1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

Bandingkan Vaksinasi dan Holocaust, Guru Jerman Kena Denda

5 Januari 2024

Pengadilan menjatuhan hukuman denda kepada seorang guru di Berlin yang telah meremehkan Holocaust, saat dirinya menggunakan slogan Nazi untuk mengecam kewajiban vaksinasi COVID-19.

Protes di Berlin di depan polisi menentang kebijakan COVID-19, April 2021
Aksi protes saat bukti vaksinasi diperlukan dalam kehidupan sehari-hari di JermanFoto: Markus Schreiber/AP/picture alliance

Pengadilan Berlin pada hari Kamis (04/01) menjatuhkan hukuman denda sebesar €3.000 (sekitar Rp51 juta)  kepada seorang guru yang membandingkan kewajiban vaksinasi COVID-19 dengan Holocaust.

Pengadilan Tiergarten di ibu kota Jerman tersebut menyatakan, guru sekolah kejuruan berusia 62 tahun itu telah meremehkan tragedi pembunuhan lebih dari 6 juta kaum Yahudi pada masa rezim Nazi. 

Hakim ketua mengatakan, membandingkan kewajiban vaksinasi COVID-19 dengan Holocaust "adalah hal yang melecehkan; pendapat lainnya tidaklah masuk akal." Pernyataan tersebut senada dengan keputusan sebelumnya dari Pengadilan Tinggi Berlin dalam kasus serupa.

Menyangkal Holocaust adalah tindakan ilegal di Jerman. Itu sama halnya dengan meremehkan kejahatan yang dilakukan di masa kekuasaan Nazi.

Mengubah slogan Nazi yang kelam

Guru pria itu mempublikasikan sebuah video secara online dan menunjukkan gerbang kamp konsentrasi Nazi.

Dalam video yang terunggah, dia mengubah moto Nazi yang terkenal "Arbeit macht frei," atau "Kerja dapat membebaskan," yang berada di gerbang masuk kamp konsentrasi itu menjadi "Impfen macht frei" atau "Vaksinasi dapat membebaskan." 

Slogan 'Arbeit Macht Frei' di pintu masuk kamp konsentrasi NaziFoto: Artur Widak/NurPhoto/picture alliance

Selain itu, pria itu juga membandingkan langkah-langkah pemerintah Jerman dalam membatasi penyebaran virus corona dengan peristiwa Holocaust dalam video lainnya.

Pemerintah kota Berlin telah memecat guru itu sejak Agustus 2021, tetapi pria tersebut membawa kasusnya ke pengadilan tenaga kerja. Dia berhasil mendapatkan pesangon sebesar €72.000 (sekitar Rp1,2 miliar), tetapi pengadilan tenaga kerja memutuskan pemerintah Berlin tidak dapat terus mempekerjakan guru bersangkutan..

kp/as (dpa, epd)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait