi kerja, buruh menjadi korban kebakaran pabrik. Kobaran api Sabtu malam (24/11) merenggut nyawa lebih 120 orang.

Foto: Reuters

"Saya belum menemukan ibu saya” keluh Shahida, buruh Bangladesh yang seperti ibunya bekerja di pabrik garmen Tazreen Fashions yang terbakar dekat ibukota Dhaka. “Saya menuntut keadilan, saya menuntut agar pemilik pabrik ini ditangkap”.

Kobaran api Sabtu malam (24/11) menyebar cepat dan merenggut nyawa lebih 120 orang, termasuk yang berusaha loncat dari gedung pabrik garmen yang sembilan tingkat itu. Polisi mengatakan, para buruh terperangkap di dalam akibat sempitnya lorong-lorong yang menjadi jalan darurat.

Foto: Reuters

Senin pagi (26/11), kebakaran pabrik terjadi lagi di Dhaka saat para buruh turun ke jalan dan memprotes keamanan dan kondisi kerja. Di pabrik-pabrik garmen, buruh yang mayoritas perempuan, bekerja dengan kondisi kerja buruk.

Tragedi serupa terjadi juga di Pakistan September lalu. Kebakaran di sebuah pabrik tekstil menewaskan 250 orang pekerjanya. Di pabrik inipun standar keamanan tidak terpenuhi.

Jumlah korban sangat besar, karena jalan darurat gedung terhalang tumpukan barang atau sengaja ditutup menghindari pencurian. Seperti banyak pabrik garmen Asia, pabrik inipun memasok produknya ke perusahaan-perusahaan Barat, seperti toko busana murah KiK di Jerman.

Foto: dapd

Bencana itu kembali menunjukkan betapa minimnya perhatian pengusaha Jerman terhadap kondisi di pabrik-pabrik garmen pemasoknya. KiK menanggapi sorotan media dengan menawarkan dana bantuan darurat. Awalnya, 500.000 dolar AS disediakan untuk membantu keluarga korban kebakaran di Pakistan. Pembicaraan lanjutan menegosiasikan dua kali lipat jumlah dana itu.

Bantuan Jangka Panjang

“Adanya bantuan ini perlu dipuji“, ungkap Sabine Ferenschild dari organisasi "Südwind", yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi global. Namun dalam pembicaraannya dengan Deutsche Welle, Ferenschild mengatakan, bantuan itu tak mengubah banyak secara jangka panjang.

Foto: Kamrul Hasan Khan/AFP/Getty Images

"Perlu ada perspektif jangka panjang. Ini terlihat dari berbagai kecelakaan yang berulang kali terjadi, dan kerap menelan korban jiwa.“ Perusahaan-perusahaan itu mengatakan akan memberi bantuan finansial, tapi untuk jangka waktu yang terbatas“. Sementara para korban atau keluarga korban tetap hidup, mungkin dalam keadaan cacat, atau bila masih anak-anak tanpa orang tua yang menghidupi dan mengurusnya."

UE Ingin Wajibkan Transparansi

Setiap perusahaan harus bersaing untuk memenangkan pasar dan karenanya menghitung berapa banyak biaya investasinya. Beban penghematan ini biasanya terpaksa ditanggung oleh mereka yang lemah. Persisnya, para buruh di negara-negara berkembang yang menjajakan produksi murah. Begitu kritik wakil Südwind, Sabine Ferenschild. "Masalahnya banyak, seperti tak adanya kontrak kerja, upah minimum yang terlampau rendah, pemaksaan lembur – ini terlihat jelas pada industri garmen, tapi terjadi juga di berbagai sektor lain.“

Foto: Reuters

Banyak organisasi yang mendorong perbaikan standar sosial di negara-negara berkembang dan ambang industri. Hasilnya masih minim, alasannya antara lain karena banyak aturan yang bersifat sukarela. Perusahaan Jerman, misalnya, secara hukum tidak wajib inspeksi atau menuntut transpanransi dari pabrik-pabrik yang memasok produk.

Namun menurut Ferenschild: "Komisi Uni Eropa tahun lalu menyatakan bersedia mencabut prinsip sukarela dan mewajibkan transparansi produksi.“ Perusahaan-perusahaan nantinya harus menerangkan kondisi produksi barang-barang yang dijualnya.“Dengan begitu setiap orang bisa memilih apakah ia akan membeli produk itu atau tidak.“

Foto: Reuters

Pengusaha Jerman Ingin Perubahan

Direktur Ikatan Pemilik Toko Jerman (AVE), Stefan Wengler, memuji kerelaan perusahaan yang mewajibkan keamanan di tempat kerja. Sejak sembilan tahun telah bergulir sebuah inisiatif untuk mematuhi standar sosial bisnis. "Business Social Compliance Initiative" (BSCI) mendukung dan menuntut diberlakukannya standar.standar keamanan dan upah.

Sekitar 1000 perusahaan berpartisipasi dan menurut Wengler ada kemajuan. "Di tahun pertama inisiatif itu, dari 100 perusahaan yang diuji hanya tujuh yang lolos. Sisanya, 93 persen gagal."

Dalam ujian terakhir, sepertiga dari perusahaan yang ikut berhasil memenuhi standar-standar yang ditetapkan. Ujian kedua menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan yang adapun berhasil diatasi dengan cepat.

Foto: picture-alliance/ZB

"BSCI memiliki standar tinggi. Masalahnya, ada perusahaan yang baik dan ada yang tidak.” Karenanya Wengler menilai perlunya program-program penyuluhan bagi manajer dan buruh, supaya menjadi lebih peka terhadap permasalahannya. Perubahan bisa terjadi bila kesadaran dimiliki oleh kedua belah pihak.

Jerman Juga Bertanggung Jawab

Sabine Ferenschild dari organisasi „Sudwind“ tidak seoptimis Stefan Wengler. Ia melihat adanya perbaikan dalam kasus-kasus tertentru, tapi buruknya kondisi lebih mencolok. Südwind mencatat hal-hal yang perlu diperhatikan pada situsnya, antara lain tanggung jawab perusahaan Jerman. "Sebagian besar produk di pasaran Jerman, bukan buatan dalam negeri, melainkan produk dari negara-negara yang hak buruhnya tertulis hitam di atas putih, tetapi dalam kenyataannya tidak berlaku. Dan perusahaan Jerman meraup keuntungan dari kondisi kerja itu."

Foto: picture-alliance/dpa
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait